Prolog: Bloody oath.

247 21 1
                                    

Ketika lembayung senja menjemput malam, adalah saat-saat yang selalu ia nantikan.

Di temani segelas kopi dalam genggaman dengan kepulan asap yang beraroma memikat terhidu di indranya, selalu menghantarkan sensasi yang menenangkan. Salah satu cara bagi ia menikmati hidupnya yang telah di gariskan oleh takdir yang tengah di jalaninya kini.

Dalam pantulan maniknya terlukis jelas, proses alam pergantian matahari yang perlahan-lahan tenggelam. Cahaya oranye berpendar indah dari pusat tata surya menggambarkan siluetnya kala kedatangan petang di penghujung sore ini.

‘‘Mas, rokok kagak?’’

Erwin Hanggono, si lelaki pengagum itu. Tanpa mengalihkan atensinya pada mahakarya Tuhan yang tersaji di hadapannya, tak mengeluarkan sepatah kata, menggeleng pelan atas tawaran barusan. Memilih kembali menyesap kopinya.

Menenggaknya dalam tegukan yang dalam, lantas matanya memejam merasakan sensasi panas yang mendera rongga pengecap miliknya. ‘‘Ck! Ah, shh.. Goblok! Panas bangsat!’’ Umpatnya kesal.

Tindakannya barusan memancing perhatian sosok lain yang tengah bersamanya. Di balik tembok pembatas, sebab tak berminat pada hal yang menjadi kegemarannya, lelaki yang telah Erwin kenal lama dengan nama Sigit seketika bereaksi.

Sigit Prasetyono, figur teman seperjuangannya, tanpa aba-aba menggelakkan tawa. ‘‘Pfft, hahahah! Mas udah Mas. Kenapa dah lo? Hahahah, udah tau panas!’’

Erwin melirik sengit. Tak mengidahkan, lebih dulu memberikan pertolongan pertama dengan mengulum lidahnya kuat-kuat. Meringis mendapati rasa perih di seluruh permukaan indra perasanya tersebut.

‘‘Makanya jangan sok-sokan jadi Anak indie!’’ Ledek Sigit sambil masih tertawa.

‘‘Mata lo, shh.. Kapan gua jadi Anak indie?’’ Balas Erwin seraya mendesis lirih. Tangannya yang menggenggam kopi terangkat tinggi, berlagak mengancam Sigit yang tetap terbahak di sampingnya. Merasa jengkel karena tawa Sigit terdengar menyebalkan.

Sigit yang menyadari hal itu mendadak meredakan tawanya, ikut mengangkat tangan yang tengah menghimpit rokok di sela jemarinya. Sebagai pertanda damai. ‘‘Iya-iya, ck, ampun Mas.’’

Erwin melengos malas, memilih kembali memusatkan atensi pada objek pemikatnya.

Namun yang ia dapati justru hal lain.

Erwin menyeringai. ‘‘Cantik juga.’’

Berjarak tak lebih hingga beratus-ratus meter, atap dari apartemen yang sedang Erwin pijak bersisian dengan bangunan serupa lain, hanya saja apartemen sewaannya berlantai lebih rendah.

Dan kali ini Erwin harus bersyukur karena apartemen yang menjadi pilihan sejak awal ia menetap usai menentukan kota persinggahan barunya, ternyata tak buruk juga, malah begitu menguntungkannya.

Di mulai dengan lingkungan sekitar yang sangat sesuai dengan kategori incarannya, yang utamanya mencangkup kondisi dan interaksi penghuni setempat, hingga besar terciptanya peluang yang dapat ia manfaatkan untuk menjalankan profesinya.

Kini, rupanya ada yang lebih menarik lagi.

Erwin menyesap kopinya yang telah menghangat, tertiup oleh angin yang melintas dengan perlahan. Darahnya berdesir, menikmati larutan kafein dengan tatapan mata yang melela rakus, menjelajah pada objek pemikat barunya.

‘‘Kamar 202 ya?’’ Erwin berbisik pelan.

Ya. Alasan tindakan bodohnya.

‘‘Kagak salah. Emang wajib ada kunjungan ke sana.’’

𝑃𝑂𝑃 : 𝑃𝐼𝐸𝐶𝐸 𝑂𝐹 𝑃𝐼𝑺𝑺.

𝑃𝑂𝑃 : 𝑃𝐼𝐸𝐶𝐸 𝑂𝐹 𝑃𝐼𝑺𝑺

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Piece of Piss.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang