Gerbong 6

51 9 0
                                    

Bau obat-obatan pada ruangan 3x4 bernuansa putih menyeruak, memekakan indra penciuman. Tepat satu minggu setelah Ibu menempati ruangan ini, kini kami sedang membicarakan banyak hal. Mengisi waktu yang tak banyak bisa dimanfaatkan untuk kesibukan lain, selain menjaga Ibu. Ibu sesekali tertawa dengan gurauan yang Rio lontarkan. Laki-laki itu benar-benar menepati perkataannya.

Roda troli makanan terdengar mendekat ke arah ruang inap Ibu, setelahnya ketukan terdengar dari arah pintu. Seorang perawat dengan senyum manisnya masuk membawa sebuah nampan berisi satu piring nasi, semangkuk kuah sup, sepiring kecil tahu rebus dan pelengkap sup yang dimasak setengah matang, sepiring kecil buah apel yang sudah dikupas dan dipotong dadu, serta sebotol kecil air mineral. Kali ini tak ada obat, karena obat pagi ini sudah seluruhnya diinjeksikan* bersamaan jadwal pengecekan TTV* tadi pagi.

"Selamat pagi Bu Titik. Izin mengantarkan sarapan, ya," sapa perawat dengan seragam putihnya itu ramah.

"Terima kasih ya, Mbak."

Pintu kembali tertutup, menyisakan kami bertiga yang sedang kembali mengingat obrolan yang sempat terputus.

"Sarapan dulu ya, Bu. Ara suapin."

Aku berlalu, mendekatkan meja dorong pada brangkar ibu. Setelahnya, mulai membuka piring-piring dan mangkuk yang tertutup plastik wrap agar tetap higienis sampai pada pasien.

"Nggak usah, biar Ibu makan sendiri. Kalian pergi cari sarapan saja," tolak Ibu yang mengambil alih sendok dari tanganku.

"Nanti setelah Ibu makan, ya."

"Sudah sekarang saja, sudah pukul 7. Jangan sampai terlambat makan, Ara."

Senyumku berubah pahit. Telat makan? Bahkan makan pagi dan siang saja sering kugabungkan saat berada di perantauan. Lumayan menghemat waktu, tenaga, dan juga uang tentunya. Kalian tidak lupa jika aku hanya seorang anak kos, bukan?

"Nggak akan telat Ibu. Ara suapin aja, ya?"

Belum sempat Ibu kembali bersuara, kini Rio memecah perdebatan kami, "saya belikan saja sarapannya, Bu. Nanti saya bungkus untuk Asha juga."

Rio bangkit dan berlalu meninggalkan ruang rawat inap ibu, "assalamualaikum."

"Nah, ayo sekarang Ara suapin Ibu, ya."

Ibu mengangguk pasrah. Sedikit menggeser duduknya, memberi ruang untuk aku ikut duduk pada brangkarnya. Satu suapan sudah siap kulayangkan untuk dilahap oleh Ibu, setelahnya.

"Dihabiskan ya, Bu."

Lagi-lagi Ibu mengangguk. Aku tahu rasa makanan itu cukup hambar untuk dapat dinikmati. Bagaimana tidak, bumbu yang digunakan adalah bumbu-bumbu alami tanpa menambahkan MSG di dalamnya. Tapi, Ibu cukup sabar dan sadar harus menghabiskan makanan itu untuk segera keluar dari penjara putih ini.

"Nggak mual kan, Bu?"

"Enggak kok, Ra. Alhamdulilah perut Ibu jauh lebih baik dibanding kali pertama masuk kemarin. Ya sebenarnya sedikit, tapi makanan ini masih bisa masuk, kok."

Aku tersenyum mendengar penjelasan Ibu tentang kondisi yang Ia rasakan. Beruntung Ibu bisa menjelaskan dengan baik, dan mau berkerja sama untuk menjelaskan yang sebenarnya sedang dirasakan.

Syukur keadaan ibu benar-benar membaik hari ke hari. Hal tersebut tentunya tak terlepas dari peran Rio yang selalu mempunyai banyak topik pembahasan untuk dibicarakan dengan ibu. Serta gurauan yang membuat tawa ibu menggema renyah dalam bilik ini.

"Kamu langsung kembali ke Jakarta setelah Ibu boleh pulang, Ra?"

"Nanti Ara temani Ibu dulu ya di sini."

"Apa nggak mengganggu kuliah kamu, Ra. Ibu sudah sehat, kok."

Aku terkesiap, mengingat sudah satu minggu aku menanggalkan laptop beserta perintilan skripsiku. Kembali aku teringat dengan seminar yang seharusnya dapat kulakukan di minggu ini. Dapat kulihat dari sorot matanya, ibu seperti merasa bersalah karena sudah membuatku melewatkan beberapa rencana yang telah kususun sebelumnya. Kutarik napas dalam-dalam, menenangkan diri agar tak semakin membuat ibu merasa bersalah.

"Kita lihat nanti ya, Bu. Sekarang Ibu makan aja dulu."

Pintu ruang rawat inap ibu kembali terbuka, menampakkan sosok Rio dengan sebuah kantung keresek di tangan kanannya. Segera Ia menempatkan badannya pada sofa dan melucuti kantung keresek yang membungkus dua kotak makan sterofoam yang nampaknya berisi bubur, "sarapan bubur ya, Sha." Sesuai tebakan.

Aku hanya mengacungkan jempol dan segera melayangkan suapan terakhir pada ibu. Setelahnya, membantu beliau untuk menyegarkan kerongkongannya dengan sebotol air mineral yang disediakan. Selepas itu, kembali merapikan piring dan mangkuk yang tak sepenuhnya habis, namun juga sudah cukup banyak yang berpindah ke dalam perut ibu. Menumpuknya dan menempatkan meja dorong pada posisinya semula.

Kudaratkan badanku di sisi sofa yang kosong,  bersebelahan dengan Rio yang sedang menyiapkan dua kotak bubur untuk kami. Diletakkannya satu kotak di hadapanku, bersama satu sendok plastik yang baru saja dilepaskan dari plastik pembungkusnya, "mau sambal?"

"Boleh."

"Sedikit aja ya, Sha."

Tak ingin berdebat, aku hanya mengangguk menyetujui ucapan Rio. Dengan telaten, Ia siapkan bubur yang sudah dibuka kotaknya, dituangkan sedikit sambal pada bubur milikku. Kemudian memberiku ruang untuk menyantap buburku.

Suara televisi menggema, memberi sedikit ramai pada ruangan putih yang kami tempati. Ibu sedang serius menonton tayangan televisi yang berisi informasi kuliner di suatu daerah, sedang aku dan Rio masih khidmat menyantap bubur yang kini sisa setengahnya.

Bubur dengan taburan kacang, ayam suwir, dan beberapa potong daun seledri itu nampak rapi pada kotak sterofoam milikku. Bahkan kecap, sambal, dan telur pun masih tertata indah meski sudah habis setengahnya. Berbeda denganku, milik Rio sudah beradu-padu menampakkan penampilan berserak dari bubur yang saat ini tersisa satu perempatnya. Nampaknya, cara makan bubur kami berbeda.

Diteguknya satu botol air mineral setelah Rio berhasil menuntaskan ritual makan bubur diaduknya itu, sedangkan aku masih sibuk menyendok bubur diiringi santapan pada kerupuk yang mendampingi, "Apa enaknya bubur yang nggak diaduk gitu?" Cibir Rio.

"Justru yang diaduk bikin nggak selera."

Aku melirik sekilas pada Rio dengan ujung mataku. Memberi tatapan sengit atas jawaban dari ocehannya. Sudah jelas bubur yang diaduk itu terlalu berantakan untuk disantap, bukan?

"Kalo nggak diaduk, rasanya nggak nyatu dong."

Aku mendengus sebal, haruskah perbedaan tentang cara makan bubur ini diributkan? Kurasa yang penting makanan itu masuk ke perut sudah cukup, dibanding memusingkan cara menyantapnya. Rio terkekeh setelah satu pukulan mendarat pada lengannya.

"Bisa nggak sih lo diem dulu, gue lagi makan, Rio."

Ibu terkekeh kecil di sela fokusnya memerhatikan televisi, "ya sudah, buburnya yang salah."

_


*Injeksi atau penyuntikan adalah metode memasukkan cairan ke tubuh menggunakan jarum.
*Tanda-tanda vital (TTV) adalah sekelompok empat hingga enam tanda medis paling penting yang menunjukkan status fungsi vital tubuh.

Stasiun Kereta.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang