Chapter 01

1.6K 156 17
                                    

"Kamu...apa?"

Aku benar-benar tak bisa berkata apa-apa ketika mendengar penuturan Harita, adikku yang tengah menangis meraung di hadapanku.

Mataku berganti menatap sosok yang turut tertunduk diam, tak jauh dari posisi Harita saat ini. Aku menatapnya lekat. Dadaku ingin meledak karena sakit tak terperi akan rajaman fakta yang tengah di ungkap.

"Mas, ini semua bener? Ini semua bohong kan? Iya kan? Kamu sama Harita bohong, kan?" Desakku. Tak kupedulikan suaraku yang parau. Aku bahkan tak sadar mataku telah menangis karena rasa sakit yang membuat sekujur tubuhku mati rasa.

Harapanku, lelaki di hadapanku ini akan segera tertawa terbahak dan memelukku sembari meminta maaf karena candaannya yang kelewat batas. Tapi sayang, harapanku sirna. Tak ada gurat gurau di wajahnya.  Wajah yang biasanya sangat teduh dan murah senyum itu seketika berubah penuh beban dan tertekan.

"Mas..."

"Mas minta maaf, Hassi." Lirih. Hanya bisikan lirih itu yang ku dapat, ditambah dengan raut wajahnya yang semakin keruh dan penuh penyesalan.

Aku terdiam. Rasanya begitu bertubi jika aku dipaksa untuk menerima semua aliran fakta ini secara bersamaan. Keterlaluan. Tidakkah mereka iba padaku? Tidak kah setitik saja mereka merasa bersalah padaku?

Tak kusangka, setelah permintaan maaf itu meluncur dari bibir Natha, tawa ku meluncur begitu keras. Tawa terbahak, yang entah seperti apa terdengarnya. Hatiku hancur, remuk, seketika.

Pengakuan kejam dari Harita yang mengaku hamil anak dari Natha, kekasih yang dalam dua hari lagi akan segera menjadi suamiku, begitu memporak porandakan hidupku.

Aku meraung, memaki, bahkan memukuli mereka berdua. Tak peduli bagaimana Mama dan Papa yang berusaha menenangkan aku maupun Harita yang menangis memohon ampun.

"Brengsek kalian. Bajingan! Sialan! Pelacur! Laki-laki murahan!" Sumpah serapah meluncur deras dari bibirku, tak lagi mempedulikan bagaimana nanti perasaan Harita karena ucapan kejam itu. Perbuatan mereka lebih kejam dari sekedar ucapan kasarku. Aku memeluk Papa, yang balas memelukku erat. Aku menumpahkan laraku di dalam dekapan lelaki yang menjadi cinta pertamaku di dunia.

"Hassi sakit, Pa. Hassi nggak kuat." Raungku pilu. Bisa kurasakan dekapan Papa yang makin erat memeluk tubuh.

"Shh sayang, Hassinya Papa, jangan bilang begitu nak. Kita bisa melewati ini. Hassi anak Papa yang paling kuat. Hassi nggak boleh nyerah. Kita cari solusinya sama-sama, nak."

Aku tetap menangis dalam dekapan Papa. Solusi? Solusi apa yang bisa di dapat untuk perempuan yang sedang hamil anak dari calon suamiku? Tidak mungkin menggugurkan janin dalam kandungannya. Dan aku juga tak sanggup membiarkan diriku tetap menikahi lelaki bejat yang sudi tidur bersama adikku. Dan yang sangat tak kusangka, bagaimana bisa Harita sekejam itu merebut lelaki yang harusnya menjadi kakak iparnya dalam dua hari ke depan?

Menyadari bagaimana mereka berdua menginjak harga diriku, tangis seketika lenyap dari bibirku. Aku melepas dekapan Papa, mendekati Harita dan Natha, tak mempedulikan permintaan Papa yang terdengar was-was karena langkah kakiku yang makin mendekati sejoli menjijikkan itu.

Aku berdiri di depan mereka, menatap penuh angkara pada Harita dan Natha. Pun ketika Harita berlutut sambil memeluk betisku. Memohon ampunan dari kakaknya, yang selama ini begitu menyayanginya.

"Mbak Hassi, Hari...Hari...minta maaf Mbak." Isaknya pilu. Aku tahu dari raut wajahnya bahwa Harita seperti akan mati dalam rasa bersalah yang begitu hebat. Jika biasanya aku akan segera memeluknya dan mengatakan semua akan baik-baik saja, kini hal itu hanya akan menjadi kenangan. Harita adalah pengkhianat terkejam dalam sejarah hidupku selama dua puluh tujuh tahun.

Aku mengibaskan kakiku, berharap agar pelukan Harita terlepas dari kakiku, namun rupanya, Harita kukuh mempertahankan posisinya. Ia masih menangis dan memohon ampunan dariku. Tidak kah ia begitu tamak, hingga masih memiliki muka untuk meminta maaf dariku usai pengkhianatan yang ia lakukan di belakangku?

Dengan kekuatan penuh, aku mendorong tubuhnya menggunakan kedua tanganku, berhasil membuatnya terbanting dengan posisi terlentang. Aku mengabaikan teriakan Mama yang mengkhawatirkan Harita. Dan Natha yang segera memeluk Harita erat, seolah akulah penjahatnya di sini.

Mama segera beralih memeluk Harita, menatapku penuh murka meski air mata masih beranak pinak di kedua pipinya.

"Hassi! Apa yang kamu lakuin? Kamu gila, hah? Dia adikmu! Dan Harita masih hamil!"

"Mama!" Papa menginterupsi lewat teriakan amarahnya karena ucapan Mama.

Hatiku makin tergores ketika di posisi seperti ini pun, Mama tetap lebih memprioritaskan Harita ketimbang diriku yang tersakiti dan terkhianati meski dua hari lagi mengadakan acara pernikahan.

Aku tertawa terbahak, menatap Mama yang tampak baru menyadari kata-kata apa yang sudah beliau muntahkan untukku. "Perempuan murahan itu bukan adikku! Adikku adalah perempuan manis yang tidak akan pernah sedikitpun terbersit di hatinya buat menyakiti aku. Dan kalau Mama lupa, perempuan yang Mama peluk itu sedang hamil anak dari CALON SUAMIKU!" Aku sengaja menekankan kata calon suamiku, dan itu tepat menampar Mama seketika. Wajah Mama pucat dan penuh rasa bersalah ketika menatapku.

"Undangan udah disebar dari seminggu yang lalu. Semua sudah siap, dan kedua orang bajingan ini baru memberi tau kenyataan setelah dua hari lagi acara bakal digelar. Apa Mama nggak ada sedikit aja rasa kasihan buatku, Ma?" Tanyaku serak. Aku benar-benar sakit hati dengan ucapan dan amarah Mama. Perkara aku mendorong tubuh Harita, apakah hal itu bisa di samakan sakitnya dengan perasaanku saat ini? "Gimana aku menghadapi tamu undanganku nanti? Gimana aku harus menjelaskan ke mereka nantinya tentang acara nikah yang batal dilaksanakan?"

"Kamu...kamu bisa tetep melangsungkan pernikahan itu, Hassi. Pesta itu cuma sekedar formalitas. Kamu nggak perlu batalkan acaranya." Usul Mama dengan nada memohonnya. Aku tertawa sinis.

"Dan mengharuskan aku menjadi istri dari laki-laki murahan itu? Maaf Ma, aku mending jadi perawan sampai mati daripada harus jadi istri dia."

"Hassi!"

Mama, Papa, dan Natha sama-sama meneriakiku. Aku menangis, menatap semua orang di sana yang seolah menyudutkanku. Seolah ini semua hanya hal kecil yang tidak perlu di besar-besarkan.

"Apa? Aku salah lagi, iya kan?" Aku terbahak, menatap penuh benci kepada semua orang, terutama Natha dan Harita.

"Hassi, dengar Papa." Papa tiba-tiba meraih pundakku, memutar tubuhku agar persis menghadap dirinya. "Kita kubur fakta ini, sayang. Pernikahan itu tetap dilaksanakan, biar kamu nggak malu, nak. Biar kamu nggak di cibir orang. Perkara nanti kamu minta cerai seketika, itu hak mu. Papa bilang begini biar kamu nggak menanggung malu, nak. Papa mohon, kamu mengerti situasi. Ini semua demi kebaikanmu."

Kebaikanku, ya? Di sisi mana aku mendapat kebaikan dari rencana gila mereka? Memainkan pernikahan yang jelas akan berujung perceraian, bukankah sama saja membuatku pada akhirnya menanggung malu juga?

"Pa, dengerin Hassi." Aku melepas tumpuan tangan Papa di pundakku. "Hassi bukan perempuan yang mau mempertaruhkan harga diri Hassi, menggadaikan kebahagiaan Hassi ke orang yang jelas berkhianat. Jadi maaf Pa, Hassi tetep bakal membatalkan pernikahan laknat itu."

Aku lantas memutar tubuh, menatap Harita yang berlinang air mata di dekapan Mama. "Selamat ya, Harita. Kamu akhirnya bisa mendapatkan laki-laki bajingan itu jadi suamimu. Ini kan yang kamu mau? Sekarang, nggak perlu main kucing-kucingan lagi di belakangku, karena aku udah serahin laki-laki itu buat jadi milikmu. Jadi suamimu. Pernikahan kalian akan berlangsung dua hari lagi. Selamat berbahagia, laki-laki dan wanita pengkhianat. Semoga kalian bahagia selamanya."

Dengan itu, aku lantas meninggalkan ruang keluarga, diiringi teriakan Mama, Papa, dan Natha karena pingsannya Harita.

RetakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang