Menjadi generasi sandwich tidaklah mudah. Sangat. Bukan keinginanku dan tentu bukan tuntutan orang tua. Mungkin inilah satu-satunya jalan agar aku bisa membalas jasa-jasa kedua orang tuaku. Giliranku untuk berjuang demi mereka.
Aku seorang anak perempuan pertama, anak yang paling kuat dan pemberani. Aku paling kuat daripada saudara-saudaraku, mereka gugur dan menyerah bahkan sebelum dilahirkan. Namun, ada satu adikku yang berjuang untuk hidup, dia cukup kuat, tetapi masih membutuhkan selang infus ke tangannya.
Aku bangga pada diriku sendiri, di saat seluruh keluargaku pernah menghirup udara rumah sakit, aku malah belum pernah menginjakkan kaki di tempat itu. Tentu saja aku wanita kuat, seperti layaknya wonder women.
Ibuku memiliki banyak gula di tubuhnya, pantas saja dia manis sekali. Ucapan dan senyumannya membuatku tenang saat menatapnya. Sayang seribu sayang, senyuman itu tidak bertahan lama saatku berumur 17 tahun, di saat itu juga adik Perempuanku masih berumur tujuh tahun.
Hingga aku sadar bahwa manis berlebihan itu, tidak baik. Entah aku harus bersyukur ataukah senang, adik Perempuanku sama seperti ibu memiliki kemanisan yang sama.
Huh!
Kenapa adikku selalu saja mengambil banyak dari ibu dibanding aku? Kenapa ibu tidak adil? Walau begitu kekuatanku tak tertandingi. Ketika adikku lagi-lagi meminta selang oksigen ke perawat, aku harus pergi jauh ke tempat rantauan, dimana aku bisa mendapatkan uang yang cukup untuk biaya pengobatan adikku.
Susah-susah gampang sejujurnya, bekerja di kota metropolitan dengan titel yang cukup tinggi. Aku satu-satunya anak yang juga berhasil menginjakan kaki sarjana. Semua itu berkat bapak, walaupun beliau hanya seorang petani dan pedagang biasa.
Bapak adalah orang yang paling berjasa sepanjang hidupku. Tidak heran kekuatanku sepertinya berasal dari beliau. Sayang seribu sayang, perjuangan bapak terhenti gara-gara terjatuh dari tebing satu hari setelah adik Perempuanku juga tidak menghirup oksigen lagi.
Aku berdiri dengan kaki yang masih kokoh, usiaku masih muda. Saat ini aku berumur 25 tahun. Aku menatap dua gundukan tanah yang masih basah, di sampingnya lagi ada satu gundukan tanah yang sudah tertutupi rumput liar.
"Duniaku tidak hancur, masih ada satu harapan," gumamku percaya diri.
Aku pergi meninggalkan anggota keluargaku yang sudah lebih dulu membentuk keluarga. Di alam lain. Ada satu harapan bagiku agar tetap hidup, salah satu orang yang aku cintai. Orang yang selalu menemaniku suka maupun duka.
Sudah lama juga aku tak berjumpa dengannya, dia yang kupacari selama sewindu, dia pria dewasa dan memiliki masa depan yang pasti. Seorang pebisnis. Dia telah lama keluar kota karena urusan pekerjaan.
Kutanjapkan gas pada sepeda motor yang kubeli oleh gaji pertamaku, berkat itu aku bisa pergi bekerja dan kemana saja tanpa harus menunggu dan mengantri angkutan umum.
Di saat sampai pada tempat yang kutuju, aku bisa melihat orang yang kusayangi di rumahnya. Namun, satu hal yang tak mau aku, akui. Satu hal yang aku sangkal kebenarannya.
Aku begitu keras kepala, sampai berani-beraninya datang tanpa diundang ke sini. Tidak. Aku melakukan hal yang benar, dia harus menjelaskan sesuatu padaku. Aku berhak melakukan ini dan aku tidak salah.
Di rumah ini begitu banyak orang, aku sempat ragu, tapi aku mengenyahkan hal itu. Aku harus meminta penjelasan.
"Aku ingin bicara bersama kalian," ajakku kepada sepasang orang.
Dengan raut wajah menampakkan keterkejutan, mau tak mau mereka berdua mengiyakan permintaanku.
Di sebuah ruangan lengkap dengan meja dan kursinya, mungkin ruangan ini di fungsikan untuk ruang keluarga karena terdapat televisi yang besar di sisi ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Duniaku Tidak Sepenuhnya Hancur
Short StoryAku tidak sendirian, Allah masih menemaniku. Duniaku belum hancur, Allah-lah yang memberi ke indahan di dalam hidupku. Aku percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.