Sovia mematut dirinya di depan cermin, seragam yang ia kenakan sedikit kebesaran, itu menambah kesannya sebagai gadis cupu. Dia sangat profesional dalam memerankan perannya. Tidak ada yang tahu, dibalik sosok nerd itu, seorang aktris terkenal sedang berperan.
Tas kusam ia gendong di pundaknya, berjalan turun menuju lantai satu. Di meja makan, hanya ada Erza saja. Sovia berjalan dengan wajah lesu, tidak ada drama pagi ini, itu sangat membosankan baginya. Sebagai main character, drama besar harus selalu melibatkannya.
"Kenapa lo?" tanya Erza ketika melihat Sovia menatap sarapannya tanpa minat.
"Gapapa, kok, Kak Erza," ucap Sovia dengan suara yang sengaja dibuat imut. Erza bergidik mengengarnya, segera menyelesaikan sarapannya dan berlalu pergi dari meja makan. Sovia terkekeh kecil, menghabiskan roti lapis dan susu cokelat kesukaannya.
Sovia berjalan keluar dari komplek perumahan menuju ke halte terdekat, begitu ia mendudukkan bokongnya di atas kursi panjang, bus datang dan berhenti. Seseorang keluar dari bus. Dia berdiri tepat di depan pintu masuk keluar bus, membuat orang-orang yang hendak masuk terhalang oleh tubuhnya yang tinggi.
"Mas, tolong minggir, saya mau naik," ujar Sovia membuat laki-laki itu tersadar dari lamunannya. Ia mengangguk, berlalu pergi dari sana. Sovia memandangnya dengan tatapan aneh, namun dia segera melupakan hal itu. Tidak penting.
Sovia duduk di kursi kosong, memasang headset di telinganya, mendengarkan musik untuk mengusir rasa bosannya selama di perjalanan. Perjalanan dari halte ke Casanova School hanya perlu memakan waktu lima belas menit, bus berhenti. Sovia segera turun, saat membalikkan badannya, ia sedikit terkejut melihat seorang laki-laki yang ternyata juga menaiki bus yang sama dengannya.
Laki-laki itu acuh tak acuh, berjalan masuk menuju gerbang sekolah. Sovia menatap punggungnya dari jauh, laki-laki yang misterius—itulah yang Sovia pikirkan.
Begitu kakinya melangkah, semua sorot mata menatap Sovia dengan tatapan tak suka, tak jarang dari mereka yang langsung mencemooh penampilannya. Dengan ragu, Sovia melangkah dengan kepala yang menunduk, menatap lantai yang ia pijak.
Setiap lima langkahnya, orang-orang menatap dengan tatapan merendahkan dan mencaci. Ini menyenangkan, hanya sebagai hiburan bagi Sovia. Tapi lama-kelamaan, sekolah ini tak ada bedanya dengan penjara, bahkan lebih buruk dari pada itu.
Setiap orang yang berpapasan dengannya, memberikan tatapan kebencian, tak ada seorangpun dari mereka yang mau membantu, hanya sekedar menyapa atau memberikan informasi tentang ruang kepala sekolah.
"Ini beneran Casanova School?" gumam Sovia masih sambil meneruskan jalannya. Sampai di ruang kepala sekolah, Sovia langsung mengetuk pintu, suara seseorang dari dalam mempersilahkannya untuk masuk.
Dengan segan, Sovia mendorong pintu kaca, menemui seorang laki-laki berusia empat puluhan tengah duduk bersantai di mejanya. Sovia menatapnya datar, namun dalam beberapa detik ekspresi itu hilang. Dia kembali menunduk, layaknya gadis pemalu.
"S-selama pagi, Pak. Perkenalkan, nama saya Sovia. Boleh saya tau dimana ruang kelas saya, Pak?" tanya Sovia dengan suara lirih.
Ekspresi kepala sekolah nampak tidak senang dan puas, dia melambaikan tangannya, mengisyaratkan untuk mendekat. Sovia mengikuti arahannya, dia maju beberapa langkah, melewati meja kaca dengan warna hitam.
"Kemari, menunduk," perintah Kepala Sekolah. Sovia mengangkat sebelah alisnya, namun tetap mengikuti perintah Kepala Sekolah. Sovia kaget bukan kepalang, pipinya baru saja ditampar tanpa alasan.
Suara tamparan yang begitu keras, jika saja Sovia tidak kuat menahan posisinya sekarang, dia akan langsung terjerembab dan kepalanya menabrak meja kaca yang ujungnya tumpul.
"Huh, murid beasiswa kok kayak gembel. Sana pergi!"
Sovia terdiam di tempatnya, baru saja ia ditampar, di pipinya. Bagian yang bahkan tak ada seorangpun yang berani menyentuhnya. Lalu orang tua ini, baru saja menampar pipinya tanpa sebab. Sebenarnya, sekolah apa ini? Apakah ini tujuan Kakek mendirikan Casanova? Semua orang di dalamnya adalah jelmaan iblis, tak berhati dan bersikap sombong.
"Cepat pergi!"
Sebuah pulpen melayang tepat di samping kepala Sovia, gadis itu menatap lamat-lamat wajah kepala sekolah, sebelum ia pergi meninggalkan ruangannya. Sovia terdiam sesaat di koridor, yang baru saja terjadi padanya, sesuatu yang tak pernah ia ketahui selama ini.
"Hey, kamu marud baru itu, kan?"
Seorang guru muda mendekati Sovia, ia menatap bingung ke arahnya melihat ia yang terlihat begitu syok. "Apa yang terjadi?" tanyanya.
Sovia menggeleng, menetralkan jantung dan ekspresinya kembali. "A-aku baik-baik saja, boleh aku tau siapa nama, Ibu?" tanya Sovia, kembali ke dalam aktingnya.
"Nama saya Hesti, saya guru baru di sini. Kamu murid baru, kan? Mari saya antarkan kamu ke kelas," ucap Hesti dengan senyum yang merekah di wajahnya. Sovia mengangguk, mengikuti langkah guru itu menuju kelas yang berada di lantai tiga.
Sampai di depan kelas, Hesti mengetuk pintu ruang 12 Rum 3. Dari dalam kelas, seorang guru membuka pintu, terlihat galak dan memandang tak suka pada Sovia. Hesti tersenyum, memberikan penjelasan singkat mengenai murid baru di Casanova School hari ini.
"Baiklah, Hesti. Kamu serahkan saja anaknya pada saya," ketus guru Isha. Hesti mengangguk, lalu berpamitan pergi.
"Kamu, cepat masuk," perintah Isha. Sovia hanya mengangguk, mengikuti guru tua itu yang terlihat jauh lebih pendek darinya. Ketika berjalan, Sovia mengetahui kalau kakinya pincang, dia jelas kesulitan untuk berjalan.
"Semua, dengar! Dia adalah murid baru, tidak usah perkenalan. Duduk dimanapun sesukamu!" teriak guru itu yang mengundang gelak tawa seisi kelas. Sovia duduk di kursi paling pojok, satu kelas hanya di isi dengan tiga puluh siswa. Dan saat ini, di sebelah mejanya, seorang laki-laki tengah asik bermain ponsel tanpa mendengarkan penjelasan guru.
Sovia hanya diam saja sambil memperhatikan sekeliling tanpa membuat mereka awas, tak sedikitpun peduli dengan materi yang sedang dijelaskan. Sovia tidak ingin ingat lagi, masa-masa dimana ia di eksploitasi.
Lagi pula dia sudah lulus S2 sekarang, walau pengorbanan yang diberikan tak sebanding dengan gelar.
Sekilas, Sovia terlintas ingatan tentang Garp, saat dimana ia dengan tawa yang gembira menggendong Sovia kecil yang masuk berusia tiga tahun. Sekolah Casanova sengaja dibangun untuknya, hanya ada satu di dunia, dan setelah bertahun-tahun ia melepas sekolah ini dari pengawasannya. Lalu tiba-tiba citra sebagai sekolah internasional yang terkenal sekolah berkualitas dan unggul dalam hal apapun, jatuh dalam beberapa tahun.
Sovia menarik nafas panjang, kemerahan di pipinya, bukan saja panas tapi juga perih. Ini di luar rencananya, tidak sangka seorang Kepala Sekolah akan berbuat seperti itu pada muridnya sendiri. Jika ada yang salah dengan sekolah ini, orang pertama yang patut dicurigai adalah Kepala Sekolah.
☆.。.:* .。.:*☆
KAMU SEDANG MEMBACA
Sovia Casanova
Teen FictionSovia terpaksa kembali ke SMA Casanova demi menyelesaikan masalah di sekolahnya, untuk melancarkan misi tanpa menimbulkan kecurigaan, Sovia menyamar sebagai murid baru dengan penampilan yang berbanding terbalik dengan kehidupan aslinya. Namun, keti...