Langit yang semula tertutup kabut kelabu, perlahan mulai merona dengan kehangatan sinar matahari yang malu-malu muncul dari balik awan. Seakan ikut merasakan apa yang dirasakan Ryan, cahaya itu datang dengan hati-hati, menerangi setiap sudut yang sempat tersembunyi.
Setelah seharian penuh berpikir, akhirnya Ryan menemukan jawabannya. Sebuah keputusan yang begitu berat untuk dibuat, tetapi ia tahu, tak ada jalan lain. Di atas ranjang yang terasa begitu sunyi, ia menatap langit-langit kamar yang kosong.
Mungkin, setelah ini, kebahagiaannya akan datang, atau mungkin hanya ada kelegaan yang sementara. Namun, yang pasti, semua ini harus dilakukan.
Dengan langkah yang agak ragu, Ryan bangkit dari ranjang dan menuju ke kamar mandi. Setelah selesai ia langsung turun ke bawah, suara langkah kakinya teredam di lantai, tak seceria biasanya.
Di meja makan, kedua adiknya sudah duduk dengan ceria, sementara ayah dan bundanya sibuk mempersiapkan sarapan. Ryan hanya mengambil dua potong roti dan segera melangkah keluar rumah.
Suara motor yang terdengar keras menembus sunyi pagi itu seakan mengingatkan dirinya pada keputusan yang sudah dibuat. Ia melaju, meninggalkan rumah dengan cepat, tanpa ucapan selamat tinggal seperti biasanya.
Orangtuanya hanya terdiam memandang kepergiannya, tak mengerti apa yang sedang terjadi pada anak sulung mereka yang selama ini tak pernah meninggalkan rumah tanpa meminta izin.
Sesampainya di depan rumah Risa, Ryan berhenti. Pak Tejo, yang sudah berdiri di luar, menyapa dengan hangat. “Ehh, den Ryan, pagi-pagi udah datang aja,” katanya dengan suara yang akrab. Ryan hanya membalas dengan senyuman tipis, mencoba menutupi kegelisahannya.
“Silahkan masuk, den,” Pak Tejo melangkah mundur, memberi ruang untuk Ryan masuk ke halaman rumah. Dengan perlahan, Ryan menyalakan kembali motornya dan memasuki halaman rumah Risa.
Ia menuju pintu depan, berniat untuk menekan bel, namun belum sempat ia menyentuh tombol bel, pintu itu terbuka dan Risa muncul dari dalam. Pandangan mata mereka bertemu, seakan waktu berhenti sejenak.
Ryan menatap mata Risa dalam-dalam, namun segera mengalihkan pandangan, mencoba menghindari perasaan yang mulai membuncah di dadanya.
“Ayo berangkat sekarang aja, nanti mampir bentar ke taman,” kata Ryan dengan nada yang sedikit terburu-buru.
“Ngapain pagi-pagi kesana?” Risa menjawab dengan nada penuh tanya.
“Udah kamu ikut aku aja,” jawab Ryan dengan suara yang sedikit memaksa.
Begitu tiba di taman yang sepi, Ryan berjalan mendekati bangku taman. Dengan sedikit ragu, ia menarik tangan Risa untuk duduk bersamanya.
Dalam keheningan yang aneh, Ryan menarik napas panjang, lalu mengucapkan kalimat yang sudah dipersiapkannya. “Hubungan kita sampai sini aja ya.”
Seperti petir yang menyambar, Risa terdiam. Sebuah perasaan hampa yang sulit dijelaskan menyelimuti hatinya.
Ryan melanjutkan dengan suara rendah, “Aku lagi banyak masalah, jadi aku mau hilangin masalah itu satu per satu, aku harap kamu ngerti.” Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk dalam-dalam.
Risa menahan napas, mencoba mencerna apa yang baru saja ia dengar. Dalam hati, ia tahu, kehadirannya justru menjadi beban dalam hidup Ryan.
Risa mencoba menahan tangis, mengalirkan perasaan yang terpendam. Selama ini, ia selalu berusaha untuk melihat sisi baik dari segala hal, namun kini ia merasa kebahagiaannya memang tak bisa dipaksakan.
Beberapa hari terakhir, Ryan memang berubah, bukan karena kesibukan, tapi karena sesuatu yang lebih dalam. Perlahan, Risa menghembuskan napas panjang dan tersenyum, meskipun hatinya terasa begitu sakit.

KAMU SEDANG MEMBACA
Half-Loved
Teen Fiction"Gue cuma mau Risa sedikit aja mirip sama dia. Emang salah?" "Gue udah berusaha, tapi malah perasaan gue ke Risa yang hilang." "Gue cuma pengen lo tahu, lo layak dicintai sepenuhnya." ~~~~~ Risa Azkia Bimantara, gadis dengan rambut hitam legam seper...