Dua

410 87 18
                                    

Asahi berangkat pagi-pagi sekali ke toko Tuan Tanaka. Ia mengenakan celananya yang paling pendek, sengaja agar luka sabetan yang belum diobati di kakinya itu terlihat jelas, ia juga berjalan sambil terpincang-pincang. Entah apa rencana ibunya dengan menyuruhnya begitu, Asahi hanya menurut saja.

Di sinilah Asahi sekarang, di depan toko Tuan Tanaka yang baru saja buka. Asahi melihat orang yang dipanggilnya dengan sebutan Oji-san itu tengah berada di dalam.

"O-oji-san."

Tuan Tanaka yang mendengar suara kecil milik Asahi itu langsung keluar dari dalam toko. Wajah pria tua itu tampak masam dan matanya menatap penuh curiga ke arah Asahi.

"Mau apa lagi kau ke sini?!"

"A-aku datang untuk membayar hutang Ibu, Oji-san," ucap Asahi dengan suara pelan. Secara otomatis, kepalanya tertunduk dan kedua tangannya meremat uang lembaran dengan gugup. "Aku juga ingin meminta maaf atas ulahku semalam. Aku berjanji tak akan mengulanginya lagi. Tolong jangan laporkan ibuku. Aku minta maaf, Oji-san."

"Bah! Omong kosong!" dengus Tuan Tanaka. "Ibumu pasti akan menyuruhmu mencuri lagi nanti! Aku akan benar-benar melaporkan ibumu itu ke polisi jika itu terjadi lagi! Aku akan membuat ibumu masuk penjara! Biar kau dan adikmu itu tinggal di panti asuhan!"

Asahi menatap Tuan Tanaka dengan takut, ia benar-benar takut dengan ancamannya. Matanya mulai memerah karena menahan tangis. Ia tak bisa membayangkan jika ibunya masuk penjara dan Akari harus dibawa ke panti asuhan.

Tidak, ia tak mau itu. Dia tak akan membiarkan itu.

Tuan Tanaka baru saja hendak kembali bicara, tetapi Asahi tiba-tiba bersujud di depannya. Tuan Tanaka tersentak saat melihat tubuh kecil anak itu bergetar hebat di bawah kakinya.

"Aku minta maaf, Oji-san. Aku minta maaf," mohon Asahi. "Aku janji tidak akan melakukannya lagi. Jangan laporkan ibuku. Kasihan adikku, Oji-san. Aku minta maaf."

Tuan Tanaka merasa hatinya teriris tiba-tiba. Entah kenapa ia merasa iba mendengar permintaan maaf penuh ketakutan dari anak kecil berbaju lusuh itu. Ditambah, sekarang ia dapat melihat kaki Asahi yang penuh dengan luka. Itu bekas luka sabetan yang ia berikan semalam. Kaki kurus anak kecil itu penuh dengan garis-garis merah yang membiru, ada juga bekas-bekas darah kering di antara lecet-lecet kakinya.

Ah, apa yang dilakukannya semalam? Bukankah ia sudah keterlaluan menghukum anak itu? Ia sudah tahu kalau tidakan kriminal Asahi semalam bukanlah kemauan Asahi sendiri, ibunya yang pengangguran dan pemabuk itulah yang pasti memaksanya. Anak miskin itu tak punya pilihan. Asahi hanya anak polos. Kenapa dirinya harus menghukum Asahi sekeras itu? Usia Asahi bahkan baru sembilan tahun, seumuran dengan cucunya.

"Aku minta maaf, Oji-san. Aku minta maaf," lirih Asahi, masih dalam posisinya yang bersujud di kaki Tuan Tanaka.

Tuan Tanaka kini mengusap wajahnya kasar, hatinya penuh dilema. "Baiklah! Baiklah! Aku maafkan! Haish, kau ini!"

Asahi yang mendengar itu lantas mengangkat wajahnya, sempat tak percaya dengan penerimaan maaf Tuan Tanaka. Namun sekali lagi Tuan Tanaka menekankan bahwa ia telah menerima permintaan maafnya. Hati Asahi penuh rasa syukur sekarang.

"Terima kasih, Oji-san, terima kasih!" Asahi menunduk-nunduk. Ia lekas berdiri dan memberikan uang lembaran yang berada di tangannya. "Ini untuk membayar hutang ibuku, Oji-san. Ibu baru bisa membayar setengahnya, Ibu berjanji akan membayar sisanya lagi nanti."

Tangan Asahi langsung ditepis Tuan Tanaka. "Sudahlah! Lupakan saja! Aku sudah mengikhlaskannya!"

"Be-benarkah?"

The Chicks of Pitta ✔️ [Asahi Short Story]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang