01: Fair dinkum.

159 16 3
                                    

‘‘Iya, sayang. Lagi otw ke sana nih. Iya, ini sama Erwin.’’

Di antara riuhnya pusat kota, dimana kini keduanya tengah menelusuri sepanjang jalan yang ramai kala malam menjelang, percakapan Sigit menjadi salah satu fokus bagi Erwin. Sementara sisanya, sesekali ia sempatkan untuk mengedarkan pandang pada sekeliling.

‘‘Aku juga. Aku beneran kangen kamu. Kangen-kangen-kangen kamu banget sayang.’’

Namun, nampaknya Erwin tak perlu lagi untuk menyimak pembicaraan tersebut. Sebab lama-kelamaan respon gejolak dalam diri tiap kali mendengar kalimat picisan yang di utarakan oleh Sigit benar-benar menyiksa Erwin.

‘‘Alay bener anjing.’’ Celetuk Erwin merasa jengah.

Ya, menyiksa karena begitu menggelikan.

Menoleh, Sigit menyeringai. ‘‘Kasian jomblo.’’ Ejeknya.

Erwin menatap nyalang, namun ia memilih acuh. Mencoba menahan diri.

Sigit memang sosok yang beruntung sekali dalam hal memiliki pasangan. Selalu ada cara tersendiri bagi lelaki itu untuk memikat atensi para gadis. Meskipun tak lebih di anggap sebuah permainan bagi Sigit, tetapi tanpa di ketahuinya, Erwin kerap merasa iri.

Lantas selama melewati ruas jalan yang tersisa, setelah di rasa muak mendengar percakapan menjijikkan antara Sigit dan kekasihnya. Erwin, tak kuasa lagi.

‘‘Masih jomblo si Erwin, yang. Iya, mau kamu cariin pacar?’’

Sontak, cukup membuat Erwin merasa tersinggung. Ia mendecih, lantas dengan aksi kilatnya, secara tak terduga oleh Sigit, ponselnya berganti alih begitu saja, yang saat ini telah tergenggam apik dalam tangan Erwin.

Manik Sigit membola. ‘‘Woi Mas, bajingan!’’ Umpatnya.

Sebelum Sigit kembali menyuarakan protes dan hendak merebut, perkataan Erwin lebih dulu membungkamnya. Membuatnya sangat terkejut.

Erwin mengulas senyum jenaka. ‘‘Bella, halo cantik. Mau tau sesuatu kagak?’’

Selanjutnya, Sigit sungguh tak habis pikir dengan kelakuan Erwin. Ia tercengang menangkap tiap kalimat yang terlontar dari lelaki jangkung mantan senior semasa sekolahnya tersebut. Sial, seharusnya Sigit lah yang menyampaikan hal itu.

Sigit pun terdiam menunggu, dalam pikirannya kini berkecamuk akan perasaan Bella.

Gadis imigran yang di kenalnya hampir sebulan lalu. Bella, gadis dengan ras kaukasoid yang merupakan ciri fisik paling menonjol, serta rambut cokelat dan manik mata hijaunya. Kecantikan yang tak pernah di dapati oleh Sigit sebelumnya.

Ketika ponselnya kembali, yang tertera dalam layar adalah sambungan teleponnya dengan Bella telah berakhir. Sigit menghela nafas mengetahui pula, tak ada lagi foto profil dari sang gadis. Foto hasil jepretannya, senyuman manis pada kencan pertama.

Jika boleh jujur, sebetulnya Sigit ingin memiliki keturunan dengan Bella.

‘‘Mau putus kagak usah basa-basi pake ngajak ketemuan. Tudep, biar kagak sakit amat.’’

Kini seringaian yang terpatri pada wajah Erwin. ‘‘Semua yang dia punya udah lo ambil. Cari target baru.’’ Sambungnya.

Sigit mendengus kesal. Tetapi apa boleh buat, memang itu lah rutinitasnya.

𝑃𝑂𝑃.

‘‘Anjing, mahal disini. Duit kita kagak cukup bahkan buat semalem.’’

B-Y-O diskotek, adalah tujuan keduanya malam ini. Sebuah tempat yang menjadi salah satu pusat berlangsungnya dunia malam di kota. Terkenal akan kemewahan yang di tawarkan dengan harga sepadan, reputasinya pun telah terjunjung tinggi.

Piece of Piss.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang