Chapter 1

2.8K 23 0
                                    

Pada malam hari, di pasar modern yang terletak di wilayah selatan kota "J", terdapat banyak pejalan kaki yang berisik dan kendaraan yang lalu lalang dengan acuh tak acuh. Sampah daun sayur dan air kotor berserakan diatas tanah. Ada banyak sekali papan nama toko yang memudar, dan kadang-kadang ada beberapa lampu neon satu warna yang menyala. Ada para pekerja sektor informal yang sedang berjalan pulang kembali ke rumah, anak-anak yang telah menyelesaikan sekolah, gerombolan anggota keluarga yang sedang mengantri membeli makanan, dan banyak pejalan kaki yang lalu lalang, menyebabkan langit sore yang kelabu dan berdebu tampak semakin suram.

Mungkin di kota metropolitan seperti ini, wilayah seperti itu adalah noda yang paling diremehkan orang, wilayah yang mereka harapkan tidak pernah ada.

Di dekat tembok di samping persimpangan, ada seorang pria yang dengan santai dan puas melakukan apa yang dianggap memalukan oleh orang lain.

Di dekat tembok di samping persimpangan, ada seorang pria yang dengan santai dan puas melakukan apa yang dianggap memalukan oleh orang lain

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ini adalah seorang pemuda dengan wajah yang berlumuran minyak dan keringat, membuka sebuah kedai ramen mini. Dia mengenakan pakaian putih, celemek berwarna senada warna kopi, dan sepasang sandal berwarna biru yang kaku.

Rambut pemuda itu berantakan, namun memiliki wajah yang agak dewasa dan tampan, jika dilihat lebih dekat, akan terlihat bahwa ini adalah pria yang sangat pekerja keras sebagai tulang punggung keluarga. Sangat disayangkan bagaimana pun penampilannya, para wanita yang berjalan lalu lalang di depan lapak ramen miliknya bahkan tidak meliriknya, karena, dia hanyalah penjual ramen pinggir jalan.

Pemuda itu meletakkan mangkok yang baru saja dia ambil dan cuci di sampingnya. Dengan cuaca yang sedikit panas pada bulan-bulan ini, memasak untuk memenuhi kebutuhan karyawan yang bekerja disekitar daerah tersebut menjadi mudah karena mereka tidak akan mau menghabiskan waktu lama dengan pergi jauh-jauh hanya untuk mencari makan saja akan tetapi menjualnya juga cukup sulit. 25-35 ribu untuk satu mangkok ramen untuk daerah tempatnya berjualan memang dianggap murah, tetapi setelah seharian penuh, ia hanya mendapat sedikit kurang lebih di atas 300 ribu setelah menjual hanya 8-10 mangkok saja. Hampir tidak cukup untuk makan 2 kali dan juga memenuhi untuk kebutuhan belanja untuk berjualan esok harinya. Namun, pemuda itu tampaknya tidak merasa sedih dengan hal ini, dia malah memasang ekspresi santai dan puas. Dia duduk di bangkunya, memandang ke arah jalan yang ramai, seolah pemandangan seperti itu adalah pemandangan yang paling indah.

"Pak Tua, sudah waktunya kamu membayar apa yang kamu sepakati 2 hari yang lalu!" Suara laki-laki bernada tinggi tiba-tiba muncul dari samping.

Ketiga laki-laki yang mendekat tidak terlihat berusia di atas 20 tahun dan berpakaian seperti preman lokal, dengan rambut tegak, berkalung rantai perak, celana jins berlubang, wajah kurus, dan sebatang rokok di mulut mereka.

Pak Tua bernama Jo tersebut adalah seorang pedagang yang menjual gorengan tepat di samping pemuda itu. Demikian pula, karena cuaca yang panas, dia tidak punya banyak pelanggan dan duduk di kursinya dengan ekspresi khawatir.

Contract Marriage [Project Santai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang