Suasana bersahaja mengiringi acara makan malam yang sunyi. Nyaringnya bunyi sendok beradu dengan piring keramik, saling bersahutan. Ajeng dan Cahyani menikmati santap mereka tanpa adanya topik rumit yang menjadi perbincangan.
"Ajeng, habis makan malam Ibu pamit pulang, ya." Cahyani memberitahukan niatnya, "Kasihan ayahmu, dia kesepian karena tidak ada teman cerita. Sebulan Ibu temani kamu dan ini waktu terlama Ibu meninggalkan rumah. Ada Mumu 'kan? Keadaanmu pun baik-baik aja sekarang. Jadi, Ibu pikir tak ada lagi masalah yang mengharuskan Ibu bertahan di sini." Cahyani menuturkan hati-hati usai menghentikan sekejap suapan nasinya.
"Kenapa enggak besok pagi aja, Bu? Nanti minta antar sama si Budi, supir di kantornya Mas Abim. Angin malam enggak baik untuk orang tua. Kalau Ibu jatuh sakit, bagaimana?"
"Sebentar lagi Seto juga nyampe. Ayahmu terus menghubungi Ibu. Dia merengek supaya Ibu mau cepat-cepat pulang. Kami udah berumur, Ajeng. Kalau yang satu pergi entah ke mana, pasti yang satunya merasa sunyi. Nanti kamu dan menantu juga akan mengalami hal serupa," tanggap Cahyani, memperkuat alasan agar putrinya itu tidak berupaya menahan dia.
"Kapan Ibu menelepon Seto?"
"Tadi sore. Pas ayahmu telepon, Ibu sekalian menitipkan pesan agar Seto disuruh ke sini buat menjemput Ibu."
Ajeng menyudahi makannya, kemudian meneguk perlahan segelas air mineral. Dia mengamati wajah Cahyani yang mulai menua, namun masih terlihat cantik di matanya. "Ajeng sedih karena Ibu pulangnya terburu-buru. Padahal Ajeng kepingin bisa pergi jalan-jalan bareng Ibu, berdua aja."
"Masih banyak waktu, Nak. Lain hari Ibu datang dan menginap di sini lagi, mungkin sekalian bareng ayahmu," jawab Cahyani lugas. Dia sendiri pun tidak tega menatap gurat kecewa di wajah Ajeng.
"Itu rencana yang bagus, Ibu janji 'kan? Mas Abim pasti senang banget kalau ayah dan Ibu menginap di sini. Dia selalu bilang ke Ajeng untuk membujuk ayah dan Ibu agar mau tinggal bersama kami. Supaya suasana di rumah ini lebih ramai. Ibu Mertua enggak bisa bebas ke mana-mana, bisnis mereka di Kuala Lumpur sedang berkembang. Enggak memungkinan bagi mereka berkunjung dalam waktu dekat, apalagi menginap. Padahal Mas Abim sangat mengidamkan kehadiran orang tua di rumah, Bu. Mas Abim maunya rumah ini dipenuhi doa-doa orang tua."
Begitu mereka beranjak, Mumu datang dan mulai membereskan meja. Gadis ini bergerak hati-hati juga rapi. Dia mengangkat peralatan makan yang kotor untuk dipindahkan ke wastafel, kemudian mengelap dan menyemprot meja dengan cairan pembersih.
"Rumah kalian sangat besar, makanya terasa sepi. Apa lagi kalian hanya berdua. Semoga cucu Ibu lahir dalam keadaan sehat." Cahyani memperhatikan dan mengusap-usap perut Ajeng. Si empu sekadar menunduk seiring senyum simpul terukir di sudut bibirnya. "Keberadaan anak-anak juga menambah kegembiraan dan melengkapi kehidupan berumah tangga," timpal Cahyani lagi. "Sepertinya Seto udah sampai." Cahyani membuka ponsel saat merasakan getar dari benda persegi tersebut. "Nah, bener tebakan Ibu. Ini dari Seto, dia sudah di depan gerbang. Jaga diri juga calon cucu Ibu ya, Nak." Pesan Cahyani seraya dia memeluk putrinya tersebut. Sejemang keduanya bergandengan menuju pintu depan.
"Sampaikan salam Ajeng ke ayah ya, Bu. Bilang anaknya yang manis ini kangen berat." Sementara, Cahyani yang sedang masuk ke mobil tak ayal mesem-mesem usai mendengar rengekan putrinya.
"Sebentar lagi kamu juga jadi ibu, loh. Masih aja manja ke ayah--buruan masuk, jangan lama-lama di luar!" Mereka hanya terus berbagi senyuman hingga mobil yang dinaiki Cahyani perlahan-lahan mulai melaju meninggalkan kediaman menantunya.
-----
Jam menunjukkan hampir pukul sembilan malam. Ditemani stoples biskuit vanila dan sebuah majalah resep, Ajeng melewatkan sisa malamnya untuk mempelajari resep kue baru. Hawa dingin mulai menggigit. Namun, kardigan panjang berbahan rajut yang dia kenakan dapat memberi sedikit kehangatan pada tubuhnya. Ajeng menyesap tenang segelas susu hangat khusus ibu hamil. Berikutnya dia menggulung rambutnya ke atas; menaikkan kaki-kakinya pula ke meja sebelum turut menyandarkan punggung ke lengan sofa.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dek Ajeng & Mas Abim
RomanceAjeng yang manja berpikir suaminya selalu memenuhi segala permintaan dia. Abimana punya banyak cinta untuk diberikan kepada istri tersayangnya ini tanpa tega menolak. Telanjur terlena justru menjerumuskan Ajeng ke dalam masalah besar dan genting. Di...