‘‘Masuk sana ya harus ada jalur ordal, Mas. Susah.’’
Erwin menghela nafas lelah. Setelah sekian lama ia menaruh atensi, justru kini malah menghadapi kesulitan. Walau sama menetap pada sebuah apartemen, rupanya bangunan seberang memiliki keamanan dan jangkauan yang tak sembarangan di akses jika tak berstatus penyewa.
Berbeda pula ketika mendapati presensi sosok asing. Saat berkunjung, tamu harus membuktikan bahwa ia memiliki relasi dengan salah seorang penyewa, entah melalui apa saja yang dapat menunjukkan bila saling mengenal. Setelahnya, laporan atas tujuan bertamu wajib di lampirkan pada petugas dalam kurung waktu 24 jam.
Penjagaannya cukup rumit, namun tampaknya kebijakan tersebut di terima baik oleh para penyewa. Tentu saja, mereka akan senantiasa merasa terjamin.
‘‘Lah lo kemarin katanya kenal cewek yang tinggal disana.’’ Usai hening melanda, Erwin menemukan celah pada ingatannya. Ia menatap Sigit penuh harap.
Dan, raut wajah Sigit sontak berubah total kala mendengarnya. Ia terlihat tak senang, mulutnya bungkam beberapa saat, sebelum kemudian mengukir senyuman culas.
Yang sial, reaksi itu cukup membuat Erwin paham.
‘‘Di tolak si lacur gua. Jadi PSK udah tau mana yang berduit mana yang kagak. Padahal awalnya gua kagak niat mau make dia. Tapi dia udah ngebet nagih biaya ke gua. Ya gua minggat lah.’’ Keluh Sigit kesal. Apa yang terjadi ketika itu, tereka ulang. Lantas ia menyeringai. ‘‘Hahah, sok iya bener tuh cewek. Belum aja gua jejelin pake kayu.’’
Erwin merasakan pening saat ungkapan kotor Sigit terlontar. Gambaran akan perkataan lelaki yang lebih muda mendadak terlintas dalam benak. Membuatnya merinding.
‘‘Itu cewek kamarnya nomer berapa?’’
Sigit mengusap tengkuknya seraya mengingat. ‘‘188 kalau kagak salah.’’
Erwin terdiam. Terdapat kemungkinan kamar wanita panggilan itu berada di lantai yang sama dengan si cantik. Sial untuk kedua kalinya, ia tak dapat berkutik untuk kemauannya kali ini, sungguh tak ada kesempatan. Benar-benar sia-sia. Sama sekali tak beruntung.
Terpaksa hanya mampu di pendamnya. Jadi, kapan kah ia akan bertemu si cantik?
‘‘Napa dah Mas? Bukannya kata lo jangan di lokasi yang deket-deket. Rawan kepergok ntar. Napa lo jadi mau ke sana?’’
Sigit menatap Erwin penuh tanda tanya. Faktanya, ketika ia dan Erwin pertama kali memutuskan untuk tinggal di apartemen mereka sekarang, ia pernah mengusulkan untuk mengawali beraksi pada tempat yang tengah menjadi perbincangan keduanya saat ini. Tetapi jelas Erwin menolak, alasannya, seperti ucapan Sigit barusan.
Namun kini, berminggu-minggu telah berlalu, tiba-tiba Erwin menyuarakan keinginannya. Sigit sempat kebingungan, walau ia tak keberatan, mungkinkah Erwin menemukan potensi yang bagus di sana.
‘‘Ya udah, Mas. Gua coba lagi buat dapetin cewek sana. Biar kita bisa mampir nanti.’’ Final Sigit. Merasa tak enak melihat kekecewaan dalam diri Erwin.
Yang lebih tua menaikkan sebelah alisnya. Menduga akan jawaban Sigit. Cukup membuatnya terhibur. ‘‘Hm? Yakin lo?’’
Senyum konyol Sigit terulas. ‘‘Yakin lah. Cewek gampang di goblokin Mas.’’
𝑃𝑂𝑃.
‘‘Gua bakalan ganti nomer lagi kayaknya nih.’’
Erwin menyesap rokoknya dalam-dalam sebelum menghembuskan asapnya, ia menoleh menatap Sigit yang tengah berkutat dengan ponselnya. ‘‘Kenapa? Kagak ada seminggu lo pake itu nomer, Git.’’