Bagian 19

192 28 5
                                    

Di momen lainnya, Taehyung sudah berdiri di depan gedung minimarket tempat dulu ia bekerja.

Pukul satu malam, minimarket tampak lengang. Udara dingin menerpa-nerpa, seakan-akan mengusir Taehyung dari sana dan menyuruhnya pulang. Tapi, alih-alih pulang, Taehyung memilih berdiri kaku di sana. Netra hazel-nya tidak sekali pun teralih dari bangunan tersebut.

Semua masih terlihat sama. Bangunannya, suasananya, kursi-kursi di luar, bahkan sampai para pekerjanya — semua sama. Dan, ia, masih sama membencinya.

Sejauh mata tajamnya memandang, ia bisa menangkap seorang pegawai di kasir minimarket. Itu Jung Jae — senior sialan yang memperlakukannya bak tahi hanya karena ia anak buronan. Laki-laki itu pun masih sama, dan, kadar kebenciannya kepada Jung Jae semakin naik.

Mengingat hari-harinya bak neraka bersama mereka yang semena-mena. Dahulu ia masih hidup sebagai Kim Taehyung — Kim Taehyung yang lemah, yang pendiam, yang jadi bahan empuk pembulian. Tapi, sekarang, ia hidup sebagai Oh Taesung — Oh Taesung yang kuat, yang pikirannya hanya terfokus pada balas dendam, yang tidak ragu untuk memukul seseorang dengan kepalan tangannya yang kini lebih keras.

Dan, mungkin, ini adalah saatnya ia untuk melakukan sedikit balas dendam.

Jung Jae tampak sendiri. Entah di mana rekanan pegawai lainnya, ia pun tidak peduli. Taehyung mematri langkahnya untuk masuk ke dalam minimarket. Ia mendorong pintu, kaki kanannya lebih dulu maju.

"Selamat datang, silakan berbelanja."

Rasa-rasanya Taehyung ingin terbahak mendengar nada suara ramah dan senyuman laki-laki itu. Suaranya masih sama, disaat-saat Jung Jae mengolok- oloknya dengan sebutan pelacur, anak preman, dan lain-lainnya. Memori itu masih tersimpan jelas di setiap aliran darahnya.

Taehyung tak acuh. Ia berjalan menyusuri rak-rak barang, kemudian berhenti di deretan mi instan. Ia berdiri lama di sana, mengamati suasana untuk mendapatkan momen yang pas berhadapan dengan Jung Jae.

Minimarket masih lengang. Ini jam satu pagi, dan, musim dingin nyaris tiba. Tentu saja orang-orang lebih memilik menggulung diri di selimut tebal daripada berkeliaran. Hanya ada ia dan Jung Jae di dalam ruangan.

Taehyung kemudian mengambil satu cup mi instan asal. Kembali melangkah menuju kasir dan menaruh mi tersebut di meja. Dari balik topinya, ia melihat Jung Jae takzim men-scane mi instannya. Laki-laki itu tidak mengenalnya.

"Dua ribu won —"

Maka, Taehyung membuka topi dan maskernya. Tepat di hadapan Jung Jae, dan, momen yang pas saat pria itu mendongak bermaksud menyebut nominal. Jung Jae terpaku, tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Taehyung mengamati ekspresi pria ini; bagaimana mulutnya terbuka, matanya membola, dan hidungnya kembang kempis.

"Senior Jung ...," Taehyung menyeringai, "... bisa kita bicara sebentar?"

•••

Terjadi sedikit kericuhan tatkala Taehyung baru menginjakkan kaki kirinya masuk ke dalam ruang divisi.

Ia sempat berhenti di muka pintu. Berdiri canggung, apalagi melihat mimik muka Park Jimin yang sepagi ini sudah frustasi. Kim Seokjin berdiri sembari bersedekap dada, sementara Jeon Jungkook duduk di meja tempat Oh Taesung bekerja, dan Kim Jisoo merapat pada Park Jimin.

Mereka mengela napas satu sama lain. Bersahutan. Tampak sedang menimang beban berat di pundak.

"Oh, detektif Oh!"

Kim Jisoo lebih dulu sadar akan keberadaannya. Perempuan itu mengulas senyum sapa, melambai tangan ramah, dan kemudian, turut menepuk pundak Park Jimin. Ia membalas sapaan itu sekilas dan berjalan mendekat. Berdiri tepat di samping Jeon Jungkook.

The TruthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang