Bayangan

28 20 6
                                    

Cinta plus sakit, itu sepaket.

-Azma Mayza-


Di luar Restoran, Azma mengamati dua keluarga yang sedang makan malam. Tadinya ia juga ikut, tapi memilih keluar dengan alasan mencari udara segar. Azma menghirup dalam-dalam oksigen yang ada, mengisi dadanya yang terasa dihimpit sesuatu. Restoran ini merupakan Restoran keluarga Azma dulu. Azma bahkan masih mengingat jelas dirinya yang ditinggal sendiri di sini.

Di balik kenangan pahit itu, tersimpan kenangan manis yang selalu berhasil memperbaiki mood-nya. Kenangan ia bersama si anak baju spidermen.

"Dia apa kabar, ya? Kira-kira dia ingat gue atau enggak?" Tatapannya lurus menatap langit malam.

Seekor burung secara misterius hinggap di bahunya. Azma mengambilnya pelan, menaruhnya di atas telapak tangan. Rupanya anak burung yang kakinya terluka. Pasti dia jatuh dari dahannya. Azma melirik sekitar, sebuah pohon mangga terletak tidak jauh darinya.

Azma mendekati pohon mangga itu. Di sana rupanya ada seseorang. Bukan hantu, dia hanya laki-laki mengenakan koko putih dan sarung berwarna hijau. Persis seperti anak pondokan. Anehnya, untuk apa anak pondokan membawa tangga.

"Ternyata di sana," katanya lega menatap ke arah Azma yang baru datang.

Azma merasa bingung karena dihampiri orang asing. Netra hazel itu terus tertuju padanya. Ternyata bukan padanya, melainkan sesuatu yang ada di tangannya.

"Maaf, boleh saya ambil?" tanyanya penuh sopan santun.

"Enggak boleh."

Sebelah alisnya naik. Dia masih diam menunggu kelanjutan ucapan Azma.

"Burung ini harus dikembalikan setelah di obat. Lihat, kakinya luka."

Azma memajukan tangannya agar laki-laki tadi tidak salah mengartikan perkataannya. Azma tidak ada maksud menolak. Orang di depannya terlihat paham akan maksudnya. Dan barulah Azma mulai mengobati burung tadi, untung kotak P3K selalu ia bawa di dalam mobil.

Azma kembali usai membalut luka di kaki anak burung. Tangannya secara perlahan memindahkan burung tersebut ke tangan laki-laki di hadapannya yang fokus terus pada si burung. Mengapa Azma cemburu?

"Terima kasih," ujarnya sebagai salam perpisahan. Tubuhnya berbalik dan perlahan menjauh.

Azma pun melakukan hal yang sama. Ia berjalan masuk ke dalam Restoran. Perasaannya yang sendu menghilang dalam sekejap. Azma seolah lupa apa penyebab kesedihannya.

Takut dicari karena terlalu lama izin keluar, Azma menyegerakan langkah ke arah meja yang sebelumnya ia tempati. Anehnya, ada yang sedikit berbeda. Seseorang bergabung dalam meja makan itu, tapi bukan itu yang aneh. Azma merasa kenal dengan orang yang duduk di depan Papa.

"Ini dia yang kita tunggu, akhirnya kembali."

Azma melirik bingung pada orang-orang yang seakan menunggu kehadirannya. Mengambil posisi di tempat semula, di samping , Azma menatap Mama bertanya-tanya. Apakah ia terlalu lama keluar?

"Za, kenalan dulu sama anak tante Bila," celetuk Mama.

Aku menoleh pada laki-laki di samping tante Bila. Matanya menyorot laki-laki itu lekat. Koko putih dan sarung berwarna hijau, tebakan Azma benar. Dia laki-laki yang tadi, yang ia temui di bawah pohon mangga.

"At, kenalan dong. Kenapa malah diam terus. Nanti bunda batalkan, mau?"

Hatrazka Xaquil Rais atau kerap disapa Atrazka menatap ibunya dengan pandangan sulit diartikan. Atrazka memberanikan diri menatap gadis yang sedari tadi menatapnya, keduanya terpaku sesaat ketika netranya bertubrukan.

"Ehem!" dehem Papa Dava cukup keras membuyarkan tatapan di antara keduanya.

Kedua orang tua mereka hampir tertawa melihat ekspresi salah tingkah anak-anaknya. Sedang Azma menunduk cukup lama sambil memainkan sedotan di minumannya.

"Ayok, At. Cepat utarakan niat baik kamu."

Atrazka menarik nafasnya perlahan lalu mengembuskannya pelan. Degup jantungnya masih dalam tempo cepat sedari tadi. Tidak! Atarzka tidak boleh lemah, sekarang tinggal urusannya untuk mengutarakan niat di balik pertemuan dua keluarga ini. Ia tidak boleh menyia-nyiakan effort kedua orang tuanya.

Azma masih diam menyimak, kedua tangannya menaut di atas meja. Perasaannya terasa aneh dan mengapa canggung begini. 

"Bismillahirrahmanirrahim, saya Hatrazka Xaquil Rais dengan mematangkan niat lillahi ta ala ingin meminang saudari Azma Mayza Ferghana menjadi istri saya. Izinkan saya memberikan semua kebahagiaan menjadi milikmu. Biarlah hanya kamu yang menjadi milik saya. Saya ingin selalu bersamamu selamanya ... Fala hudha al-qalb lin yandhar elly ger habibateh." Sungguh hati ini tidak akan melirik selain kekasihnya.

Atrazka mengatakannya dalam satu tarikan nafas dengan lantang, meski sempat ada jeda sedikit saat Atrazka berbicara menggunakan bahasa Arab.

Azma mati kutub di tempat. Ini dia tidak salah dengar kan? Baru saja ada orang yang melamarnya tepat di hari peringatan kekasihnya. Azma bukannya marah atau bagaimana, dia hanya merasa hal ini terlalu cepat terjadi.

Bahu tegap Atrazka meluruh karena Azma yang terus diam tanpa menatapnya. Perasaannya berkecamuk di dalam sana. Mau bagaimana pun Atarzka tidak bisa memaksakan keinginannya. Bukankah dia sendiri yang memilih khitbah dilakukan pada pertemuan ke-4 mereka?

"Maaf sebelumnya. Tapi, apa boleh Mayza memikirkannya terlebih dahulu sebelum menjawab?"

Atrazka sedikit lega, setidaknya bukan penolakan yang ia dapat. Dari pagi sampai menjelang malam terasa berat baginya yang terus memikirkan jawaban dari Mayza. Takutnya gadis itu menolaknya lebih dulu. 

Sekitar pukul 09.30 malam pertemuan dua keluarga itu berakhir. Keluarga Mayza sudah tiba di rumah 25 menit setelahnya. Azma kini berada di dalam kamar bersama Zania. Ada hal yang perlu di katakan. Azma tebak, pasti tentang jawabannya.

Zania meraih sebelah tangan Azma untuk di genggam. "Mama ke sini bukan untuk menanyakan jawabannya karena itu murni dari diri kamu sendiri. Mama hanya ingin berpesan."

Sebelah tangannya lagi digunakan untuk membelai wajah anak angkat yang sudah ia anggap sebagai anak sendiri. Renja begitu beruntung mendapat gadis sebaik Mayza. Pikirannya kalut mengingat masa kelam yang Mayza alami setelah kepergian Renja.

"Sayang." Nadanya mengalun halus, "Sudah saatnya kamu melupakan anak mama. Kalian sama-sama anak mama, yang paling mama sayang. Renja pun sama sayangnya ke kamu, dia pasti bahagia melihat kamu bahagia. Mama minta, cukup pikirkan kebahagiaan kamu. Tidak ada orang yang terbiasa dengan luka, pada akhirnya mereka merasakan sakit."

"Mama tahu, cinta kamu pada Renja masih utuh. Namun, jangan terus hidup dalam bayangan. Renja selamanya tidak akan pernah kembali, tolong lupakan dia. Ini semua demi kebaikan kamu."

Zania menangis untuk ke sekian kalinya mengingat putra semata wayangnya yang telah dipanggil lebih dulu. Kepergian Renja bukan hal mudah, semuanya terluka, baik fisik mau pun batin.

"Sudah cukup, Za. Mama tidak ingin kamu terus begini," tuturnya di akhir.

"Ma, perihal melupakan dia yang bersemayam dihati bukan perkara mudah. Tolong jangan paksa Mayza untuk lupa."

"Kenapa kamu sangat menyukainya?"

"Karena dia pernah mencintaiku sehebat ini."

Pernyataan Mayza terasa menyayat hati. Zania menarik anak malangnya ke dalam dekapan tak lupa Zania mencium pucuk kepala Mayza cukup lama. Dia tidak bisa terus melihat Mayza terbelenggu dalam lingkup bayangan kisah di masa lampau.









***

Don't Give up!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang