Prolog

79 4 2
                                    

Dua pria dengan tampilan rapi berbalut jas dan sepatu yang mengkilap-khas pekerja dengan jabatan tinggi-saling beradu argumen. Ketegangan, emosi, ambisi, amarah, menjadi satu dalam atmosfer ruangan ber-AC yang dingin.

Masing-masing berseru, tak ada seorangpun dari mereka yang berniat untuk mengalah. Zafran dan Justine saling menatap dengan niat membunuh, seperti seekor singa dan harimau yang tengah kelaparan di padang rumput Sahara.

"Mau bertaruh?" tawar Justine.

Zafran tersenyum meremehkan. "Kenapa? Kamu takut mati?"

Justine mendengus, tidak sangka ia akan diremehkan oleh laki-laki yang lebih muda darinya.

"Takut? Bahkan jika singa yang ku hadapi sekarang, aku tak akan takut atau gentar."

"Omong kosong. Bagaimana kalau kita membuktikannya secara langsung?"

Zafran tersenyum smirk, meski Justine memiliki postur tubuh yang tinggi dan berotot, dia takut pada satu hewan, kan?

Suara pintu yang didobrak dengan paksa membuat Justine dan Zafran menoleh, atmosfer di ruangan seketika berubah. Mereka berdua langsung berlutut, lirikan dengan niat saling membunuh tak kunjung hilang meski kepala mereka menunduk.

"Kalian-"

Justine dan Zafran menahan nafas, aura membunuh mereka hilang. Wajah tampan Zafran berkeringat, dia seakan ditekan dengan aura yang begitu kuat, atmosfer bahkan ikut berubah.

Justine berdiri, matanya penuh kemantapan, dia siap dengan nasib dan argumen-argumennya. Zafran menepuk jidatnya sambil menggeleng-geleng.

"Bodoh, dia lebih tidak takut mati dari yang aku bayangkan, padahal yang sedang ia hadapi ini bukan singa tapi malaikat maut," gumam Zafran.

Justine menelan saliva nya kasar, meski tidak terdengar jelas, ia paham yang Zafran maksud. Ia menatap mata hazel wanita itu, mata yang indah dan berbahaya.

"Maafkan kelancangan saya, nona. Saya tidak bisa mendukung keputusan anda, meski SMA Casanova di ambang kebangkrutan, saya tidak bisa membiarkan anda pergi dengan mempertaruhkan nyawa anda."

Tak ada jawaban, ruangan dengan furniture antik itu lengang, tak ada yang bersuara. Zafran masih berlutut, sejujurnya dia juga menentang keputusan wanita itu, terlalu berbahaya membiarkannya berkeluyuran di tengah kota sendirian.

"Keluar."

Justin dan Zafran saling tatapan, terkejut sekaligus takut, Zafran bisa melihatnya di dalam matanya. Zafran ikut panik, jantungnya berdebar kencang. Wanita itu marah, harusnya Justine tau, kata-katanya jelas meremehkan.

"Berani sekali kamu mengatakannya, Justine. Apakah kamu sudah berpikir sebelum bicara? Sekarang kau merasa lebih hebat dariku, heh!"

Justine menggeleng, dia ingin menjelaskan niatnya, tapi lidahnya kelu, suaranya tercekat di tenggorokan, bahkan seluruh tubuhnya terasa berat untuk digerakkan.

"Permisi, Nona Sovia. Maaf atas kelancangan saya, kami benar-benar meminta maaf, bukan merasa hebat atau meremehkan anda. Kami justru mencegah anda karena seperti yang nona tahu, musuh kita berkeliaran dengan bebas di luar sana. Tentu anda jauh lebih hebat dari kami, kami mohon minta maaf." Zafran ikut bicara, matanya penuh kemantapan tanpa ada keraguan sedikitpun.

Sovia Casanova, wanita cantik itu menatap kedua laki-laki itu dengan tatapan datar. Meski Zafran bilang begitu, Sovia tidak akan terpengaruh, dia hanya sedikit tenang.

Meski begitu, Justine bernapas lega. Dia kembali berlutut, tidak ada lagi yang bisa ia sampaikan, meskipun ada Sovia tidak akan mendengarnya lagi.

"SMA Casanova bukan hanya sekedar aset keluarga, tapi juga sebuah kebanggaan bagi keluarga Casanova." Sovia menatap ke luar jendela, dia tahu musuh-musuhnya di luar sana tak bisa diremehkan. Tapi, dia jauh lebih tidak suka jika 'tidak dipercaya'.

Zafran berlutut, SMA Casanova jelas sangat berharga bagi Sovia, High Internasional School Casanova itu dibangun khusus oleh Kakek Sovia, Garp Casanova atas kelahiran putri pertama di keluarga Casanova, yaitu Sovia Casanova.

"Maafkan saya, Nona Sovia," ucap Justine. Zafran menoleh ke arah laki-laki dengan rambut berwarna putih itu. Ucapan Justine bukan hanya bualan belaka, dia tidak takut. Bahkan karena tak punya rasa takut itu, dia sampai menentang malaikat maut.

"Sudah saatnya, aku akan menyerahkan semua pekerjaan kepada kalian, tak boleh ada seorangpun yang menggangguku." Setelah mengatakannya, Sovia pergi melalui pintu yang rusak engselnya. Tidak tahu sekuat apa gadis itu sampai bisa merusak pintu kayu yang tinggi dan besarnya hampir mencapai lima meter itu.

"Satu, kosong. Itu poin kita, aku sudah menyelamatkan mu, jadi aku mendapatkan satu poin untuk kemenangan ku."

"Terserah dan terima kasih, Zafran."

Zafran mengangguk, tersenyum tipis, tidak sangka kalimat itu akan keluar dari mulut seorang Justine. Dia lebih tua tiga tahun darinya, Justine lebih dulu bertemu dengan Sovia, tentu saja rasa hormatnya menurun dan rasa sayangnya meningkat. Itulah yang akan terjadi jika sudah terlalu dekat dengannya.

❀❀❀

Sovia CasanovaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang