Harsa: A Good Place To Start

291 18 5
                                    

Jadi, si putri marah itu mengajakku makan malam? Apakah dia merasa bersalah karena kemarin kami tidak jadi bertemu? Dengan kesibukan kami seperti sekarang dan hidup di Jakarta, mungkin keinginanku untuk bertemu dengannya setiap hari memang mustahil. Bertemu setiap hari dengan pacar, atau calon pacar, hanya berlaku bagi orang-orang yang tinggal di daerah yang sama atau berkantor di gedung yang sama. Ya, kalaupun di tempat berbeda, maksimal jaraknya hanya 1 kilometer. Itu kataku lho, entah kata pria-pria lain.

Kembali ke topik utama, Dara menelepon mengajakku makan malam. Aku masih ada meeting sampai pukul delapan, dan dia setuju untuk menungguku. Bahkan dia menawarkan, dia yang akan mendatangi kantorku. Luar biasa! Selama ini aku hanya bertemu wanita-wanita manja yang selalu minta dijemput dan diantar. Mungkin Dara memang unik.

19.45 WIB. Aku mulai gelisah. Gelisah karena akan bertemu dengan Dara. Gelisah karena meeting ini seperti belum menunjukkan ujungnya untuk segera diakhiri.

19.55 WIB. Aku mulai lirik kanan-kiri dan memutar-mutar pena, alasan apa yang akan kupakai supaya bisa kabur dari ruangan ini. Kalau Donny –teman akrabku di kantor- sih enak, dia bisa beralasan anaknya sedang sakit jadi perlu dibawa ke dokter segera. Nah, aku yang masih single ini tidak mungkin pakai alasan anak sakit, bukan?

20.00 WIB. Dengan terpaksa aku beralasan ke toilet demi bisa menelepon Dara. Meminta maafnya karena kali ini aku yang terpaksa membuat janji kami terlantar. Bergegas aku keluar ruang rapat dan menuju lobby.

Aku baru akan menelepon Dara ketika dari arah pintu masuk aku melihatnya. Sekali lagi, dandanannya terlalu biasa. Celana panjang hitam, kemeja biru, sepatu datar dan rambut yang diekor kuda. Dalam kondisi normal, aku pasti tidak akan melirik ke arahnya, sama sekali tidak menarik. Tetapi, sekarang, lihat aku, mataku bahkan tidak lepas sedetik pun untuk memandangnya. Bahkan dengan penampilan seadanya dia tetap terlihat menarik di mataku. Oh Tuhan, ada apa denganku?

Aku masih bersembunyi di balik pilar sambil terus mengamatinya. Dia melirik jam tangannya sambil mengeluarkan ponsel. Aku yakin dia bermaksud menghubungiku. Tapi, kulihat dia sudah memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas dan sama sekali tidak ada notifikasi di ponselku. What? Dia tidak mengabariku kalau sudah sampai disini? Memangnya dia sudah tahu aku berkantor dimana? Atau dia berharap aku jadi paranormal yang bisa menerawang kehadirannya tanpa perlu diberi tahu? Dari ekor mataku kulihat dia menuju rest room. Oh, mungkin dia baru akan mengabariku setelah selesai mempercantik diri. Dasar wanita!

Sebenarnya aku masih penasaran ingin menguntitnya diam-diam, tapi kuputuskan untuk segera kembali ke ruang meeting. Tidak lupa sebelumnya kukirimkan pesan kepadanya supaya langsung menungguku di Meat Ball Lounge saja. Untungnya tadi aku sempat melakukan reservasi atas namaku. Setidaknya aku masih menunjukkan sedikit rasa tanggung jawab dan tidak meninggalkannya terlantar begitu saja.

21.00 WIB. Akhirnya meeting ini selesai juga. Aku berjalan secepat kubisa menuju Meat Ball Lounge dengan perasaan was-was. Semoga saja Dara masih menungguku disana. Walaupun kalau dia memutuskan pergi, aku hanya bisa maklum. Aku hanya berharap dia mau menerima maafku dan perjalananku dengannya tidak berhenti sampai disini. Terakhir kali kabar yang kuterima darinya hanya jawaban 'Oke' ketika aku mengabarkan bahwa meeting ternyata masih panjang dan aku memintanya menunggu langsung di tempat yang sudah diperjanjikan. Oh Tuhan, kumohon, semoga dia masih disana.

"Dara..." Aku menyapanya dengan lirih, gabungan antara perasaan kaget, haru dan miris. Sosoknya yang sedang asyik dengan tablet di tangannya langsung bisa kulihat dari pintu masuk.

Dia mendongak sembari tersenyum tipis, "Sudah selesai meeting? Belum makan ya?" Aku menggeleng pelan. Dia langsung mengangkat tangannya untuk memanggil pelayan dan meminta buku menu.

"Maaf ya, Mas. Tadi aku sudah makan duluan karena aku lapar sekali. Tadi siang aku hanya sempat makan sedikit. Kamu meeting sampai semalam ini tidak dapat makan malam?" Tanyanya dan lagi-lagi hanya kujawab dengan gelengan.

Bibirnya mencibir, "Huh, kantormu kok pelit? Kalau meeting sampai lewat jam makan seharusnya disediakan konsumsi dong. Nanti kalau pegawainya pada sakit, kantormu juga yang rugi, harus bayar klaim biaya kesehatan. Eh, sebentar, meeting tadi lead-nya siapa? Kamu?"

Sekali lagi aku menggeleng, dan dia mulai mengoceh lagi. "Syukurlah bukan kamu, Mas, yang memimpin meeting dan dengan teganya tidak menyediakan makan malam untuk para pesertanya. Pokoknya kamu harus jadi orang baik hati ya. Kalau kantor tidak ada penggantian, kamu pakai uang sendiri saja. Pasti anak buahmu semakin loyal sama kamu kalau kamu perhatian ke mereka."

Aku mengangguk. Dia menatapku. "Kamu kenapa diam saja daritadi?" tanyanya.

Oh, sayang, bagaimana aku bisa menjawab. Reaksimu sungguh diluar dugaan. Aku sudah menyiapkan mental untuk menerima cacian khas wanita yang sebal disuruh menunggu selama itu. Belum selesai aku terpana, kamu bercerita seperti tanpa beban. Tidak ada protes karena aku menyuruhmu menunggu. Tidak ada protes karena terpaksa harus makan sendiri. Kamu bahkan menasehatiku mengenai bagaimana cara memperlakukan karyawan yang baik. Apakah kamu memang sebaik itu, Putri?

"Mas, hello, Earth to Mars! Kamu capek ya? Kok diam sih?" serunya sambil menggoyangkan telapak tangan di depan mukaku. Ah, jadi tadi ternyata aku berbicara dengan diriku sendiri.

"Oh, nggak apa-apa kok. Ehm, kamu gak marah menunggu sejam, sampai harus makan sendiri?" tanyaku.

"Kenapa harus marah? Namanya juga orang kerja, kadang ada situasi mendadak yang susah dihindari. Anggap saja tadi kamu juga begitu." Ah, jawaban cerdas. Jadi, begini rasanya punya kekasih yang mungkin seimbang level kecerdasan dan sama-sama sudah punya posisi. Bisa saling pengertian ternyata menyenangkan.

Tiba-tiba aku ingin sekali memeluknya. Sayang, aku memilih duduk di depannya, jadi sulit untuk kulakukan. Akhirnya kugenggam kedua tangannya erat, "I like you. Yes, I think I'm going to like you, Putri."

Tidak kuduga dia menarik tangannya kencang. Ekspresinya mengeras. "Putri itu siapa? Mantan kamu ada yang namanya Putri? Masih belum bisa move on ya, Mas? Sekali kamu silap panggil aku Putri, aku masih tidak peduli. Tapi ini berkali-kali. Kalau kamu belum bisa move on dan tidak berniat menjalin hubungan baru, sebaiknya kita sudahi saja sampai sini proses PDKT ini." Lalu aku hanya bisa tertegun mendengar segala tuduhannya.

Menit berikutnya, aku tergelak. Reaksinya selalu membuatku terkejut. Tidak terduga. Kalau begini, aku pasti tidak akan pernah bosan. Tuhan, aku jatuh cinta. Kumohon jodohkan kami, Tuhan. Aku masih berusaha menghentikan tawaku, ketika kulihat dia sepertinya benar-benar tersinggung. Sinar matanya menggelap. Ini serius. Aku harus secepatnya meluruskan sebelum dia salah paham lebih jauh.

"Aku tidak pernah punya mantan bernama Putri. Setahun terakhir aku memang tidak punya pacar, bukan karena tidak bisa move on, tetapi karena belum bertemu seseorang yang menarik sepertimu. Putri? Itu panggilan tanda sayangku untukmu. Atau kamu mau dipanggil yang lain? Honey, baby, sweety, ayang, bebeb? Tapi, itu semua terlalu mainstream bukan? Aku lebih senang anti-mainstream, Putri."

Dara termenung. Mencerna. "Kenapa Putri?" tanyanya.

Aku tersenyum lagi, "Karena kamu si putri marah. Kamu mudah sekali marah."

"Hmm..maaf," ujarnya lirih. Detik itu juga, aku berdiri, memutari meja dan duduk tepat di sampingnya, memeluknya dari samping. Pelukan pertamaku dengannya, dan aku merasa nyaman.

***

30 Hari PDKTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang