Happy reading, semoga suka.
Ebook lengkap sudah tersedia di Playstore dan Karyakarsa.
Luv,
Carmen
_______________________________________________________________________________
Setelah makan malam, mereka menawarkan untuk mencuci dan membereskan ruang makan dan tidak peduli dengan protes Profesor Chandler, mereka membereskan semuanya dan memastikan segalanya rapi kembali. Begitu selesai, beberapa langsung pulang, beberapa masih tinggal untuk membuat rencana, sebagian setuju untuk mendatangi bar di tepi kota tapi Cassidy menolak ajakan tersebut. Dan ketika Jennifer menawarkan untuk mengantarnya pulang, ia berbohong dan berkata bahwa ia sudah memesan Uber. Cassidy tidak tahu kenapa ia berbohong. Apakah ia sedang mengulur-ulur waktu atau...
Ketika mobil terakhir meninggalkan depan rumah pria itu, Cassidy menjadi sangat sadar bahwa pria itu hanya berdiri beberapa meter di belakangnya. Cassidy berdiri di teras pria itu, ragu dengan apa yang harus dilakukannya, haruskah ia memesan Uber sekarang atau haruskah ia berbalik kembali dan berpura-pura ingin mendiskusikan sesuatu dengan pria itu atau... Gelisah, ia mulai memaju-mundurkan tubuhnya dan menggigit bibirnya resah. Apa yang harus ia lakukan sekarang?
"Cassidy, kenapa kau tidak masuk dulu dan duduk di dalam sambil menunggu jemputanmu? Tidak ada gunanya menunggu di luar, udaranya juga dingin."
Cassidy menoleh dan melihat Profesor Chandler mengisyaratkan agar ia masuk kembali dan menunggu di ruang tamu.
"Terima kasih, Profesor," gumam Cassidy saat duduk di sofa pria itu. "Kurasa mobilnya akan datang sebentar lagi."
"Well, mungkin kau tidak harus pergi secepat itu."
Cassidy menatap pria itu dan melihat senyum Profesor Chandler dan hatinya berdegup begitu kencang sehingga ia takut jantungnya akan meledak.
Tanpa mengatakan apa-apa lagi, pria itu lalu berbalik dan kembali lagi dengan dua gelas anggur di tangan. Cassidy hampir menolaknya tapi semua saraf di dalam tubuhnya menjerit agar ia menerimanya, ia membutuhkan minuman itu untuk menenangkan dirinya.
Profesor Chandler lalu duduk di seberang sambil menyesap minuman anggurnya. Sementara itu, Cassidy menyesap pelan sambil memikirkan apa yang harus dikatakannya. Kesunyian menegangkan ini membuat Cassidy semakin resah.
"How's your semester going?" tanya pria itu kemudian.
Pertanyaan sederhana. Tidak berbahaya. Cassidy bisa menjawabnya dengan cukup santai.
"Baik, sejauh ini, lancar-lancar saja, Profesor."
Pria itu mengangguk. "Apa yang ingin kau lakukan setelah lulus dari college? Pernah terpikirkan olehmu?"
Itu adalah pertanyaan yang cukup sulit karena Cassidy belum berpikir sampai ke sana. Tapi... ada hal yang selalu ingin dilakukannya selama ini, bukan?
"Well, kurasa aku akan mencari pekerjaan di perusahaan penerbitan. I think it will be cool." Tanpa ia sadari, ia sudah menghabiskan setengah isi gelas. Mungkin karena itulah, Cassidy merasa lebih santai. "Tapi itu hanya sekadar rencana yang tidak pasti. Aku mungkin saja harus kembali ke rumah..."
"Kenapa kau harus kembali ke rumah?" tanya pria itu, dengan cepat mengendus bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam ucapan Cassidy.
Pria itu sudah meletakkan gelasnya di meja dan kini bergerak untuk duduk di sebelah Cassidy. "Belakangan ini aku memperhatikan kalau kau memang tidak tampak begitu baik, Cassie."
Cassie... Nama itu jadi begitu indah ketika keluar dari bibir pria itu.
"Ayahku... ayahku sakit dan para dokter tidak begitu yakin apa yang menjadi penyebabnya. Mereka hanya memiliki kecurigaan dan semua itu tidaklah bagus. Sekarang ayahku tidak bisa bekerja dan harus bolak balik rumah sakit untuk pengecekan, sementara ibuku harus bekerja dan tidak bisa setiap saat menemani ayahku. Jika aku kembali, mungkin ibu tidak perlu bekerja sepanjang waktu dan bisa menemani ayahku. Ayahku bisa fokus pada pengobatan. Anyway, aku hanya berharap ayahku baik-baik saja."
Cassidy melihat kening pria itu berkerut penuh perhatian. Dia lalu bergerak lebih dekat pada Cassidy dan Cassidy bisa merasakan lengan pria itu di belakang tubuhnya.
"Aku yakin ayahmu akan baik-baik saja. Have faith," ucap pria itu lembut.
Rasanya dada Cassidy terasa lebih ringan saat ia mendengar ucapan itu dan menatap ke dalam mata pria itu. Gugup dan tidak tahu apa yang harus ia ucapkan selanjutnya, ia beralih untuk meraih gelas anggurnya hanya untuk mendapati bahwa gelas itu kosong. Tak punya pilihan, ia meletakkan kembali gelas itu.
"If you need to take a break from my class, I will allow it, Cassidy. Lakukan apa yang perlu kau lakukan, jangan cemaskan hal lainnya. Aku juga bisa berbicara dengan profesor-profesor yang kelasnya kau ambil. Mereka akan mengerti."
Cassidy menggeleng cepat. "Tidak... aku tidak bisa meminta hal itu darimu, Profesor."
"Tentu saja kau bisa," jawab pria itu cepat lalu Cassidy merasakan rangkulan pelan di pundaknya. "Kau bisa meminta apa saja dariku, Cassie."
Cassidy kembali menatap pria itu dan Profesor Chandler membalas tatapannya dengan kedua mata abunya yang tampak intens. Jantung Cassidy kembali berdegup kencang dan ruangan ini menjadi luar biasa panas sehingga ia nyaris tidak bisa bernapas. Ketika akhirnya ia menemukan suaranya lagi, Cassidy berbicara sangat pelan. "Apa... apa maksudmu, Profesor Chandler?"
Pria itu mendekatkan bibir mereka hingga nyaris bersentuhan. Cassidy menutup sisa jarak itu. Ia tidak bisa menahan dirinya. Ia menginginkan pria itu. Profesor Chandler begitu lembut dan hangat dan sentuhan bibirnya mengirimkan panas yang melelehkan tubuh Cassidy. Ia bisa merasakan tangan pria itu di pahanya dan terus bergerak lebih ke atas.
Cassidy terkesiap dan menahan pra itu, setengah hati mencoba menjauhkannya. "Profesor, kita tidak seharusnya melakukan ini..."
"Aku tahu, tapi aku menginginkannya, Cassie..." Tangan pria itu menyentuhnya lembut dan matanya yang dalam menatap Cassidy penuh gairah jujur. "Apakah kau tidak menginginkan hal yang sama?"
Tubuh Cassidy menjawabnya sebelum benaknya sempat berpikir. "Ya, ya, aku menginginkannya, Profesor."
Saat berikutnya, yang Cassidy tahu, bibir pria itu sudah menekan bibirnya kembali dan tangan pria itu kembali mengusap pahanya. Penolakan apapun yang tadi sempat dimiliki Cassidy kini menghilang sepenuhnya. Ia tidak peduli lagi. Gairah panas sudah mengambilalih tubuhnya.
Mulut pria itu kemudian bergerak ke sisi leher Cassidy dan erangan pelan keluar dari bibirnya saat pria itu meremas dan membelai paha dalamnya.
"Cassie," gumam pria itu dengan suara serak. "Aku sudah menginginkanmu sejak pertama kali aku melihatmu."
"Profesor, aku juga menginginkanmu." Cassidy bergerak, sengaja membiarkan salah satu sisi sweaternya jatuh dari bahunya. "Sekarang."
Pria itu meraih tangan Cassidy lalu menariknya dari sofa. Kaki-kaki Cassidy terasa gementar dan ia pikir ia akan jatuh tapi pria itu membimbingnya dan membawa Cassidy ke lantai atas. Cassidy tahu ia sedang menyeberangi batas yang apabila diseberangi, tidak ada lagi jalan untuk kembali. Ia mencoba melihat ke belakang, ragu sedikit saja sebelum menepikan keraguan itu. Begitu tiba di lantai dua, Cassidy sudah membulatkan tekad, ia tidak akan mundur.