Suara lenguhan kembali mengalun merdu kala ia meraup dengan ganas, bersamaan lidahnya yang sontak meliuk-liuk menggoda. Ia begitu gemas, akan sepasang kembar milik gadisnya yang sejak awal tampak mengintip malu-malu di balik gaun yang di kenakan sang empu.
Perjumpaan pertama ia memang telah memperhatikan, lantas tak menyangka sangat memenuhi ekspetasinya. Besar dan kencang. Salah satu ciri kriteria idealnya.
‘‘Ah, ah, emhh. Ah, Sigithh.’’
Seperti biasa, kemampuannya untuk membuat tiap gadis merasa kewalahan.
‘‘Git, sayang, hhh. Kamu mau jadi gigolo nggak?’’
Permainannya pada payudara sang gadis pun terhenti.
Mengetahui reaksi Sigit, sosok yang tengah di manjakan oleh lelaki itu, gadis dengan surai pirangnya mengulas senyum. Pertanda Sigit ingin mendengarkannya sejenak.
‘‘Aku punya kenalan yang punya usaha prostitusi, dia lagi cari dan butuh bintang laki-laki. Kamu mau nggak, sayang? Nanti ada kontraknya kok.’’
Sigit terdiam, sebelum kemudian melakukan remasan sensual pada benda yang ia cakup di kedua telapak tangannya. Ia tersenyum. ‘‘Asal wajahku di sensor, aman dari jangkauan polisi. Aku mau-mau aja.’’
Raut puas tercetak jelas pada raut si gadis. ‘‘Ah, pinternya gantengku. Bukan rumah produksi blue film, sayang, jadi nggak bakal di rekam. Tergantung sih. Udah terjamin aman kok, santai aja, udah bertahun-tahun bisnisnya jalan. Tenang ya, kamu nggak akan sama sekali di rugikan.’’
Lelaki Prasetyono mengangguk. ‘‘Iya.’’
Setelahnya, kedua ranum itu kembali menyatu. Sigit menyeringai dalam cumbuannya, betapa banyak keberuntungan yang ia peroleh malam ini. Uang dan kenikmatan yang menjanjikan. Begitu luar biasa. Mungkin saja.
‘‘Sayang.’’ Bisik Sigit di sela ciuman.
‘‘Hh, iya?’’
‘‘Aku mau seks.’’
Tanpa di duga, sebuah isakan di lontarkan gadisnya. Sigit termenung melihatnya. Respon yang tak pernah sekalipun Sigit dapati kala ia mengajukan ajakan bercinta.
Tak apa jika merasa sedang tak ingin. Sigit akan maklum.
Namun, siapa sangka.
Sang gadis mengangguk. ‘‘Hamilin aku.’’
𝑃𝑂𝑃.
‘‘Orang kaya goblok. Bosen kaya lo? Warisin sini ke gua!’’
Erwin berseru riang. Entah beberapa ruang kamar telah ia hampiri, selalu terdapat harta pada tiap biliknya. Tak tanggung-tanggung, segala jenis hasil tambang hingga tumpukan uang masing-masing tersedia di dalam. Cukup membuat Erwin tercengang, pasalnya tak sama sekali terjaga dengan aman. Tiap lemari hingga laci serta nakas sangat mudah untuk di akses.
Bodoh. Satu kata untuk menyebut si pemilik. Meninggalkan begitu banyak barang berharga tanpa pengawasan. Bahkan setelah di telusuri, tak ada satupun kamera pengintai yang terpasang. Apakah memang tengah menyediakan untuk di pungut secara cuma-cuma? Bagus.
Erwin menyeringai lebar, tak salah ia merasa tertarik dengan bangunan megah ini. Kehandalan instingnya tak perlu di ragukan, kelengahan seseorang merupakan kesempatan, yang menuntut untuk di renggut.
‘‘Udah seenak apa hidupnya? Begini di tinggalin. Hahah, tolol!’’
Terlalu banyak ruangan yang ia dapati, membuat Erwin tak mengerti dimana ia berada saat ini. Lelaki itu dengan santai merebahkan dirinya di atas sofa. Memandangi langit-langit yang menjulang tinggi tersanggah oleh pilar kokoh. Masih dengan rentetan kalimat sarkasnya pada sang tuan rumah.