Rindu yang menyiksa

379 46 7
                                        

•• ༻❁༺ ••

Kepulan asap rokok mengudara di sekitar laki-laki Abimana Abrisam. Wajahnya tampak kusut akibat padatnya pekerjaan yang harus diselesaikan. Belum lagi teringat akan sang istri di Ibu Kota. Seolah gulungan tembakau adalah penawar rasa penat, Abimana terus mengisap tenang batang nikotin tersebut.

"Rokok? Baru kali ini gue lihat." Alvian berkata, dia menghampiri Abimana; mendapatinya tengah menghirup sebatang rokok.

"Hanya sesekali, buat ngusir sakit kepala." Abimana tersenyum simpul setelah mematikan puntung rokoknya ke asbak.

"Lo lagi ada masalah? Sekedar saran ya, Bim. Untuk sekarang enggak usah dipikirin banget. Muka Lo kusut, kurang tidur nih pasti?"

"Jelas banget ya, Vin?"

"Kacau, Bim. Muka Lo lesu." Alvian Lim menjawab seadanya seperti yang dia lihat.

Sedang, di posisinya Abimana spontan terkekeh saat mendengar pernyataan jujur oleh Alvian, "Mau bagaimana lagi?! Masalah-masalah ini bikin kepalaku mumet."

"Lo bisa pulang kalau mau, Bim. Udah dua minggu kita di sini. Lo kangen sama istri Lo 'kan?"

"Memangnya kamu sendiri enggak?" Abimana balik bertanya. Tak lama dia hela napas sedalam-sedalamnya seraya bersandar pada kursi. "Kita menghadapi situasi yang sama, Vin."

"Gue tetap hubungi Oliv setiap hari. Dan Lo?! Lo malah sengaja menonaktifkan HP. Telepon dia, menahan rindu cuma perbuatan yang sia-sia, Bim." saran Alvian Lim sebelum dia mengambil sebatang rokok yang terletak di atas meja dan membakar ujungnya dengan pematik. "Maaf, ya. Kalo gue memang perokok. Gue pikir Lo anti, makanya gue tutupi." 

"Aku enggak mempermasalahkan hal itu." Abimana mendesah pelan, masih terus gelisah. Sejak minggu belakangan dia sudah begini, kehamilan Ajeng juga proyek luar kota, semua membuat dirinya luar biasa cape dan resah. "Aku enggak mau Ajeng berpikir aku terlalu lunak. Sikapku selama ini hanya mengundang perdebatan dalam keluarga kami. Enggak mungkin aku mempertahankan kebiasaan itu lagi, Vin. Aku beneran malu, efeknya belum hilang sampe sekarang. Aku merasa gagal jadi suami karena enggak bisa menjaga marwah istri. Petaka seperti itu cukup menjadi yang pertama dan terakhir." Abimana mengusap kasar wajahnya. "Aku bahkan sempat berniat menghajar mereka di sana, Vin. Kondisi Ajeng mencegah aku."

"Lo diliputi emosi. Siapapun kemungkinan bisa bertindak sama jika berada di posisi Lo." Alvian menyesap dalam-dalam ujung rokoknya. "Yang terpenting istri Lo bersih. Pesta seks bebas sering terjadi di kalangan tertentu, Bim."

"Apa perlu melakukan perbuatan hina itu di saat kamu sudah menikah?"

"Kayak yang gue bilang, istri Lo enggak ikut-ikutan. Dia enggak tau rencana mereka. Dia cuma terjebak dalam pergaulan yang kurang tepat." Alvian menyangkal lugas sembari mengamati lamat-lamat muka berantakan Abimana; menunduk murung dengan jari-jari saling bertaut.

"Aku enggak tau bakal gimana misal Ajeng terlibat juga. Baru membayangkannya aja udah bikin mual." Abimana terlihat sangat memprihatikan.

"Untungnya istri Lo waras. Kalau enggak, entah apa yang bakal Lo lakukan untuk membalas mereka."

"Aku berhak 'kan membela nama baik rumah tanggaku sendiri?" Kalimat eekian terucap beriringan dia mengembuskan rendah pernapasannya. "Hari ini ada kabar apa, Vin?"

"Istri Lo baik-baik aja. Olivia sering berkunjung. Andai enggak gue larang, bisa tiap hari dia datang ke rumah Lo."

"Kenapa kamu enggak izinkan?"

"Gue juga takut kali, Bim. Olivia memang sangat aktif dan bersemangat. Tapi, kalau melihat dia kesakitan, gue juga enggak bakalan kuat. Rasa-rasanya kesakitan dia pengen gue ambil. Kandungan Olivia enggak sekeras semangatnya." Alvian Lim bercerita usai membenamkan puntung rokok ke permukaan asbak.

"Aku berharap sekali Ajeng jadi lebih penurut setelah pulang dari sini nanti."

-----

"Ternyata kamu sangat mahir membuat kue," puji Olivia setelah mencicipi kue tart berukuran mini hasil olahan tangan Ajeng. Mini tart berbahan wortel tersebut rasanya tak kalah enak dengan kue tart yang biasa dijual di toko kue.

"Aku mendapatkan resepnya dari ibu." seraya mengaduk adonan kue menggunakan mixer, raut Ajeng tampak berbinar-binar. Senyum simpul pula turut hadir di sudut bibirnya. Dibantu oleh ibunya dan Olivia, dia tengah mempersiapkan pesanan kue yang relatif banyak kali ini. Sudah sepuluh hari Ajeng mencoba bisnis kuliner online. Berbekal kepandaian dan hobi lamanya dalam memasak.

"Jeng, aku pikir kamu harus segera membuka toko kue sendiri. Orang-orang pada suka. Lihat! Yang kita kerjakan hari ini belum diantar, dan kita udah kedapatan pesanan lagi untuk besok." Olivia sangat bersemangat mengatakannya. Semangat yang tampak semarak, persis perkataan Alvian Lim. Mereka baru saja menerima pesanan melalui direct message di akun sosial bisnis kue kepunyaan Ajeng.

"Aku enggak berani, Liv. Perjalananku masih panjang, aku belum paham mengelola usaha," jawab Ajeng tenang. Kemudian, dia mengambil cetakan dan menaruhnya ke atas loyang.

"Ya Tuhan. Kamu pikir siapa suami kamu, Ajeng? Abimana Abrisam, pemilik PT sabina. Eksistensi dia enggak perlu diragukan lagi. Pebisnis senior aja bersedia mengakui dia. Apa lagi yang kamu takutkan?"

"Kata-katamu ada benarnya juga. Tapi, entah kenapa aku pengennya bisa membangun bisnis ini dengan tanganku sendiri, Liv. Aku enggak mau terus-terusan manja ke Mas Abim. Apa yang akan aku ajarkan pada anak-anakku nanti kalau enggak ada satu pun hal dalam hidupku yang berhasil?! Setidaknya aku coba untuk menjadi istri yang lebih baik dan produktif. Aku udah terlalu sering mengecewakan Mas Abim."  Ajeng mengusap pelan bulir air mata yang nyaris tumpah ke pipinya.

"Bukannya acara menangis udah kelar sejak minggu lalu? Nanti kuenya jadi enggak enak," kata Olivia main-main. Dia sekadar bermaksud menghibur Ajeng. "Untung saja Bu Cahyani masih di luar. Kalau enggak ..."

"Aku harus tetap siap kapan mendengar petuah ibuku berulang-ulang." Ajeng tersenyum dan tawa ringan keduanya terdengar serempak. "Ibu sayang banget sama Mas Abim, Liv. Kadang-kadang aku sampai heran. Seumur-umur selama kami menikah, ibu selalu menyanjungnya dan kalau terjadi salah paham kecil, ibu pasti menyalahkan aku. Ya, walau memang aku yang selalu menjadi sumber penyebab masalahnya."

"Kamu juga sayang banget sama suamimu 'kan?"

Ajeng hela napasnya rendah sebelum dia menghentikan sejenak aktivitasnya. "Aku siap melakukan apa aja buat Mas Abim, Liv." Setidaknya Ajeng mulai merencanakan hal-hal positif untuk memperbaiki kesalahannya.

"Udah seharusnya juga 'kan? Hidup kita untuk suami, sama halnya dengan mereka yang berjuang mati-matian demi hidup kita." Barangkali pikiran Olivia yang kelewat lurus sampai setiap ucapannya terdengar begitu apa adanya. Namun, Ajeng justru menyukai obrolan dengan teman barunya ini tanpa ada satupun obrolan sepele mengenai gaya hidup dan kesenangan dunia yang tak akan pernah ada habisnya.

"Aku kangen Mas Abim. Tapi, dia enggak pernah telepon aku. HP-nya mati terus." Ajeng mendesah berat seiring mukanya yang seakan kehilangan ronanya.

"Setiap hari dia menanyakan kamu, Ajeng. Dia hanya terpaksa fokus agar pekerjaan mereka segera rampung--dia juga pasti merindukan kamu di sana."

Ajeng tentu akan uring-uringan jika saja Cahyani dan Olivia tidak menemani dia melewati waktu-waktu kosong tanpa Abimana. Ini seumpama hukuman yang perlu dia terima setelah terbukti melakukan kesalahan fatal. Lalu, sebagai bentuk penyesalan, dia enggan mengaduh; berkeluh kesah seperti yang sudah-sudah.

Dek Ajeng & Mas AbimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang