Adakah yang bisa menghitung seberapa cepat dan berat sebuah rindu? Adakah yang bisa menakar dengan pasti keinginan untuk bertemu?
Iruka termenung, bukan salah sebuah jarak yang membentang memberinya sekat cukup jauh, mempersulit matanya untuk memandang orang yang selalu ditunggu, apa dengan jarak hatinya berhasil mengaburkan sosok itu?
Lagi, dagunya tertarik kebawah, kenapa semua hal yang berhubungan dengannya selalu pahit?
Kadang Iruka bertanya dalam sendirinya, apa Kakashi tidak bosan dengan satu rasa saja? Bukankah lidahnya juga perlu rasa manis? Mungkin asam?
Yang pasti bukan kopi hitam tanpa gula.
Bagaimana rasanya? Iruka sering bertanya, bahkan setelah ia mencoba pun rasanya tetap sama, pahit. Tapi, saat dengan bodohnya ia bertanya, Kakashi justru tertawa, dan hanya mengusak rambutnya tanpa menjawab bagaimana rasa dari kopi hitam yang diminumnya.
Sampai sejauh ini, ingatan Iruka masih terpaku pada Kakashi dan kopi hitamnya. Hanya segelintir itu yang bisa ia ingat, setelah 9 tahun menghabiskan jenjang sekolah di tempat asalnya.
Di kampung halamannya dulu, tak banyak yang ia ingat, jalanan kampung yang sering becek saat hujan, atau bunyi katak di genangan-genangan, atau suara jangkrik yang selalu membuat meriah malam-malamnya.
Dan sosok tampan dengan kopi tanpa gulanya. Karena sekolahnya juga menaungi pendidikan TK, SD, SMP sampai SMA, Iruka lumayan mengenal sosok pendiam itu. Walaupun hanya sekadar kedok, tapi Kakashi Hatake berhasil membuat kebanyakan orang percaya akan sifat dinginnya.
Padahal untuk Iruka yang murid langganan dari TK sampai SMP, Kakashi sama sekali tidak terlihat seperti itu, bahkan bisa dibilang agak menyebalkan dengan tingkah yang kadang diluar ekspektasi.
Namun, saat kacamata bertengger apik di pangkal hidung, saat punggungnya bersandar pada dinding kelas, saat mata gelapnya menikmati kata demi kata dalam buku yang tengah dibacanya, saat itu sosoknya memang benar-benar menjelma sebagai mahakarya yang indah.
Terukir dengan garis-garis seni, setiap lekuknya bagai dicipta oleh tangan-tangan berbakat yang benar-benar mencurahkan hidupnya hanya untuk menggambarkan sosoknya seorang.
Indah dan indah. Saat mata itu mengerjap, menatap awan dari balik jendela, bibir merah kecoklatan menjabarkan garis tipis tatkala melihatnya diujung lorong, kemudian tersenyum kecil seakan maklum dengan tatapan aneh yang berselebung keingintahuan.
"Penasaran dengan apa yang kubaca?" Tanyanya pada Iruka yang menggeleng tapi mengangguk saat melihat sampul bergambar seorang peri.
Kelas satu SD, Iruka betul-betul ingat dengan tangan hangat yang menjabat tangan mungilnya kala itu.
"Kau bisa membaca?" Kembali dengan ramah Kakashi bertanya, matanya tampak teduh meski tetap terlihat dingin untuk orang yang hanya sekilas memandang.
Iruka menggeleng, sedikit berharap Kakashi mau membacakannya, tetapi tidak, Kakashi justru menepuk kepalanya dengan buku sebelum kembali berdiri.
"Kalau begitu kau bisa belajar terlebih dahulu," ucapnya tanpa nada, sangat lurus sampai terdengar seperti suara mesin dengan desing yang konstan.
"Tapi, aku masih kecil," tutur Iruka matanya mengerjap, begitu terpesona pada sosok tinggi yang menatapnya acuh tak acuh.
"Memangnya, umurmu berapa tahun ini?"
"7 tahun, tapi aku belum bisa membaca," lagi-lagi Iruka berkata jujur, cengiran khas terkembang, dan Kakashi kembali berjongkok, mengusap pelan meninggalkan sebuah kenangan.
"Kalau begitu aku akan menunggu," ucapnya disusul dengan kecupan singkat di dahi mungil milik si kecil Iruka.
Masih terpaku, manik hitamnya memandang heran pada sosok tinggi yang melangkah pergi, dengan punggung tegap dan lebar itu, bukankah jelas Kakashi bisa dijadikan sebagai kakak yang sempurna. Karena Iruka adalah anak tunggal, ia kadang berpikir tentang memiliki seorang kakak, atau adik yang mampu mengobati rasa sepinya.
Namun, kenapa Kakashi harus menunggu untuk menjadikannya seorang adik? Iruka tidak keberatan dan akan langsung menyetujui permintaan Kakashi jika memang dia menginginkan Iruka menjadi adiknya.
Sayang harapan Iruka tak bisa terwujud, karena adik kelasnya di TK A lebih mendapat banyak perhatian Kakashi. Rasanya iri, saat Naruto dengan tawa hangatnya berhasil membawa Kakashi masuk ke dunianya. Saat mereka berdua bermain, dan Kakashi yang mendorong ayunan Naruto dengan senyum ke abanganya.
Pasrah, Iruka memotong benang harapannya dengan sedih, membiarkan kedekatan dua sejoli merusak angan-angan yang tinggi.
KAMU SEDANG MEMBACA
After You, Maybe [KakaIru]
FanfictionSelepas rindu, di pantai temu, diujung mata, bayangmu adalah sebagai kepingan akhir dalam cerita.