Hunting street food bareng kesayangan

332 50 8
                                        

•• ༻❁༺ ••

Setibanya di festival, Ajeng langsung berencana ingin membeli es buah. Walau sedang musim penghujan, siang hari di Ibu Kota masih tetap terasa panas. "Mas mau rasa apa?"

"Buat Mas jus semangka aja."

"Ibu, saya jus semangkanya satu, es buahnya satu."

"Sebentar, ya." Si ibu penjual menyahut ramah. Tidak kehilangan daya untuk tersenyum di tengah kerumunan pembeli. Untungnya mereka mau mengantre dengan sabar, tidak akan memakan waktu lama saat si ibu penjual dan tiga orang rekannya tampak cekatan memenuhi segala macam pesanan pengunjung. "Mbaknya cantik, mirip artis Korea."

"Aduh, si ibu bisa aja. Saya jadi malu." Ajeng hampir cengengesan di sana andai tak menyadari sekelilingnya benar-benar ramai.

"Saya suka menonton drama Korea. Ceritanya bagus-bagus, pemainnya juga cakep-cakep." Tangan si ibu bekerja di sela dia mengajak Ajeng mengobrol ringan. "Tapi, mbak ini asli mana?"

"Saya lahir di Surabaya, Bu. Tapi, udah cukup lama menetap di Jakarta."

"Wah, pangling sekali wajahnya. Saya pikir ada keturunan campuran."

"Bu, masyarakat kita juga cakep-cakep, loh. Kita diakui sama orang-orang dari negara asing, Bu."

"Walah, beneran begitu? Saya kurang memperhatikan--ini, esnya."

"Berapa, Bu?"

"Dua puluh ribu."

"Mas, duitnya," kata Ajeng sambil menengadahkan tangan di depan Abimana yang berdiri tepat di dekatnya.

"Adek pegang aja dompetnya," sahut Abimana seraya mengambil bungkusan es dari tangan istrinya.

"Makasih, semoga lahirnya lancar di hari persalinan." Ajeng kontan tersipu saat menangkap pernyataan si ibu penjual es. Dia sekadar mengangguk-angguk sebelum menarik pelan pergelangan suaminya.

"Kenapa sih, Dek?"

"Malu ih, Mas."

"Loh, si ibu 'kan benar omongannya. Perkataan dia baik, mendoakan Adek supaya melahirkan dengan selamat."

"Bukan itu masalahnya, Mas. Di situ orangnya rame, Adek risi dipelototi sama mereka."

"Itu karena Adek cantik. Dari kita datang mereka terus ngeliatin Adek. Bayangin kalau Adek seorang idola, Mas pasti tersingkir dengan cara yang paling konyol."

"Paling minim didorong sih, Mas. Terus Adek yang ditarik-tarik. Enggak mau, ah. Takut ada sama penggemar yang anarki." Ajeng bergidik seolah dia sungguhan bisa berada di posisi itu.

"Mas sarankan jangan terlalu serius. Baru perumpamaan, Adek udah segitu mendalami perannya. Adek enggak akan pernah jadi publik figur. Adek cuma boleh berprofesi sebagai istrinya Abimana, titik."

"Adek sarankan juga ya, Mas. Di muka umum begini jangan gombal ke Adek. Mas enggak lihat itu mata orang-orang ke Adek terus arahnya? Kok tiba-tiba mereka senyum? Masa iya baper cuma gara-gara rayuan receh? Adek sendiri geli, mereka kenapa malah cengar-cengir coba?" Genggamannya di lengan kokoh dipererat, melajukan langkah sekalian guna menghindari reaksi pengunjung yang bersisian dengan mereka. "Kayaknya kita harus buru-buru deh, Mas." Lirih sekali Ajeng ucapkan ke telinga suaminya. "Itu ada baso malang, kita ke situ aja," sambung Ajeng kemudian setelah menangkap presensi kios dari salah satu makanan kegemaran hampir setiap orang.

"Yakin makan baso? Di rumah tadi katanya enggak bakalan tergiur stand baso. Bukannya Adek mau libur dulu makan yang gurih-gurih? Takut badannya gendutan."

"Mas! Mas sengaja menghina Adek?!" Ajeng cemberut kesal. Namun, Abimana malah ingin sekali tertawa jika tidak memikirkan suasana hati istrinya terkadang naik turun dadakan. Dan cara membujuk Ajeng juga tidak segampang kedipan mata. "Adek mau baso malang! Tapi, belum dipesan Mas udah mengatai Adek gendut." Baru saja dipikirkan, si empu praktis berkaca-kaca sekarang. "Adek kepingin, Mas."

Dek Ajeng & Mas AbimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang