Bab 3 Lelakiku

21 0 0
                                    



Kamu adalah alasanku untuk bangkit dan melawan sakitnya kehilangan.

–Yasmin Azalea –

Yasmin menyusuri taman bunga yang berada di halaman belakang. Taman tersebut dipenuhi dengan berbagai jenis anggrek, yang membuat siapa pun betah berlama-lama di sana. Ditambah sebuah gazebo di tengahnya menjadi tempat favorit wanita itu untuk membaca novel sambil bersantai di atas tumpukan bantal-bantal yang empuk.

Wanita bermata bulat dengan kacamata minus yang bertengger cantik di hidungnya kini sudah bisa menata hati. Dia berusaha mengikhlaskan kepergian sang ibu dan terlihat lebih tenang. Aktivitas kesehariannya juga sudah dijalani dengan normal seminggu ini, perkuliahan yang hampir satu bulan ia tinggalkan sudah mulai diikuti kembali.

Tiba-tiba timbul keinginan untuk merawat taman bunga peninggalan ibunya. Ditemani seorang tukang kebun, Yasmin memangkas bunga mawar yang layu dan menyiram dengan air secukupnya. Matanya menelisik deretan bunga anggrek yang menempel di dinding.

Ada sekitar dua puluh lebih jenis anggrek di taman itu, semuanya adalah hasil koleksi sang ibu yang merupakan pencinta anggrek. Dari semua jenis anggrek yang ada, ia sangat menyukai yang berwarna ungu dengan kelopak bunga yang sangat cantik dan unik. Ibunya menyebut Anggrek Callus Vanda.

Kegiatan Yasmin terhenti ketika seorang asisten rumah tangga yang biasa dipanggil Mbok Sum datang tergopoh-gopoh dengan wajah yang menegang.

"Non, Bapak, Non!" teriak Mbok Sum cemas dari jarak yang cukup jauh dari tempat Yasmin berada.

"Kenapa, Mbok?" tanya Yasmin penasaran, karena tidak cukup jelas mendengar panggilan Mbok Sum.

"Tadi Mas Boby telepon. Katanya Bapak masuk rumah sakit," jelas Mbok Sum dengan napas tersengal-sengal.

Yasmin yang mendengar kabar tersebut langsung melempar gembor yang sedang digunakan untuk menyiram tanaman. Wanita itu bergegas lari ke dalam rumah.

Mbok Sum yang melihat anak majikannya panik segera menyusul di belakang. Yasmin menjadi sangat panik saat mendengar hal buruk yang menimpa satu-satunya anggota keluarga yang ia miliki.

Tujuan Yasmin kini hanya bertemu ayahnya yang tiga hari lalu masih baik-baik saja, saat berpamitan pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Wanita itu hanya memakai celana jin dan kaus pendek berbalut kardigan.

Yasmin berhenti sejenak di depan gedung rumah sakit. Ada ketakutan yang tiba-tiba menghampiri saat berdiri di hadapan gedung yang penuh orang sakit. Dahulu ibunya di sana mengembuskan napas terakhir dan dia hanya mampu meneriakkan nama sang ibu di lorong rumah sakit seperti orang gila.

Peristiwa yang telah berlalu berminggu-minggu itu tiba-tiba kembali berputar dengan jelas di otak. Air mata yang ia tahan akhirnya lolos membasahi pipi merah tanpa make up yang belakangan tampak lebih tirus. Yasmin menguatkan langkah untuk menemui laki-laki yang menjadi alasan untuk bangkit dan melawan sakitnya kehilangan.

Berjalan menaiki sebuah lift dan menyusuri lorong-lorong panjang rumah sakit bertaraf internasional itu, Yasmin merasa seperti sebuah deja vu yang datang pada mimpi panjangnya. Akan tetapi, itu bukan deja vu seperti perkiraannya. Perjalanan di rumah sakit itu nyata, hanya yang ia temui yang berbeda.

Sebelum membuka pintu ruangan VIP tempat ayahnya dirawat, Yasmin menghapus air mata yang sesekali masih keluar dari ujung mata. Ia mengintip dari kaca kecil yang ada di pintu, seorang asisten pribadi ayahnya yang tadi mengabari berdiri di samping ranjang pasien.

Yasmin menatap dengan tatapan rindu juga cemas pada pria yang kini terbaring dengan mata terpejam. Rambut pria itu mulai memutih dengan beberapa kerutan menghiasi wajah. Meski begitu, gurat ketampanan masih terlihat jelas. Ya, ayahnya memang pria idaman para wanita pada masanya.

"Ayah kenapa, Mas?" tanya Yasmin lirih pada asisten pribadi sang ayah ketika tiba di dalam ruangan. Dia takut akan membangunkan ayahnya. Pandangan mata dari bola mata yang bulat itu tidak sedikit pun lepas dari pria tua yang tertidur dengan napas teratur.

"Kata dokter, Bapak kelelahan. Selama di Solo, bapak terus bekerja dan kurang istirahat. Beliau ingin menyelesaikan pekerjaan secepat mungkin, karena ingin pulang dan menemani Mbak Yasmin," jelas pria yang berusia tiga puluh tahun itu dengan wajah tenang.

Yasmin mengembuskan napas pelan. Ada sebuah penyesalan yang menyelinap ke dalam hatinya. Dia sempat merengek tidak ingin ditinggal pergi saat CEO perusahaan transportasi itu berpamitan. Sejujurnya Yasmin takut jika harus berjauhan dari sang ayah. Meski di rumah ada beberapa asisten rumah tangga yang menemani, ia juga tak ingin jika ayahnya bekerja terlalu keras hanya untuk menuruti keinginannya.

Yasmin memandang Boby yang berpakaian rapi dan lengkap dengan jasnya duduk di ujung sofa sambil memainkan gawai.

"Mas Boby nggak pulang?" tanya Yasmin sambil duduk di sisi sofa lainnya.

"Nggak, Mbak. Saya di sini saja nungguin bapak." Boby tersenyum canggung pada putri atasannya itu.

"Pulang aja, Mas. Istirahat di rumah. Saya yang jagain ayah."

"Tapi, Mbak." Pria itu tetap keras kepala berada di sana.

"Udah pulang aja. Nanti kalau ada apa-apa, saya telepon Mas Boby." Yasmin menarik Boby untuk segera bangkit dan mendorongnya yang enggan meninggalkan ruangan itu.

"Tapi Mbak, saya disuruh Bapak jaga di sini." Boby menahan pintu yang akan ditutup Yasmin.

"Saya suruh pulang, ya pulang, Mas. Saya apa Mas Boby sih, anak Pak Bayu?" tanya Yasmin seraya memandang sinis.

"Mbak Yasmin," jawab Baby kikuk.

"Jelas, 'kan? Ya sudah, pulang sana." Yasmin menutup pintu dan membiarkan Boby menggerutu di luar.

Boby mendengkus kesal mendapat perlakuan seperti itu dari anak majikannya, tetapi di satu sisi ia bersyukur karena dapat mengistirahatkan tubuh yang lelah. Meski Yasmin sering bersikap sembrono padanya, tetapi ia tahu wanita beriris mata cokelat itu sangat baik dan pengertian.

"Apa-apaan Mas Boby bersikap begitu, padahal dikasih waktu buat istirahat, bukannya senang malah keras kepala. Protektif banget jadi asisten, kayak sama pacar, eh." Yasmin menutup mulut sembari tertawa pelan. Dilihatnya sang ayah masih tertidur pulas.

"Aman, ayah masih tidur." Yasmin membatin.

"Pacar siapa?" tanya pria yang masih memejamkan mata.

Yasmin yang hendak duduk terperanjat mendengar suara ayahnya tersebut. Dia menghampiri pria yang kini pura-pura tidur itu.

"Jadi, dari tadi Ayah nggak tidur?" tanya Yasmin melihat ayahnya sudah tersenyum lebar.

"Gimana mau tidur, kamu sama Boby tawuran di sini." Bayu tersenyum dan mengusap rambut anak perempuannya yang mendekat dengan tangan yang bebas dari selang infus.

"Siapa juga yang tawuran. Aku cuma nyuruh Mas Boby pulang. Kasihan kan dia di sini nungguin Ayah, padahal kemarin habis dari Solo juga."

Bayu senang melihat anaknya sudah kembali ceria seperti dulu. Netranya menatap lekat wanita yang membiarkan rambut hitamnya tergerai. Mata bulat itu sedikit sembab dengan hidung memerah.

"Yasmin habis nangis?" tanya Bayu penuh selidik.

Yasmin terdiam mendengar pertanyaan Bayu. Dia mungkin bisa menyembunyikan tangisnya, tetapi mata sembab dan hidung memerah efek dari menangis sulit untuk disembunyikan.

"Gimana Yasmin nggak nangis dengar Ayah sakit. Makanya kalau enggak mau lihat Yasmin nangis, Ayah jangan sakit," jawab Yasmin galak seraya berlalu menuju sofa panjang yang tidak jauh dari ranjang.

Seketika tawa Bayu pecah mendengar jawaban dari putrinya. Kali ini dia benar-benar yakin jika wanita yang sedang merajuk di ujung sofa sana adalah anaknya yang telah kembali ke sifat asli. Yasmin yang ceria, sembrono dan galak.

"Oke, Ayah nggak akan sakit lagi. Peluk dulu dong, Ayah kan kangen."

Yasmin melangkah mendekat ke tepi ranjang Bayu, lalu memeluk dan menenggelamkan wajah di dada bidang ayahnya. Rasa tenang menjalar ke seluruh tubuh Yasmin. Dia rindu pelukan dan wangi menenangkan dari laki-laki tersebut yang mencintainya setulus hati.

Cinta Muara Luka (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang