Takdir Allah

29 20 14
                                    


"Sesuatu yang Allah ambil dari kita, pasti digantikan dengan yang lebih baik."

Azma Mayza Ferghana

Azma tengah sibuk mencoret-coret sesuatu di kanvas. Matanya silih berganti menatap kanvas dan objek lukisnya yang jauh di depan sana. Pergerakannya terhenti kala rambutnya yang semula di cepol asal terurai bebas.

Azma membalik diri, menatap tajam pada pelaku yang menarik ikat rambutnya. Sosok Renja yang menyembunyikan wajahnya dari balik Paper bag berwarna Vintage. Azma memukul lengan Renja dengan kuas di tangannya. Sapa suruh mengganggu saat sedang fokus.

"Aduh, Ay. Jangan gitu, nanti baju gue kotor lo capek cuci." Renja menahan tangan Azma.

"Salah lo," ketus Azma.

Renja mencubit pipi Azma yang terlihat kesal. Lucu. "Iya, ya. Gue salah, gue minta maaf. Ini hadiah buat lo."

Renja menyerahkan Paper bag tadi kepada Azma. Azma yang terlihat kesal secara ogah-ogahan mengambil hadiah dari tangan Renja. Ia mendapati sebuah gaun indah berwarna navy. Gaun yang selalu Azma idam-idamkan, yang Azma harap akan orang tuanya belikan.

Kenapa juga ia harus mengingat orang tuanya. Kalau mereka peduli, Azma pasti sudah berada di Rumah sekarang, bukan di Apartemen pribadi Renja selama berhari-hari. Melihat perubahan raut wajah Azma, Renja paham gadis itu rindu keluarganya.

"Mau pulang?"

Azma menggeleng cepat. Dalam sekejap memeluk Renja. Dengan senang hati Renja membalas pelukan Azma.

"Itu gaunnya lo pakai buat besok acara kelulusan."

"Iya, gue tau."

"Bagus. Sekalian gue kenalin sama mama dan papa besok."

Azma langsung menarik diri dari pelukan Renja. Matanya terbelalak sempurna. Masalahnya ia belum pernah bertemu orang tua Renja. Entah apa respons keluarganya nanti semisal tahu tentang keadaan keluarga Azma.

"Memang harus?" tanggap Azma sedikit kurang setuju.

Renja meraih kedua tangan Azma. "Harus. Karena kita mau nikah."

***

Tidak terasa sudah dua tahun berlalu setelah kejadian mengerikan itu. Angin-angin masa lalu masih terus berhembus di dalam raga gadis yang telah di tinggal kekasihnya. Pada saat yang sama, kembarannya mengalami koma sampai detik ini. Kedua orang tuanya marah besar, menolak keras kehadiran Azma. Akhirnya Azma di angkat menjadi anak dari keluarga kekasihnya yang telah pergi.

Sungguh kisah memilukan yang masih membekas, luka kasat mata yang masih terbuka lebar. Pada hari itu juga, Azma menyadari dirinya tidak bisa menangis lagi mau sesedih apa pun itu. Rasanya amat menyiksa.

"Assalamualaikum, Renja." Akhirnya kata itu terucap juga dari bibir mungil Azma.

Tepat dua tahun peringatan kematian Renja, Azma baru memberanikan diri pergi ke makam Renja. Lebih tepatnya, Zarenja Deva Ferghana. Azma tak pernah menduga nama keluarga besar Renja akan tersemat di namanya. Azma Mayza Ferghana, yang artinya Azma juga bagian dari keluarga.

Keluarga Ferghana menerima dengan baik kehadiran Azma, ralat Mayza. Orang-orang di rumah lebih sering memanggilnya dengan sebutan itu. Kali ini Azma tampil berbeda dari sebelumnya. Gadis yang dulunya mengenakan celana jeans kini berubah mengenakan gamis lengkap dengan hijab Pasmina menutup dada.

"Lihat, Nja. Penampilanku udah sesuai harapan kamu kan?"

Beberapa taburan bunga warna-warni menghiasi kuburan Renja, benar-benar terawat. Tangan halusnya mengelus pelan nisan Renja, hatinya berdesir ngilu. Matanya terpejam beberapa saat merasakan angin halus menerpa wajahnya. Rasanya seperti Renja datang menghampirinya lewat hembusan angin.

"Aku kangen." Akhirnya kata itu terucap bersamaan bulir bening menetes perlahan dari pelupuk mata.

"Aku kangen, kamu. Kamu yang selalu ada, kamu yang serba bisa, kamu yang menjadi sandaran, kamu yang selalu melontarkan canda. Intinya aku kangen. Semunya tentang kamu, aku selalu kangen, Nja."

Perih sekali hatinya, luka itu terus menganga. Jari-jemarinya bergerak liar menghapus air matanya. Azma tertunduk dalam dalam rasa sakit di setiap kalimat yang baru saja dia ucapkan.

"Non, waktunya pulang. Tuan dan Nyonya sudah menunggu di rumah."

Salah satu pengawal dengan setelan jas hitam datang memayungi anak angkat dari majikannya. Matahari siang ini benar-benar menyengat.

"Aku pamit, Nja. Assalamualaikum," pamitnya dengan berat hati.

Ingin sekali Azma diam di sana sampai sore hari, tapi itu tak mungkin terjadi. Kasihan para pengawal bisa habis di omeli oleh Papa dan Mama. Kedua orang tua Renja sangat memanjakan Azma, layaknya putri sendiri.

Azma tiba di sebuah rumah megah. Mendorong pintu pelan dan disambut hangat oleh suara Mama yang super lembut.

"Sayang, dari mana aja? Mama khawatir." Azma langsung menerima pelukan.

"Bukan cuma, mama. Papa juga kangen," ujar Papa datang dari arah belakang Mama.

Usai dipeluk, Azma menerima kecupan di kening dari Papa. Sangat harmonis bukan? Cocok sekali menjadi akhir dari kisah Azma. Sayangnya tak segampang itu. Makin banyak yang menyukai, semakin banyak yang membenci pula.

Ketiganya berjalan ke arah ruang tamu. Dava duduk di sofa singgel, sedang Azma dan Zania duduk berdua.

"Gimana kuliah kamu? Apa baik-baik saja, atau kamu ingin pindah?"

"Mending pindah aja, Pa. Kasian mama lihat Mayza di sini."

Azma hanya terdiam memperhatikan kasih sayang yang tercipta untuknya.

"Ma, pa. Mayza sudah mulai terbiasa kok. Lagian juga, enggak mungkin Mayza daring terus dari awal semester sampai akhir," terang Azma.

Namun, keduanya masih tetap khawatir. Azma takut pada keramaian, dia selalu bersembunyi setiap ada segerombolan orang berkumpul. Katanya, hal itu mengingatkannya pada kejadian di masa lalu. Dava dan Zania terus dibuat khawatir karenanya.

"Bener? Enggak mau pindah ke Kairo?"

Azma menggeleng, "Harus dihadapi, bukan dihindari."

Azma menirukan kata salah seorang psikiater yang pernah dikunjungi. Dava dan Zania merasa bangga melihat Azma yang perlahan mulai terbuka setelah cukup lama menutup diri.

"Owh, ya. Papa sama Mama belum makan kan?" Kompak keduanya menggeleng, "mau, Mayza masakin apa untuk malam ini?"

Keduanya tampak berpikir, mereka lupa sesuatu tentang ajakan dari sahabat karib Dava yang mengajak makan malam di sebuah restoran bintang lima.

"Malam ini kita makan di luar, soalnya teman papa yang traktir. Lumayan lah di hotel bintang lima."

Ketiganya pun tergelak, papa seperti orang yang tak pernah makan di tempat mewah. Padahal setiap harinya selalu mengajak Mama dan Azma keluar makan di tempat yang pemandangannya bagus dan lumayan merogoh kocek.

Setidaknya di hari peringatan kematian Renja, semuanya masih bisa tersenyum. Renja, di sana pasti senang melihat keluarganya tersenyum bahagia tanpa perlu meneteskan air mata lagi.

Malam menyapa Azma yang sudah rapi dengan pakaian halalnya. Pantulan dirinya di cermin mengingatkannya pada Ashifa. Kenapa wajahnya begitu mirip saat terbungkus hijab. Matanya yang sipit, wajahnya yang bulat, bibir tipis dan pipi yang lumayan berisi.

Azma menuruni tangga. Kedua orang tuanya sudah menunggu.

"Masya Allah, anak mama cantiknya. Iri deh mama."

"Mama juga selalu cantik di mata papa," goda Dava berniat mencandai istrinya.

"Udah, pa. Malu sama umur." Meski berkata demikian, Zania tetap terlihat malu-malu kucing.

Azma seperti biasanya tersenyum, entah sejak kapan ia menjadi kalem. Padahal dulu omongannya selalu tidak bisa dijaga. Mulutnya tidak bisa di rem terkecuali Renja membekapnya dengan makanan.

Renja lagi, Renja lagi. Rupanya cinta Azma kepada Renja masih utuh. Dan Azma selalu berharap cinta itu tak akan pupus atau pudar tertelan waktu. Biarlah itu bersemayam di hati sampai bertemu kembali.

Don't Give up!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang