Dara: A Whole Lotta Fun

280 16 5
                                    

Aku membereskan laptop dan berkas-berkas yang berserakan di mejaku. Kulirik jam tangan warna putih berantai keramik yang melingkar di pergelangan tanganku. Baru jam setengah tujuh malam, masih pagi untuk ukuran orang-orang yang tinggal di kota metropolis seperti Jakarta.

Setelah berpikir dan menimbang, kuputuskan untuk mengirim pesan singkat ke Mas Harsa. Siapa tahu hari ini kami beruntung untuk bertemu dan sekedar bertukar cerita. Anggap saja aku berniat baik menebus gagalnya pertemuan kami kemarin. Jadwal kami yang tidak pas menjadi alasannya. Waktu makan siang, aku yang tidak bisa karena mendadak ada klien yang mengajak meeting. Waktu makan malam, Mas Harsa yang tidak bisa karena tiba-tiba dipanggil diskusi dengan atasannya. Mau bagaimana lagi, inilah susahnya kalau sama-sama jadi pekerja keras, sama-sama sudah mencapai posisi lumayan di perusahaan berkelas internasional. Tentu saja itu semua terbayar dengan kemapanan finansial kami berdua. Tapi, apalah artinya uang kalau hidup hanya dijalani sendiri.

Eh, sejak kapan aku punya pikiran seperti itu. Apakah itu artinya aku sudah mulai menerima Mas Harsa? Apa yang menarik dari dia? Tidak tahu. Ya, aku tidak tahu. Aku hanya tahu dia anak teman mama, cukup santun, berpendidikan tinggi, punya pekerjaan yang baik dengan posisi lumayan, mapan. Sudah, itu saja. Dan itu tentu saja belum bisa membuat seorang Dara jatuh cinta. Sedikit tertarik, mungkin. Jatuh cinta? Belum. Mungkin Mas Harsa dan aku harus lebih membuka diri, memberi kami waktu untuk saling mengenal. Siapa tahu kami saling jatuh cinta. Ya, siapa tahu.

Tak mau membuang waktu, aku meraih ponsel dan mengontak Mas Harsa. Aku beruntung, pesanku langsung dibalas. Dia setuju untuk makan malam bersama, walaupun kami baru bisa bertemu jam delapan karena masih ada pekerjaan yang harus diselesaikannya.

"Mas, untuk menghemat waktu, apakah tidak sebaiknya aku jalan ke kantormu saja?" tanyaku melalui WhatsApp. Sebenarnya aku hanya iseng, apakah dia berani kudatangi? Sekaligus mengecek seperti apa kantornya, pekerjaannya dan tentu saja pergaulannya. Duh, aku jadi malu. Pacar bukan, tapi aku sudah seperti detektif saja yang sedang melakukan penyelidikan kehidupan pasangannya saat tidak sedang bersama. Ada apa sih denganku?

Aku terkejut ketika tiba-tiba layar ponselku berkedip-kedip. Mataku memicing melihat si penelepon. Entah berapa dering kulewatkan, yang pasti ketika aku siap menjawab, deringnya berhenti. Ah! Tapi si penelepon rupanya tidak menyerah, dia menelepon lagi.

"Ya, Mas," suaraku terdengar lirih, campuran antara kaget dan senang.

"Kamu mau ke kantorku? Mau makan disini saja?"

"Ehm, ya kalau kamu tidak keberatan. Kebetulan aku sudah pulang. Kalau Mas baru selesai jam 8, ya kupikir akan lebih singkat kalau aku yang kesana."

"Kamu tahu kantorku dimana?" Pertanyaan itu sukses membuat meringis. Untung ini telepon, jadi dia tidak bisa melihat mimikku saat ini. Aku menjawan pertanyaan itu dengan ragu, "Nggak sih. Aku cuma tahu kantormu masih di daerah Sudirman juga, sama denganku."

Kudengar kekehan geli di seberang sana, "Kantorku di The Olive, Thamrin. Kalau kamu bisa kesini, aku menawarkan dinner di Meat Ball Lounge saja. Bagaimana?"

Aku mendadak sumringah dan menjawab antusias, "Oke, aku ke kantormu ya, Mas. Mungkin aku akan naik Transjakarta saja supaya cepat. Aku intip dari jendela lalu lintas Sudirman masih ruwet, seperti biasa."

"Oke, Putri. Kutunggu di kantorku, ya. Tidak usah buru-buru, yang penting hati-hati." Pesannya sebelum mengakhiri telepon. Pesan yang langsung merasuk dalam hati. Apakah dia memang selalu perhatian seperti itu? Atau ini hanya karena dia memang punya niat pendekatan padaku? Apapun itu nyatanya aku bahagia. Setelah sekian lama tidak ada yang memperhatikanku, selain mama dan ayah maksudku. Aku jadi seperti anak abege yang sedang kasmaran, bahagia sampai tersenyum-senyum sendiri.

Mejaku sudah rapi, semua berkas sudah tersimpan dengan baik pada tempatnya, lemari juga sudah kukunci dan memastikan kuncinya tersimpan, maka selesailah seluruh ritual yang kulakukan sebelum pulang. Aku memang terbiasa meninggalkan meja dalam keadaan rapi ketika pulang. Ini salah satu pelajaran yang kudapat dari salah satu eksekutif manajemen asal Jepang yang sempat berkunjung beberapa waktu lalu ke Jakarta. Katanya itu adalah salah satu prinsip yang diterapkan di Jepang sana. Setiap karyawan wajib menjaga area kerjanya selalu bersih, rapi dan teratur. Tujuannya untuk menghindari hal yang tidak diinginkan seperti berkas yang terselip, barang yang hilang atau makanan yang dikerubuti serangga dan membuat kita jijik. Terbiasa rapi, bersih dan teratur juga melatih kita menjadi orang yang sistematis dan terorganisir.

Kakiku melangkah ringan menuju halte Transjakarta. Tidak banyak yang kubawa malam ini, hanya sebuah tas bertali panjang yang kusampirkan di bahu. Aku menguncir kuda rambutku dan memakai flat shoes agar lebih nyaman. Mataku asyik mengamati orang-orang yang berjualan di sepanjang jembatan penyeberangan mulai dari beragam cemilan, tisu, buku dan DVD yang tentu saja diragukan keasliannya, payung, jaket sampai pashmina dengan motif yang menarik. Aku tersenyum tipis melihat momen dimana para penjual akan menjajakan barang dagangannya, kemudian beberapa pembeli akan menghampiri, dilanjutkan dengan proses tawar-menawar yang cukup sengit, sampai akhirnya keduanya bisa sama-sama tersenyum puas ketika kesepakatan jual-beli tercapai. Sungguh cara yang indah untuk bahagia.

Anehnya aku menikmati semua momen itu dengan perasaan hangat yang membuncah. Aku ikut merasakan bahagia bersama mereka. Aku bahkan sempat berhenti sejenak di bawah jembatan penyeberangan untuk melihat penari jalanan yang menarikan tarian Jawa sekadarnya diiringi musik gamelan dari tape hitam kecil. Kurogoh saku tasku mencari sekedar uang kecil untuk kumasukkan ke dalam kaleng yang diatasnya ada karton kecil bertuliskan 'Mari Kita Lestarikan Budaya Indonesia'. Si Bapak tersenyum lebar saat aku memasukkan uangku ke kaleng itu.

Aku juga sempat diam dari atas jembatan penyeberangan hanya untuk memandangi sorot lampu yang terpantul dari gedung-gedung pencakar langit. Meresapi bayangan yang terbentuk dari mobil-mobil yang berjejer terjebak macet di sepanjang Jalan Sudirman saat jam pulang kerja. Menikmati suara bising yang tertangkap telingaku mulai dari cerita keseharian mereka, merajuk pada (mungkin) kekasihnya di ujung telepon sampai umpatan kesal karena entah hal. Hanya diam untuk menikmati momen. Diam untuk mensyukuri apa yang aku dapatkan selama ini karena diluar sana masih sangat banyak orang-orang yang hidupnya jauh lebih rumit daripadaku. Mungkin caraku meresapi bahagia ini aneh, tapi biarlah. Kira-kira apa pendapat Mas Harsa kalau dia tahu aku suka dengan hal-hal seperti ini?

Aku menghentikan pikiranku yang mulai mengembara tak tentu. Sebaiknya aku bergegas kalau tidak ingin tiba lewat dari waktu yang dijanjikan. Semoga saja Mas Harsa bukan tipe pria yang suka ngaret karena aku baru ingat kalau tadi siang aku hanya makan salad dalam porsi mini, jadi perutku sekarang sudah asyik bermain keroncong sendiri.

***

30 Hari PDKTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang