Bismillah..🌞🌞🌞
Semburat warna jingga yang bernama senja menjadi latar belakang seorang pria yang tengah berjalan di koridor kelas. Sesekali dia tersenyum tipis karena beberapa orang yang melewati dan menyapanya dengan ramah. Tidak, bukan para gadis lagi. Hanya adik kelas pria. Sudah tak heran lagi jika Sakha mengenal lebih banyak adik kelas karena sebuah ekskul yang diikuti. Yang di antaranya ada OSIS, kesenian dan keagamaan atau bisa disebut rohis. Cukup sibuk, kan? Sakha memang menyukai kesibukan. Tentunya yang positif, semenjak putus dari Aruna perlahan hatinya mulai ikutan sadar seakan secercah hidayah itu masuk ke dalam hatinya walau tidak sepenuhnya, yang tadinya ia tidak aktif diekskul keagamaan sekarang dirinya menjadi aktif kembali.
Sakha tidak ingin membuat kecewa orangtuanya lagi kali ini. Ia sudah berjanji dalam dirinya sendiri tak akan mengikat seorang perempuan dengan cara yang tak halal. Wanita itu bukan mainan yang bisa seenaknya saja dipermainkan, apalagi dipermainkan dengan hubungan tak pasti seperti pacaran. Wanita juga bukan jemuran yang seenaknya digantung-gantungkan begitu saja, mereka butuh kepastian. Dan kepastian yang mutlak itu hanya ikatan pernikahan. Saat ini pula Sakha tidak ada waktu untuk memikirkan wanita lagi. Justru, diusianya ini yang sekarang masih muda Sakha ingin mengetahui banyak hal. Nomor satu yang pastinya perihal agama.
“Kha! Woy!” Gibran berteriak kencang memanggil sahabatnya, ia berlari menghampirinya lalu merangkul bahu Sakha.
“Kenapa? Mau bahas apa yang seru dari bersih-bersih lagi?” canda Sakha.
Gibran terkekeh, “Nggak, bosen ah! Kha, Lo tadi kenapa tiba-tiba bantuin Dafiya ngepel? Ciee lo suka, ya? Ekhm,” ledek Gibran sambil batuk-batuk.
Sakha tersenyum sinis, “Cuma sekedar bantu aja dibilang suka, Lo gimana sih Gib. Bukannya kita sesama muslim harus saling tolong menolong?”
“Ya maksud gue...” belum Gibran melanjutkan ucapannya Sakha langsung menjelaskannya.
“Sebenarnya gue tadi ngelihat wajah yang gak biasanya dari dia, gue rasa ada sesuatu yang terjadi sama dia. Entah itu apa, tapi gue cuma berniat buat ngeringanin bebannya aja, masa iya gue biarin dia ngepel dengan wajah muram gitu, gak enak! Nanti lantainya gak ikhlas. So, gue Cuma berniat baik aja bukan apa-apa. Sekaligus gue masih merasa bersalah sih sebenernya,” tutur Sakha yang membuat Gibran mengangguk mengerti dengan ucapannya.
“Asyikk, si paling peka. Good boy! Emang dah Lo keren banget,” puji Gibran memberikan dua jempol.
“Segala puji bagi Allah, udah ah! Gue mau pulang. Lo mau nginep?”
Gibran menggeleng, “Gak, kemarin Lo tau gak ada rumor katanya seseorang pake gamis putih tidak berhijab rambutnya panjang kakinya tidak napak berkeliaran disini. Ih serem,”
“Masa lo takut sama setan? Manusia lebih mulia daripada mereka,”
“Iya sih cuma mukanya itu lhoo nyeremin, coba kalau kiyowo gue gak akan tuh takut!” ungkap Gibran seolah bernego tentang wajah makhluk halus tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Away to Guard [ Terbit ]
Novela JuvenilIni cerita tentang remaja SMA yang selalu berusaha menjaga hati dan jiwanya agar tetap teguh memegang aturan agama. Soal ujian yang dihadapi anak muda ketika menghadapi soal perasaan. Dari rasa kebencian menjadi ketertarikan. Dengan lantang ia mengu...