Hantu Di Gudang Tembakau

29 3 2
                                    

1944


Dua tahun pendudukan Jepang di Nusantara, tanah air yang kaya akan sumber daya. Wilayah yang dikuasai makin meluas, arus perdagangan lancar dan hasil perkebunan melimpah. Rakyat negeri ini merupakan pekerja keras yang tak kenal lelah, mereka bertani dari musim ke musim, turun dari rumah pagi buta dan kembali saat gelap gulita.

Mereka sudah merasa cukup dengan apa yang mereka punya dan mau menerima upah ala kadarnya. Bukannya memaksa, tapi pola pikir mereka sudah diatur dengan pemahaman, seada-adanya, secukup-cukupnya. Hari ini harus selalu disyukuri apapun hasilnya.

Kami memberi mereka bibit dan hasil panen nanti akan mereka jual kembali kepada kami. Bagi kami ini sudah adil, tapi beberapa golongan revolusioner selalu saja menganggap hal ini kejahatan. Kami hanya melakukan apa yang seharusnya tidak disia-siakan di tanah surgawi ini.

Aku bertugas mengatur perkebunan di wilayah ini, salah satu kampung yang tak jauh dari kota provinsi. Aku menjabat sejak sekutu tak lagi di sini, sejak serikat dagang Belanda bangkrut dan kami berhasil menempati tempat ini, aku mengawasi sekaligus menggaji para pekerja ladang yang berada di sini. Semuanya berjalan mulus selama dua tahun, meskipun kami selalu saja mendapati beberapa orang yang memberontak, mereka bukanlah orang-orang yang bekerja di wilayahku.

Sampai suatu hari, aku sedang berjalan-jalan mengawasi perkembangan kebun kopi yang mulai berbunga. Tinggal menuggu bulan maka panen besar akan segera tiba, saku kami akan terisi oleh pundi-pundi dan para pekerja akan menerima upah sesuai hasil kerja mereka.

Namun, aku tak sempat melihat panen raya itu. Segerombolan orang membawaku pergi, menyekapku di dalam gudang tembakau yang jauh dari tempat tugasku. Perjalanan itu menyiksa, kurasa mereka adalah orang-orang revolusioner yang selalu dibicarakan itu. Dan tamatlah riwayatku.

"Banzai!!!"

Bahkan di saat akhir hayatku masih kudengar seruan kemenangan bangsaku.




***





1977


"Dulunya ini pabrik, di gudang belakang itu mereka menyimpan tembakau kering. Di gudang sebelumnya untuk kopra dan cengkih, sejak pemberontakan besar-besaran tahun 1945, pabrik ini tak berfungsi lagi."

Aku mendengar orang bercakap-cakap di luar, aku tak bisa melihatnya. Di sekelilingku hanyalah kegelapan, tembok dingin nan pengap, mengukungku entah telah berapa tahun lewat.

Kudengar, dari orang yang bercakap-cakap yang tak bisa kulihat, bangsaku telah pergi. Negeri ini membebaskan diri dan sudah mampu berdiri di kaki sendiri. Aku mau bersyukur untuk itu, karena jika saja aku masih hidup, aku bisa hidup tenang di masa pensiunku.

"Katanya karena pabrik ini milik Jepang?" suara lain bertanya.

"Ya, betul, dan juga, Anda tahu sendiri kepercayaan orang-orang masih kuat mengenai takhayul. Tempat ini dianggap angker karena dulu selalu menjadi tempat eksekusi, jauh dari Ibu Kota dan perumahan warga. Makanya tak ada investor yang mau mengambil alih."

"Sayang sekali, padahal tempat ini sangat strategis. Jauh dari perumahan penduduk berarti memungkinkan tak mengganggu kenyamanan siapa pun."

"Rencananya tempat ini akan dirobohkan, kalau sampai tahun depan masih tak ada pengusaha yang berminat."

"Boleh kita kembali berkeliling?"

Aku mendengar langkah kaki mendekat ke tempatku, tak ada yang pernah masuk ke sini sejak hari itu. Hari di mana pembantaian bangsaku terjadi, aku melihat semuanya, mereka tak kalah kejamnya dengan kami. Dan saat mereka semua bersatu, kekuatan itu sungguh mengalahkan kecerdikan bangsaku.

ZhouiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang