4. Petunjuk Baru

41 6 0
                                    

Agra segera menoleh ke belakang, Mila juga.

Seketika melihat wajah yang tidak asing, Agra dan Mila menghela napas.

"Kalian -"

Ucapan Redi, sahabat Agra itu tercekat seketika Agra membungkam mulutnya. "Diam, ayo ikut!"

Agra menyeret Redi pergi dari tempat itu.

Mila pun mengekori mereka, sambil sesekali ia melihat ke arah belakangnya, siapa tahu Paman Momon sudah kembali.

Bisa gawat kalau sampai mereka ketahuan.

Saat sudah keluar dari gang itu, bersembunyi di pinggiran toko, Agra melepas bekapan tangannya di mulut Redi.

"Apa-apaan sih?" protes Redi sambil mengusap mulutnya sendiri. "Bekap-bekap mulut orang sembarangan. Bau pula itu tangan."

"Kau sendiri kenapa tiba-tiba muncul buat ribut, hah?!" Agra protes balik.

"Ya kalian mencurigakan sekali, mengendap-endap di gang sempit. Berdua-duan begitu. Jangan-jangan kalian mau -"

"Hei, mulut!" Mila seketika menyela perkataan Redi karena tahu arah pembicaraannya.

Melihat gadis itu sudah melotot, Redi tampak mengangkat kedua tangannya sambil berkata, "Oke-oke, sorry."

"Ini mulut memang tidak bisa dijaga omongannya," imbuh Redi setelah menepuk sekali bibirnya sendiri.

Mila hanya mendengus. Agra sendiri terlihat mengintip lagi, siapa tahu Paman Momon sudah keluar dari gang.

"Lihat apa, sih?" tanya Redi penasaran, karena Agra tidak biasanya serius begitu.

"Jelaskan kepadanya. Aku masih mau mengintai," pinta Agra kepada Mila.

"Yakin?" tanya Mila seolah meragukan Redi.

"Mengintai apa, sih?" Redi justru jadi semakin penasaran.

Bukannya menjawab pertanyaan Redi itu, Agra yang masih mengintip ke jalanan depan gang berkata kepada Mila, "Tidak apa-apa, ceritakan saja kepadanya agar bisa diam."

"Ha? Kenapa aku harus diam?" Redi protes.

"Oke." Mila menyanggupi permintaan Agra, kemudian beralih bicara kepada laki-laki dengan kumis tipis di depannya. "Aku cuma akan menceritakannya sekali, jadi, kau dengarkan baik-baik. Mengerti?"

"Iya, cerita apa?" Redi sudah antusias, tidak sabar mendengar cerita di balik seriusnya seorang Agra yang hidupnya selalu santai.

"Awalnya, Paman Wicak tidak pulang ke rumah kemarin malam. Motornya bahkan diantarkan oleh pemilik warung di sana itu. Nah, tadi pagi, Agra ke warung itu lagi. Pemiliknya, yang namanya Paman Momon memberikan kepada Agra buku pertanian. Tahu di buku itu ada apa?"

"Apa-apa?"

"Ada surat yang isinya, Paman Wicak bilang dia pergi jadi Agra tidak perlu mencarinya."

"Astaga, serius?"

"Ih, belum selesai. Dengar dulu, jangan menyelaku."

"Iya-iya. Cepat lanjutkan!"

"Ternyata, di dalam surat itu ada pesan tersembunyi, seolah Paman Wicak meminta tolong. Pokoknya, ada banyak keanehan yang Agra sadari, makanya, kami tadi sedang mengintai Paman Momon."

"Astaga, berarti kalian mencurigai Paman Momon di balik hilangnya Paman Wicak begitu?"

"Betul. Tadi kami lihat dia melakukan transaksi. Tapi, kau datang dan buat semuanya berantakan."

"Ya maaf. Namanya juga orang tidak tahu," ucap Redi sambil menggarukkan kepala bagian belakangnya yang tidak gatal, merasa bersalah juga.

"Harusnya kalian bilang. Kalau berbahaya bagaimana? Tumben juga si Agra mengajakmu dan bukan aku?" imbuh Redi menatap curiga.

LARA 1998 [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang