HEAVEN

6 3 0
                                    

'Kai?'

Mimpi ini lagi ...

'Kamu masih disini?'

Aku mengalihkan pandangan pada tangan kami yang tertaut

Lalu wajahnya

'Kai?'

"Kai?!"

Aku tersentak dari tempat tidur, urat-urat di sekujur tubuhku terasa tegang tanpa sebab. Aku setengah terduduk. Tepatnya masih berusaha mengumpulkan seluruh kesadaran. Jantungku berdegup kencang, hingga rasanya sulit untuk menangkap nafasku sendiri.

"KAIII?!!"

Suara ini

Melompat dari kasur.

Sempoyongan.

Aku berusaha berdiri tegak. Sejujurnya kepalaku masih berdengung entah karena mimpi yang terasa sangat nyata itu atau sesuatu yang lain. Seakan-akan baru saja terbentur sesuatu. Mencoba mengabaikan rasa aneh di kepalaku.

Membuka paksa pintu kamar, setengah berlari menuju dapur, menuruni tangga, hampir saja terpleset jika aku tidak berpegangan erat pada sisi tangga.

Dan―dia―ada disana.

Dengan apron biru motif laut yang selalu dia pakai.

Pemandangan ini

Jendela dapur terbuka lebar saat aku sampai di sana. Tirai tersibak karena angin dengan bebas masuk lewat jendela lebar itu. Aku bisa mendengar dengan jelas desiran ombak dari luar rumah.

Ini rumahku!

Tubuhku kaku, tidak bisa mengalihkan retinaku darinya. Waktu terasa berhenti. Sosok itu ada disana! Berdiri tanpa kurang satu pun. Kupandangi wajahnya yang masih saja sama, semburat merah muda di pipi mochinya, bahkan baju yang dia kenakan sekarang.

Helai poninya tertiup angin, dia memandangku dengan mata hazel yang sangat kurindukan.

Dia disini!

Aku berlari menyongsong tubuh yang memang lebih kecil dariku itu. memeluknya erat. Perasaan sesak sekaligus lega memenuhi rongga dadaku. Aku merindukannya.

"Rin." mengecupi puncak kepala Rin sayang, aroma kayu manis menyeruak, aroma ini. Ini benar-benar Rin!

Mengeratkan pelukan seakan tidak ingin apapun memisahkan kami lagi.

PLETAKK!

"Aww!"

Itu suara kepalaku yang dipukul keras dengan sendok. Siapa lagi pelakunya jika bukan perempuan di dekapanku ini. Rin, dia istriku.

"Pagi-pagi bangun bukannya langsung cuci muka, bantuin aku, eh malah main nyosor peluk ga jelas." Dia berusaha melepaskan diri dari pelukanku.

"Kamu itu mimpi ap―" melonggarkan pelukan kami hanya untuk bersitatap sebentar. "Kamu sakit, Kai?!" Khawatir saat wajahku terlihat sangat merah, menahan tangis.

Aku menangis hebat ketika Rin menyentuh pipiku, tidak pernah sebelumnya begini. Tapi aku benar-benar lega Rin disini. Aku lega dia bersamaku.

"eh? Kamu kenapa Kai?" nada suara Rin menjadi semakin khawatir.

Aku kembali memeluknya lebih erat. Kali ini Rin tidak berontak, dia membiarkan aku menempel bak prangko.

"Jangan pergi lagi!" bergumam pelan, mungkin hanya aku yang mendengarnya.

Karena seingatku, dia―dia seharusnya tidak disini. Harusnya aku sekarang sedang menghadiri pemakaman Rin. Seharusnya rumah ini juga tidak ada lagi karena aku baru saja membakarnya beberapa hari lalu karena frustasi sepeninggal Rin.

WAVES ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang