13. Akhir Kisah LaRa

61 7 2
                                    

"Coba kamu cari, Gra. Daerah jalanan menuju rumah sakit ini kerusuhannya parah," kata Paman Wicak menganjurkan.

"Iya, Paman. Aku pergi dulu." Agra yang sudah sangat khawatir pun segera beranjak.

Namun, di depan pintu, Redi membuatnya menghentikan langkah. "Gra, tunggu!"

"Apa?" tanya Agra dengan ekspresi kesal. "Aku sedang buru-buru ini, Red."

"Iya, tahu. Ini, bawa ini. Nanti kalau Mila sudah sampai di sini, aku akan menghubungimu," jawab Redi sambil mengulurkan telepon genggam miliknya.

Agra meraih telepon genggam itu, menatap Redi. Sambil tersenyum tipis, ia menepuk pundak sahabatnya itu dan berkata, "Thanks, Red."

Laki-laki yang menggunakan kemeja warna biru itu pun segera berlari meninggalkan Redi.

Melihat Agra tersenyum begitu, Redi jadi merinding sendiri, memegang tengkuk lehernya sendiri. "Astaga, bisa tersenyum juga itu manusia?"

"Ck. Ck. Ck." Redi berdedak, kemudian berjalan kembali ke ruang Paman Wicak sambil masih terheran juga.

>

Sementara itu, Agra sudah berlari menuju ke tempat parkiran motor, bergegas karena firasatnya buruk sekali saat itu.

"Kamu di mana, Mil?" gumam Agra sambil memacu motornya meninggalkan rumah sakit.

>

Di sebuah jalanan terlihat kendaraan umum sudah terbakar, mengeluarkan asap hitam diiringi oleh sorak-sorai orang-orang yang menjadi pelaku pembakarannya.

Seorang lagi tampak menangis, duduk di atas aspal meratapi kendaraan yang sudah menjadi saksi bisu perjalanannya mencari nafkah selama ini.

Di pinggiran dinding salah satu bangunan pinggir jalan, seorang gadis terlihat takut-takut mengintip pemandangan mencekam tadi.

Ya, Mila ternyata benar-benar terjebak di kerusuhan di area itu saat akan menuju rumah sakit.

Gadis yang memakai kemeja warna kuning itu harus turun dari kendaraan karena tetap memaksakan diri melanjutkan langkahnya menuju rumah sakit.

Padahal, orang-orang sudah menyarankannya untuk tidak memasuki area kerusuhan itu dulu.

"Ayo, Mil. Jangan takut," gumam Mila sambil menepuk kedua pipinya sendiri, menguatkan diri.

'Demi Agra, kau harus berani!' imbuh Mila dalam hati.

Mengingat, jika tidak sekarang, ia tidak tahu kapan lagi bisa bertemu Agra.

Bagi Mila, kerusuhan itu tidak lebih menakutkan daripada rasa menyesal yang akan ia tanggung seumur hidup jika tidak bicara dengan Agra sebelum pergi.

Setelah meyakinkan diri, Mila pun segera berjalan melewati gang-gang pertokoan dan menghindari jalan besar.

Pikirnya dengan begitu mungkin ia akan sedikit aman.

Tapi nahas, yang terjadi justru sebaliknya. "A-apa yang terjadi?" Mila tidak habis pikir dengan apa yang ia lihat.

Banyak toko yang sedang ia lewati sedang mengalami penjarahan dan pembakaran.

Hari itu, ia tahu kalau masyarakat tengah melakukan protes untuk menuntut keadilan penembakan mahasiswa yang tewas kemarin.

Tapi, ia tidak tahu, kalau isu lain telah berkembang. Sebuah isu sentimen etnis Tionghoa yang sengaja dipantik oleh orang-orang tidak bertanggung jawab.

Ya, saat itu, Mila melihat banyak sekali toko milik orang etnis Tionghoa dijarah.

"A-apa yang -" Gadis itu tidak sampai hati melanjutkan perkataannya.

LARA 1998 [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang