Burn

176 34 4
                                    

Seluruh tubuhnya nyeri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seluruh tubuhnya nyeri. Dari ujung kepala hingga ujung kaki terasa sangat hidup oleh luka. Namun, di sisi lain dia merasa mati. Dia tidak tahu apakah masih bernapas atau tidak. Dia tahu sebagian kulitnya terkelupas, dan itu yang membuatnya tersengat-sengat perih. Dia tidak bisa bergerak sama sekali.

Dia terbaring tak berdaya di antara reruntuhan bangunan yang hangus dimakan api. Pandangannya berkunang-kunang. Matanya kering, sakit oleh debu juga air matanya yang menguap. Kepalanya berdenyut tiap detik. Dia mengembuskan napas sesak yang berubah menjadi batuk.

Sesaat, dia merasa ajalnya semakin dekat.

Napasnya kembali terembus. Kali ini dia mencoba melalui mulut. Dan percobaan itu menyakiti tenggorokkannya. Kondisi ini membuatnya menitikan air mata. Untuk mengusap pipi pun dia tidak sanggup.

Dia akan mati di sini. Di rumahnya sendiri yang hangus dimakan si cahaya panas.

Kalau dipikir-pikir, dia sama sekali tidak menyangka hidupnya akan berakhir seperti ini. Dia hanyalah putri tunggal dari keluarga menengah. Orang tuanya bekerja sebagai pengacara. Mereka terbilang keluarga yang cukup harmonis. Hidupnya monoton. Normal. Tidak ada yang istimewa. Dia baru saja lulus. Kemarin-kemarin mereka baru berdiskusi universitas mana yang akan menjadi pilihannya. Sampai tragedi ini terjadi.

Dia telah kehilangan semuanya.

Rasanya dingin. Selalu dingin. Asap membumbung, menyebar pada udara terbuka. Suara letupan api kecil sayup-sayup terdengar dalam keheningan. Tidak ada sirine, tidak ada yang akan menolong dirinya dan keluarganya.

Dia sendirian. Matanya tertutup. Satu-satunya indera yang masih berfungsi adalah pendengarannya. Suara derak puing-puing yang masih diselimuti bara mengisi rungu. Kalau bukan karena itu, sunyi akan merajalela.

Anehnya dia menemukan ritme pada bunyi sekitarnya. Dan dia mengikuti irama tersebut dalam hati. Rasanya tenang kendati dia nyaris meregang nyawa.

Di antara ketukan irama, ada bunyi lain yang menginterupsi. Langkah kaki. Dia yakin itu adalah langkah kaki. Dengan sisa tenaga yang dipunya, dia berusaha membuka mata.

Seseorang berjongkok di depannya. Sosok itu menyingkirkan helai rambut yang menempel lengket di pipi. Kemudian dia mengerjap sekali. Dia tidak bisa melihat apa-apa.

"Sayang sekali kau menjadi korban."

Kupingnya berdenging, dia tidak bisa mendengar hal yang dikatakan sosok itu. Namun, dia bisa merasakan tubuhnya diangkat ke dalam dekapan. Kelopak matanya tertutup kembali. Kendati begitu, dia tetap sadar ketika sosok yang tak diketahuinya ini membawanya ke dalam mobil. Dia juga masih sadar kala dirinya dibawa ke rumah sakit. Dia kehilangan kesadarannya saat perawat menusuk jarum suntik ke kulitnya yang terbakar.

***

Ingatan terakhirnya adalah dia berada di rumah sakit. Dia berasumsi bahwa seseorang yang menolongnya adalah polisi atau pemadam kebakaran. Nyatanya, hal pertama kali yang dilihat saat matanya terbuka adalah langit-langit kamar pribadi. Bukan kamar serba putih.

Dia tahu tubuhnya masih ditopang mesin. Itu adalah pikiran terakhirnya sebelum jatuh dalam angan lagi.

Selama beberapa waktu yang tidak dapat dihitung, dia terus sadar dan tidur secara berkala. Orang yang merawatnya tidak pernah sama. Dia tidak mengenali wajah asing yang keluar masuk kamar. Termasuk seorang pemuda yang datang selepas perban di tubuhnya telah dilepas.

Pemuda itu bukan salah satu perawat. Dia tahu dari caranya masuk dengan langkah angkuh. Pula, setelan jas lengkap yang dipakainya. Rambut legamnya di sisir rapi seperti seorang pegawai kantor. Gaya pakaiannya mengingatkan dia pada ayahnya.

Lalu, si pemuda duduk di sisi kasur tempatnya berbaring.

Tanpa perkenalan maupun basa-basi, si pria mengeluarkan kotak cincin dari saku jas. Matanya tertuju pada dirinya.

"Aku memberimu dua pilihan." Begitu katanya seraya memutar kotak dalam genggamannya.

"Pilihan pertama, setelah sembuh total, kau akan bebas pergi ke mana saja. Tetapi kau tidak punya siapa-siapa. Kau tidak punya saudara. Tidak ada yang akan mengenalimu."

Dia tidak mengerti apa yang dibicarakan si pemuda. Namun, mulutnya terkunci rapat menunggu lanjutan.

"Pilihan kedua, kau akan menjadi istriku. Kau harus patuh padaku. Tidak ada pembangkangan. Tidak ada pertanyaan. Kau harus rela diatur dan mengikuti peraturan yang kubuat."

Si pemuda asing masih menatapnya intens. Hal itu membuatnya mengernyitkan kening. Dia tidak tahu identitas si pria. Meski dia bisa menebak bahwa pemuda tersebut adalah penyelamatnya. Sosok yang menanggung perawatannya sekarang. Namun, dia tidak mengerti alasan si pemuda menawarkan pernikahan. Mereka tidak saling kenal. Dia bersumpah bahwa ini adalah pertama kalinya mereka bertemu.

"Kalau kau memilih pilihan pertama, tutup kotak cincin ini." Si pemuda anehnya tersenyum. "Kalau kau memilih yang kedua, ambil cincinnya. Mudah bukan?"

Dia menelan ludah gugup. Teringat pada pilihan pertama yang menyatakan dia tidak punya siapa-siapa. Kedua orang tuanya tidak selamat. Dan pria ini tidak memberinya waktu untuk berkabung. Bukankah pilihan pertama adalah hal yang paling bagus?

Seolah-olah mengerti isi pikirannya, si pemuda kembali berbicara.

"Kau tahu alasan mengapa kau tidak punya siapa-siapa? Selain karena orang tuamu telah tiada, publik mengetahui bahwa tidak ada yang selamat dari kebakaran di rumahmu. Kau pun telah operasi sana-sini karena kulitmu yang rusak parah. Tidak ada yang mengenalmu."

Keningnya mengernyit lagi. Bukankah itu terdengar seperti ancaman? Namun, pikiran polosnya menghiraukan kegusaran tersebut. Dia malah berasumsi bahwa orang ini mungkin hanya ingin menolongnya.

"Tapi," katanya untuk pertama kali. Suaranya serak dan pelan. "tapi, kita tidak saling mengenal. Juga, mengapa kau menawarkan hal itu?"

"We will," balas si pemuda percaya diri. "Aku menawarkan hal ini karena, anggap saja iba padamu yang sebatang kara."

Dia tidak puas dengan jawaban si pemuda. Tidak ada orang yang seiba itu hingga mau menikahi orang asing. Mungkin, si pemuda membutuhkan pengantin wanita. Mungkin dirinya adalah pilihan mudah di antara pilihan lainnya.

Perlahan, tangannya terulur ragu. Jemarinya tak sengaja bersinggungan dengan si pemuda kala menyentuh kotak cincin. Dia mengabaikan betapa halus kulitnya. Pandangannya fokus pada kotak cincin. Meski dia tahu pria di depannya menatapnya dengan senyum.

Dia pikir, kebebasannya tidak akan berarti jika dia tidak punya apa-apa. Dia pikir, kebebasan belum tentu bisa membuatnya bertahan hidup. Dia pikir, tinggal dalam aturan seorang yang tak ada bedanya seperti marionet, adalah hal yang lebih baik karena hidupnya akan lebih terarah. Dia pikir, gadis yang baru lulus sekolah, tidak punya pekerjaan, tidak punya sertifikat apa-apa, adalah hal yang akan disesalinya. Maka dari itu, dia berpikir untuk mengambil kesempatan.

Cincin itu akhirnya berada di jemarinya. Keputusan itu membuat si pemuda tersenyum semakin lebar.

"That's what I thought. Good girl."

Dia meyakinkan diri bahwa ini adalah pilihan terbaik. Tidak ada yang perlu disesali. Dia menatap jemarinya yang tersemat cincin sedang dielus si pemuda. Pilihan terbaik, pilihan terbaik, pilihan terbaik. Sugesti itu dirapalkannya dalam hati bagai doa.

"Sekarang, kau adalah Bae Irene, gadis yatim piatu yang akan menjadi istri Oh Sehun. Kita adalah sepasang kekasih yang telah menjalin hubungan lima tahun. Benar, bukan?"

***

To be continue

Mafia Don || Hunrene [Ongoing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang