Bincang-bincang manis Pasutri

342 44 5
                                        

•• ༻❁༺ ••

Pagi cerah sedang menyapa dengan kilau cahaya mentari dibarengi merdunya kicau burung-burung kecil di atas ranting pepohonan. Hunian mewah seperti kediaman Abimana Abrisam adalah idaman setiap pasangan menikah. Bagian konsep dari desain ruangan di dalam gedung beserta halaman sekitarnya ditata dengan pemikiran bernilai artistik alam.

Ajeng menyingkap tirai biru tunggal yang menutupi jendela luas di kamar mereka; menggeser kacanya agar dia dapat menghirup segar dan bersihnya udara pagi. Kedua lengan direnggangkan demi melemaskan otot-otot yang kaku akibat berbaring semalaman.

Serta merta Ajeng terkesiap ketika sepasang tangan kokoh membungkus pinggangnya erat dari belakang. Dia menoleh hanya untuk menemukan seringai tipis yang sayangnya begitu menggoda dipandang.

"Mas, Adek kaget tau! Kayak enggak ada jejak kakinya."

"Adek ketinggalan, sih. Mas bisa merayap juga sekarang. Kadang merayap, kadang melayang, terserah Adek senangnya yang mana."

"Dasar!" seru Ajeng dini kepalan tangannya meninju main-main ke dada Abimana. "Adek benaran enggak dengar langkah Mas sedikitpun, makanya heran."

"Atau telinga Adek yang bermasalah? Sini, Mas bersihin!"

"Bercanda melulu, ih. Adek serius, Adek pikir Mas masih tidur."

"Itu akibat Adek keseringan melamun. Dikurangi, ya. Harusnya pagi-pagi itu dibawa rileks. Tidurnya udah cukup berkualitas, masa jadi percuma gara-gara kegabutan. Enggak sehat banget buat Adek. Seharian nanti suasana hati Adek pasti buruk. Biasakan untuk menyerap energi positif, iya? Mas enggak mau istrinya Mas suntuk atau boring cuma karena memikirkan hal-hal yang enggak jelas."

"Mas ... " Itu sepenggal erangan bertepatan Abimana menjilati ceruk leher Ajeng tiba-tiba. "Mas harus pergi bekerja."

"Hanya sebentar, sayang."

"Tapi, Mas ... eungh ... enggak di situ juga, geli."

Selagi kecupan demi kecupan turun di sepanjang leher dan wajah istrinya, Abimana menggiring perlahan-lahan tubuh mereka menuju kepala sofa untuk mendudukkan Ajeng di situ. Abimana sengaja menyiapkan letak yang pas. Kenyamanan dalam melakukan seks tentu merupakan syarat untuk menuai esensi serupa tinggi hasrat di waktu fajar demikian. Terlebih dengan kondisi istrinya yang sedang hamil.

"Daripada termenung, seperti ini cara Mas buat menyuplai energi. Adek tau 'kan, tugas-tugas di kantor kayak apa rumitnya. Belum lagi menampung perdebatan dari si A si B. Jadi, sayang--biarin suami kamu ini mendapatkan nutrisi utamanya."

Entah kenapa ocehan itu justru mengerjai kinerja di jantung Ajeng, dia berdebar-debar dan itu karena raut minim nan serius yang tengah dia rekam impresinya. Dia hanya belum menyadari betapa mudah dia terjerat ke dalam perangkap si penyebar pesona. Padahal sejak tadi pria penggoda ini secara halus menyiapkan rencananya dengan sangat baik.

"Ahh, Mas--" Abimana masuk tanpa aba-aba melalui tindakan lembut yang mengelabui. Gelenyar asing datang meneriaki getaran yang merayap ke sekujur urat-urat nadi. Gerah, cabul dan basah, namun mereka serempak menggilai dampaknya.

"Fokus sama Mas, sayang. Pikirin soal Mas aja untuk saat ini." Kepala Ajeng terdorong ke belakang, menelan segala curahan euforia. Pinggulnya ditarik ke depan pelan-pelan, menambah gesekan di antara panas kulit. Abimana mendorong kian dalam, menyentak lebih lembut serta hati-hati. Dia ingin seks singkat ini berkesan sebagaimana dirinya yang memang selalu menyiasati setiap penyatuan mereka berujung istimewa.

"Oh, astaga ... Mas!" Ajeng memejam seiring senyuman pasrah pertanda dia telah menyerahkan diri sepenuhnya. "I-ini menyenangkan, Mas. Aahh, iya--"

Lihat bagaimana begitu mudahnya Abimana menundukkan si telaga nafsu. Wajah tak berdaya istrinya cukup sekali melegakan keseluruhan dahaga. Bibir ranum dijemput, dilumat serta iringan gigitan-gigitan kecil. "Adek suka, sayang?!"

-----

Sepertinya keputusan Abimana untuk merenggangkan jarak terhadap istrinya dalam satu waktu tertentu terbukti menimbulkan dampak yang positif. Ajeng berubah clingy, selalu ingin dekat-dekat dengannya. Tentu Abimana menerima dengan sangat terbuka sikap istrinya ini, bahkan keduanya bertambah mesra dan intim. Mereka tak jarang memanfaatkan luang-luang yang ada untuk bercinta maupun sekadar cuddling.

"Mas pergi dulu, ya."

"Tapi, Mas baru nyampe Loh, masa udah harus ngantor lagi? Mas di rumah aja, temenin Adek." Ajeng cemberut di hadapan Abimana yang sedang mengenakan dasinya.

"Enggak bisa, sayang. Mas perlu cek laporan yang udah dibuat Dimas. Enggak enak kalau Mas absen, soalnya kemarin Mas minta dia supaya buru-buru nyiapin berkasnya."

"Setengah hari deh," kukuh menyahut juga. 'Keras kepala' seolah mendarah daging pada diri Ajeng.

"Dek, Mas bakal pulang awal. Mas coba untuk menyelesaikan semuanya dengan cepat. Ya, sayang?"

"Beneran enggak banget ini? Mas enggak mau tinggal aja di rumah bareng Adek?" Ajeng memelas,  meski dia tahu akan percuma. Abimana selalu menurutinya, namun masih tetap pada situasi yang tepat. Dia pandai mengelola keadaan mana dan apa yang terpaksa didahulukan, dan tidak melupakan hak serta kedudukan Ajeng sebagai istrinya.

"Nanti, sayang."

"Sedih banget sih jadi Adek. Habis dianu-anuin malah dicuekin." Ajeng berdecak seraya bersungut-sungut untuk duduk ke pinggir ranjang."

"Astaghfirullah, Adek. Mas jadi berat mau perginya ini."

"Pergi aja, Adek udah enggak apa-apa kok." Sembari menghampiri istrinya, Abimana mengerang rendah. Dia duduk si sebelah istrinya, kemudian berkata, "Adek mau dibawain apa, entar di perjalanan pulang Mas singgahkan."

"Enggak usahlah, Adek enggak lagi ngidam."

"Ya mana tau tiba-tiba pengen makan kebab Turki, atau martabak terang bulang." Ajeng menggeleng-geleng saat Abimana menyebutkan list makanan favorit dia. "Sushi?"

"Enggak."

"Bebek goreng."

"Males."

"Pizza?"

"Bosen."

"Ketoprak?"

"Ketoprak enaknya dimakan pagi, Mas. Apaan, sih?! Mas jangan mengada-ada dong."

"Ya udah, pisang bakar yang lagi viral itu mau enggak? Anak-anak di kantor pada fomo jajan pisang bakar. Tapi, ini pisang bakarnya bukan pisang bakar biasa, dek. Beneran mantul alias mantap betul." Ucapan sekian mengundang atensi Ajeng, sejak kapan kosa kata Abimana jadi norak begini.

"Mantul?!"

"Iya. Mas aja ketagihan. Pertama cuma icip-icip, ditawari sama anak-anak. Pas dimakan, kok legit, ya. Terus, Mas mau pesan lagi enggak sempat-sempat."

"Pisang bakar?"

"Iya, pisang dibakar."

"Itu dibakarnya gimana? Kayak yang di abang-abang burger, ya?"

"Loh?! Bukan, sayang."

"Ini dibakar beneran kayak sate sampe sisi-sisinya itu berkaramel, Dek. Dikasih toping kelapa parut, susu kental manis sama gula aren--Mas jadi ngiler, nih."

"Ya udah, Adek mau. Topingnya cuma itu aja?"

"Setau Mas hanya itu. Nanti Mas tanya Dimas di kantor, apa topingnya bervariasi atau enggak. Deal Adek mau 'kan ini?"

"Iya, deal! Mau enggak mau 'kan? Adek ngotot pun enggak bikin Mas bersedia tinggal di rumah."

"Misal Mas enggak disiplin, takutnya malah jadi bahan perhatian anak-anak di kantor. Apa kata orang kalau Direktur PT. Sabina hanyalah seorang laki-laki yang lamban. Adek rela suami Adek ini diragukan dedikasinya sebagai pemimpin perusahaan?"

"Ya enggak maulah. Sembarangan aja orang-orang. Suami Adek kompeten banget kok sebagai pimpinan. Mas sering lembur, telat makan gara-gara kejar projek, tidur enggak nyenyak karena kepikiran pekerjaan. Kurang dedikasi apalagi coba?!" Nada tegas terucap dari bibir Ajeng; menyangkal dugaan suaminya semula.

"Adek paham 'kan, sayang?!" Lalu, Abimana pun bisa berangkat ke kantor dengan perasaan lapang setelah berhasil meyakinkan istrinya.

Dek Ajeng & Mas AbimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang