Iruka tersenyum, saat mengingat kejadian itu. Ia masih terlalu kecil untuk mengerti apa maksud dari perkataan Kakashi.
Dan bukankah Kakashi juga sangat ceroboh mengatakan hal semacam itu pada anak kecil, yang bahkan belum bisa membaca. Bagaimana kalau ia dengan polosnya memberitahu ayah atau ibunya, apa yang akan mereka lakukan nanti? Beruntung, orang tua Iruka tak menemani masa kanak-kanaknya, karena keduanya sibuk bekerja diluar kota.
Matanya kembali menerawang, kini ia seperti buah apel yang telah jatuh dari pohonnya. Terpisah dengan ranting dan daun, dari kepak sayap burung-burung.
Iruka tak bisa kembali ke atas, karena sudah jelas tak ada orang yang mau repot-repot untuk kembali memasang apel yang sudah jatuh dari pohon, kecuali jika pohon dan buah apel itu adalah mainan anak-anak.
Senyuman simpul kembali terjabar, ada bayang wajah dengan rahang tegas menyapa dalam ingatan, seseru inikah menjelajah masa lalu? Mengulang satu demi satu, dan menemukan kepingan puzzle rindu yang tak terawat di lemari ingat.
Begitu sempurna, perpaduan hitam dan putih pada pagi hari itu, surai perak dan kulit putihnya sangat kontras dengan training hitam yang dikenakannya.
Iruka tak pernah berpikir akan melihat sosok tampan dalam balutan kaus olahraga yang ternyata menonjolkan otot-otot atletisnya. Jujur saja, Iruka merasa iri, ingin segera tumbuh dewasa dan memiliki tubuh layaknya Kakashi.
Kelas dua SD, di hari Rabu yang sejuk, Kakashi menjadi guru pembimbing olahraga mereka, karena guru yang bersangkutan ada keperluan mendadak. Mereka hanya melakukan gerakan-gerakan ringan yang tentunya sangat mudah untuk ditirukan anak seusia mereka.
Iruka tak berharap banyak sekarang, karena walaupun ia bisa melakukan gerakan yang dicontohkan, toh Kakashi tetap akan mengabaikannya, dan hanya menyisakan satu nama, Naruto.
Iruka masih merasa tidak enak hati, saat Kakashi menghampiri Naruto di jam istirahat. Padahal ia juga kelelahan, kenapa Kakashi tidak mau mendekatinya? Apa Kakashi tidak suka pada anak yang tidak bisa membaca? Tapi sekarang Iruka sudah mampu membaca, ia hanya butuh buku dan Kakashi sekarang untuk membuktikan kemampuannya.
Mantap Iruka berjalan, saat ia kembali menemukan pemuda dengan lengan baju dilipat keatas itu. Setelah diperhatikan Kakashi tetap tampan meski tanpa kacamata.
Sedangkan buku yang ditangannya masih sama. Iruka bingung, apa bukunya serumit itu untuk dibaca, sampai-sampai Kakashi yang sudah besar pun belum bisa menamatkan ceritanya?
Sosok tinggi yang tengah bersandar tersadar, kepalanya bergerak, detik berikutnya, manik hitam itu menemukan sosok kecil yang sedikit bertambah tinggi.
Sosok yang sama dengan penampilan yang sama pula, dan bibir ranum yang tetap begitu juga.
"Aku... aku sudah bisa membaca!" Iruka tergagap, suaranya terucap lantang saking gugupnya.
Sedangkan Kakashi merespon dengan sedikit keterkejutan, tapi kemudian kembali tenang seakan tidak mendengar apapun. Kembali senyap, Iruka masih berdiri di tempatnya, tidak berani mendekat karena lututnya bergetar entah kenapa.
Kakashi melambai kecil, memberi isyarat agar ia mendekat, tapi Iruka benar-benar tidak bisa, lututnya lemas entah kenapa, dan dadanya berdebar kencang seperti sedang berlari dari badai.
"Kau sudah bisa membaca?" Tanyanya dengan tenang. Iruka mengangguk sebagai jawaban.
"Kalau begitu, kenapa kau tidak mencoba menunjukkan kemajuanmu padaku?"
Iruka menggeleng, tidak kuat menyangga perasaan menyesakkan di dadanya. Matanya terpejam, dan tangan mungilnya meremas seragamnya dengan erat.
Apa ia akan jatuh sakit? Tapi kenapa tiba-tiba begini? Iruka jelas tidak suka!
Sampai tepukan yang sama di tempat yang sama menariknya kembali untuk sekadar mendengarkan orang di depannya berbicara.
Namun, hatinya justru berkedut, perutnya mulas, pun dengan lututnya yang bertambah lemas.
Kakashi, mata gelapnya terus menarik Iruka, menjebaknya dalam gelora yang entah, tangan besar yang mengusap pipinya semakin membuat jantungnya berpacu.
Ada apa? Kenapa?
Iruka terus menatap dengan tanya, tapi Kakashi hanya membalas dengan senyum seperti biasa.
"Berapa umurmu tahun ini?"
Pertanyaan yang juga sama persisnya. Iruka menjawab sembari menunjukkan ke delapan jemarinya.
"Delapan, tahun ini aku delapan tahun."
Lalu Kakashi mengusak rambutnya, memberi kecupan singkat dan berkata, "kalau begitu aku masih perlu menunggu."
Punggung tegap itu menjauh, bersamaan dengan Iruka yang dilanda bingung berkepanjangan. Tidakkah Kakashi merasa bersalah karena membuat anak kecil berpikir terlalu keras untuk sebuah ucapan konyol tentang tunggu.
Namun Iruka masih tidak bisa menduga, karena anak-anak hanya berpikir tentang kue dan gula-gula.
KAMU SEDANG MEMBACA
After You, Maybe [KakaIru]
FanfictionSelepas rindu, di pantai temu, diujung mata, bayangmu adalah sebagai kepingan akhir dalam cerita.