Meet this new sexy and forbidden story.
Happy reading, semoga suka.
Seri ini sudah lengkap di Playstore dan Karyakarsa.
Luv,
Carmen
_______________________________________________________________________________
Cassidy merenung ketika mendengar suara profesornya menjelaskan tentang teori feminis dalam literatur sebelum pria itu melemparkan pertanyaan tentang metode riset yang bisa dilakukan untuk mempelajari sejarah dan peran wanita dalam berbagai periode masa.
Apakah pertanyaan pria itu ditanggapi? Tentu saja, selalu ada seseorang di dalam kelas yang sepertinya tahu tentang segalanya tapi sayangnya, orang itu bukanlah Cassidy. Pertanyaan pria itu hanya membuat kening Cassidy mengerut dan untung saja, sang profesor tidak memintanya menjawab pertanyaannya. Mungkin karena Cassidy tampak setengah melamun sejak dari tadi.
"Jack, bagaimana menurut pendapatmu?" tanya Profesor Chandler.
Cassidy tebak kalau pria itu tidak akan bisa menjawabnya. Dan benar saja dugaan Cassidy, Jack tampak menunduk untuk menatap textbook dan mengangkat wajahnya lagi sambil memberi sang profesor senyum malu-malu. Beberapa terkikik melihat ekspresi pria itu sementara beberapa yang lain segera mengangkat tangan mereka untuk menjawab pertanyaan tersebut dan sekaligus menyelamatkan Jack, tentu saja.
Perdebatan di dalam kelas itu masih berlangsung selama satu jam berikutnya, dengan mereka mendiskusikan karya Shakespeare, terutama karyanya yang dianggap feminis yang menceritakan karakter wanita yang lemah. Cassidy tidak memberikan banyak kontribusi berarti dalam diskusi tersebut karena benaknya sedang tidak fokus, terutama karena kejadian akhir-akhir ini. Ia melamun hampir sepanjang waktu sampai-sampai tidak sadar kalau kelas sudah berakhir.
"Jangan lupa acara makan malam nanti. Dan jangan cemas, makan malamnya akan berakhir lebih cepat jadi kalian masih sempat menikmati malam Jumat kalian – of course, a very legal Friday night activities," tambah pria itu dan setelahnya diikuti oleh tawa para mahasiswanya.
Cassidy sedang membereskan buku-bukunya ketika ia mendengar namanya dipanggil.
"Cassidy, kau punya waktu sebentar?"
Ia mendongak dan bertatap mata dengan sang profesor. Hanya ketika ruangan itu kosong, pria itu baru berjalan keluar dari podiumnya dan Cassidy bergerak dari kursinya. Ia ragu antara apakah harus bangun atau tetap duduk di kursinya. Tapi kemudian, Cassidy memutuskan untuk tetap duduk sementara Profesor Chandler sudah berdiri di depan mejanya, kedua lengannya menekan meja saat dia mencondongkan badan ke arah Cassidy.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya pria itu. "Kau terlihat lebih pendiam dari biasanya. Aku tidak bermaksud ikut campur, aku hanya khawatir, Cassidy."
Dada Cassidy terasa berdesir saat ia mempertahankan tatapannya pada pria itu. Rasanya seolah udara di dalam ruangan itu tersedot dan ia kesulitan menarik napas. Itu kenapa Cassidy tidak pernah ingin berada di dalam ruangan hanya berdua dengan pria itu. Ia sadar kalau jantungnya selalu berdebar keras di saat berada di dekat Profesor Chandler dan ia tidak bisa tidak membayangkan seperti apa bentuk tubuh pria itu tanpa pakaian.
Bukan salah Cassidy sepenuhnya karena pria itu memang sempurna. Bukan hanya Cassidy, teman-teman sekelasnya juga merasakan efek serupa dan mereka semua setuju kalau Sean Chandler sempurna. Di usia matang yang ke-35, pria itu tampak sungguh menawan. Rambut cokelat gelap yang agak panjang, mata abu dalam, senyum memesona dan tubuh yang membuat kaum hawa berdesir. Belakangan Cassidy baru tahu kalau pria itu rutin melatih ototnya di gym. Dia pasti akan tampak sangat indah jika telan...
Hentikan, Cassie!
Masih gugup dan berharap wajahnya tidak bersemu merah, Cassidy berhasil mengeluarkan respon. "Oh, tidak, aku... aku baik-baik saja, Profesor. Hanya sedikit stress, kurasa, but nothing I can't handle. Still, thanks for asking."
"You sure?"
Cassidy mengangguk.
Lalu ia merutuk pelan saat melihat senyum lembut mengembang di wajah tampan itu. Tangan besar pria itu kemudian menepuk pelan pundak Cassidy, untungnya ia tidak terlonjak panik.
"Baiklah, tapi ingat, aku ada di sini jika kau membutuhkan teman bicara. Kau tahu di mana kantorku, bukan?"
Ia tertegun saat pria itu mengedip pelan padanya.
"Terima kasih, Profesor," ucap Cassidy dengan suara pelan menyerupai bisikan. "Aku... I'll see you at dinner?"
Entah kenapa, Cassidy sedikit ragu ketika keluar dari ruangan kelas itu, ia merasa pria itu ingin menahannya tapi tidak melakukannya...
Sisa hari itu berjalan sangat lambat. Karena ia tidak lagi memiliki jadwal kelas, Cassidy pulang dan hanya bergelung di ranjang di kamar di apartemen sempitnya ini dan tidak bisa berhenti memikirkan pria itu. Ia memikirkan tangan pria itu di pundaknya, tekanan lembutnya, lalu mata abu yang memikat itu... Pikiran Cassidy berubah menjadi semakin liar. Apa yang akan terjadi seandainya ia pergi ke kantor pria itu dalam keadaan rapuh seperti ini? Apakah Cassidy akan menceritakan semuanya?
Mungkin.
Apakah ia akan membiarkan pria itu mengunci pintu kantornya?
Ya, sangat mungkin.
Apakah Cassidy membiarkan pria itu menelentangkannya di meja dan bergerak liar di antara kedua kakinya?
Tanpa ragu.
Panas di kedua wajah Cassidy bergerak ke bawah, menggelitik dadanya lalu perutnya sebelum menetap di antara kedua kakinya. Setiap bagian dari dirinya tahu bahwa sangat salah karena mengkhayalkan hal-hal terlarang seperti ini tentang profesornya tapi itu tidak mencegah tangan Cassidy untuk bergerak lebih ke bawah dan lebih ke bawah lagi. Jika Cassidy menutup matanya, ia bisa berpura-pura bahwa pria itulah yang sedang menyentuhnya. Tangan pria itulah yang sedang mengusap paha dalamnya lalu meyentuh tonjolan bengkaknya. Bahwa jari pria itulah yang menelusup ke dalam kerapatannya. Cassidy mengerang, nyaris bisa mendengarkan suara serak pria itu yang berbisik merayu saat dia membawa Cassidy ke ujung pelepasan. Orgasmenya datang dengan cepat, tapi Cassidy tidak puas. Gairah itu tetap berdiam di dalam dirinya. Yang ia butuhkan untuk memadamkan bara ini adalah profesornya – Sean Chandler.
Hanya pria itu.