Dia, Satrio.

36 5 1
                                    

Surabaya, Oktober 1945

Satrio berlari dari kantor penyiaran menuju kampungnya, ontel yang dikendarainya ditinggalkan begitu saja di tepi jalan raya. Bannya kempes dan rantainya lepas, dia tidak punya waktu untuk memperbaiknya, dibawanya kakinya mengambil langkah seribu. Berita ini harus segera sampai di tetua desa, dan tak ada waktu menunggu untuk memperbaiki seonggok sepeda tua.

Beberapa pemuda dan orang tua sudah menantinya di balai desa, mengharapkan kabar baik yang datang dari kota. Radio tak berfungsi setelah sekutu kembali. Terakhir kali suara Bung Tomo di sana, menyerukan Arek-arek Suroboyo agar kembali merapatkan barisan, sekutu berencana menyerang.

Baru rencana, begitulah kabar burungnya. Satrio memberitahu warga kampungnya, sebagai pengantar amanat ia bertanggung jawab atas informasi yang diberikannya—mau itu kabar baik atau kabar buruk.

“Mereka meminta pemuda-pemuda untuk kembali ke medan pertempuran, kemerdekaan negeri kita sedang dipertaruhkan!”

Sorakan keras memenuhi tempat itu, bergema di dinding-dinding balai desa. Para tetua mengirim semua pemuda di kampung agar segera menggabungkan diri dengan yang lainnya di tengah kota. Perlawanan rakyat bangkit lagi.

Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sudah memasang barikade di berbagai sudut kota Surabaya yang rentan diduduki oleh pihak sekutu. Satrio dengan semangat berapi-apinya berjanji pada diri sendiri untuk siap menumpahkan darahnya demi mempertahankan kedaulatan negaranya.





***





Surabaya, Juli 1945

Sudah tersiar bahwa kekalahan Jepang di depan mata, para pemimpin mulai merancang struktur kenegaraan. Visi, misi dan dasar negara. Berita terus digaungkan di radio-radio, memberi secercah harapan pada rakyat yang sudah kehilangan banyak mimpi-mimpi, akankah kemerdekaan mereka raih. Atau inilah akhir pahit dari panjangnya penjajahan yang mereka terima.

Satrio duduk bersandar di tembok belakang kantor penyiaran, mendengar kabar-kabar yang menjanjikan membuatnya merasa lebih baik. Dia hanyalah pemuda biasa dari desa, bersekolah di sekolah rakyat itupun tak sampai tamat. Setidaknya ia tahu membaca dan berhitung, pedagang tidak akan membodohinya di pasar karena dia tahu beberapa ilmu, ia bersyukur sebab tak semua pemuda bisa seperti dirinya.

“Sat-rrio,” pemuda sepantaran dirinya menghampiri, logat Jepangnya yang kental memberi penekanan di -Rio. Satrio menegakkan tubuhnya, lehernya langsung bercelingak-celinguk, memastikan tak ada orang lain di tempat itu kecuali mereka berdua.

“Kau sudah mendengarnya?” tanya Pemuda Nipon yang baru saja tiba.

“Ya, mereka membentuk BPUPKI.” Pemuda Nipon itu mengangguk, sambil mengulang dalam bahasa Jepang kepanjangan dari akronim yang Satrio ucapkan. “Itulah kenapa aku mengirim pesan padamu, aku ingin tahu, ini sungguhan atau hanya akal-akalan? Kenapa Jepang mau membantu kemerdakaan Indonesia dengan membentuk organisasi itu?”

Pemuda Jepang itu ikut bersandar di tembok, di sisi Satrio. Ia mengeluarkan cerutu dari kantong celananya, memberikannya satu pada Satrio, lalu menyulutnya dengan api, berbagi baranya dengan milik Satrio yang sudah diapit di antara bibir. Mereka diam sejenak, menikmati tembakau yang terbakar dan asap yang bertukar di dalam paru-paru. Sejenak Satrio merasa ototnya melemas, dia terlalu tegang beberapa saat lalu.

“Aku tidak punya banyak informasi,” kata si Pemuda Nipon setelah beberapa saat, “Tapi aku tahu kekalahan Jepang di Perang Dunia memaksa mereka untuk melakukan ini, mencari simpatisan, mencari sekutu.”

“Apa ini termasuk kerja sama?”

“Tidak bisa dibilang kerja sama,” pemuda itu menatap Satrio, “Kenapa kau menganggap kolonialisme ini sebagai kerja sama? Mereka mencari sekutu, Sat-rrio. Mereka mencari alat, negaramu ini bagai barang yang ditaruhkan di meja judi.”

SHOREATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang