Peristiwa di siang tadi nyaris membuat Abimana hilang kendali. Dia memang belum pernah marah atau pun berkata kasar pada istrinya. Semenjak dia mengucapkan ijab kabul di depan Tuan Kadi, dia telah berjanji untuk dirinya sendiri akan tetap menyayangi dan senantiasa memperlakukan Ajeng dengan baik.
"Maaf jika kedatangan saya mengganggu kalian." Abimana menunduk sopan kepada dua orang paruh baya yang memiliki kemiripan dengan istrinya. "Saya tidak bermaksud untuk merepotkan Ibu, tapi kalau boleh saya benar-benar membutuhkan bantuan."
"Nak, kami sudah menganggapmu seperti putra kandung kami sendiri. Jangan bersikap seolah-olah kami ini hanya orang asing, apa yang bisa Ibu lakukan untukmu?"
"Ayah, Ibu, malam ini saya akan berangkat ke Kalimantan, urusan bisnis. Kemungkinan agak lama." Dia hela napasnya dalam-dalam untuk diembuskan rendah. "Sebelumnya saya sempat berpikir untuk membawa Ajeng bersama saya, tapi dokter melarang. Kandungan istri saya lemah, Ajeng diharuskan beristirahat penuh selama satu minggu. Apa bisa ibu temani dia sampai saya pulang? Saya enggak tenang membiarkan Ajeng di rumah sendirian. Walau ada Mumu, saya pikir saat ini Ajeng membutuhkan seseorang yang juga bisa mendukungnya. Saya baru tenang kalau Ibu mau tinggal beberapa waktu di rumah kami." Dengan hati-hati dan lugas Abimana Abrisam mengumumkan tujuannya.
"Semua terserah Ibumu. Bagaimana Cahyani? Kasian menantu, kanu pergilah ke sana dan temani putri kita. Jaga baik-baik calon cucuku," Pria yang lebih tua menginterupsi tenang. Pak Laksmana Wicaksono namanya. Beliau baru saja menampilkan sisi wibawanya sembari menyesap teh dari cangkir berbahan keramik di situ.
"Baiklah. Nanti aku minta Seto untuk mengantarku ke sana malam ini."
Kelegaan mengudara dari belah bibir Abimana. Seraya bergantian menatap ayah dan ibu mertuanya, senyum damai terukir di parasnya. "Saya senang sekali ayah dan ibu bersedia menolong saya, akhirnya saya bisa berangkat ke Kalimantan dengan tenang."
-----
Beralaskan map biru, Abimana menandatangani selembar berkas penting. Wajahnya jelas terlihat tak berminat. Siap mengesahkan laporan, dia kembali menyerahkannya kepada Alvian Lim, rekan bisnisnya.
"Maaf merepotkan dirimu, Lim," kata Abimana sepenuh hati sebelum dia mendesah pelan seakan tengah menghadapi polemik berat.
"Lo enggak apa-apa? Kita bisa menunda kepergiannya kalau Lo mau. Istri Lo bagaimana?" Cecaran datang dari si rekan, menangkap kegelisahan Abimana di mana dia pun dapat merasakan kecemasan demikian sungguh mengganggu konsentrasi.
'Istri anda mengalami syok berat, juga kemungkinan kelelahan. Untung Anda bergerak cepat, sehingga bayinya baik-baik saja. Vlek itu biasa terjadi, risiko pada kehamilan ketika merasa cape atau stres. Dia juga sudah boleh pulang, sepertinya berlama-lama di rumah sakit justru akan berdampak pada emosional istri Anda, dia bisa ketakutan.'
"Kita tetap berangkat, orang-orang di sana pasti menunggu. Aku enggak mau lihat kekecewaan di mata mereka setelah bekerja keras untuk mewujudkan perencanaan proyek ini." Tidak ada pilihan lain ketika Abimana telah dikenal sebagai pimpinan bijak disegani dan berdedikasi tinggi. Toh, tidak sekali dua kali dia diserang kekhawatiran setiap keadaan mendesaknya untuk meninggalkan istri.
Alvian Lim mendengkus, merasa belum cukup dengan tanggapan rekannya yang jelas-jelas sangat terpaksa. "Istri Lo lagi hamil. Keadaannya kurang baik, hampir pendarahan 'kan? Dia juga butuh Lo, Bim. Dalam hal ini pasti akan mengalami trauma jangka pendek. Gue bilang begini karena istri gue pernah mengalami juga."
"Ini udah keputusan final, Vin. Aku memikirkan segalanya dengan pertimbangan matang."
Mungkin bagi sekitar mereka erangan Alvian Lim lebih mirip vokal putus asa. Tentu masalah keluarga Abimana bukanlah wewenangnya. "Baik, kita tetap pergi. Lo sendiri segitu yakinnya, apa hak gue untuk mundur?! Kita harus selaras di dalam proyek kerjasama ini. Jadi, kita pasti bersemangat dan benar-benar siap dari sekarang 'kan?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Dek Ajeng & Mas Abim
RomanceAjeng yang manja berpikir suaminya selalu memenuhi segala permintaan dia. Abimana punya banyak cinta untuk diberikan kepada istri tersayangnya ini tanpa tega menolak. Telanjur terlena justru menjerumuskan Ajeng ke dalam masalah besar dan genting. Di...