3

1.1K 102 11
                                    

"Kau—"

"Hei kalian!" suara Johan memotong perkataan Kim.

"Oh hai senior Johan!" ujar Jeon sambil tersenyum tipis,

"Apa yang kalian lakukan?" ujar Johan sambil mendekat.

"Saling memukuli" jawab Jeon apa adanya.

"Hah!" Johan memasang wajah kusut, dia melirik ke arah Kim yang sedang memegang pipinya, lalu Johan menarik Jeon ke dalam pelukannya.

"Kim! Awas saja kau menyakiti tuan muda Jeon, aku akan meremukan kepalamu!" ujar Johan seperti induk kucing melindungi anaknya.

Kim merotasi matanya ke atas, muak. Tanpa berkata apapun langsung meninggalkan mereka.

Jeon melepaskan diri dari pelukan Johan dan mengejar Kim kembali. Ini adalah tugas dari ayahnya, tidak peduli kalau menjalani bersama dengan dokter bengis itu, yang penting Jeon take action. Dia harus membuat ayahnya bangga, walau hanya sekali. Jeon selalu diremehkan oleh ayahnya sendiri dan dia bertekad untuk menunjukan kalau dia itu mampu dan pantas untuk dibanggakan.

Kim nampak risih ketika dia tau Jeon masih mengikutinya, tapi tampaknya ada sesuatu yang aneh sedari ruangan direktur tadi, ekor matanya menangkap tali sepatu Jeon yang terlepas, sesekali Kim melihat Jeon hampir terjatuh akibat tali sialan itu. Maka, Kim berhenti mendadak menyebabkan wajah Jeon menabrak punggung keras Kim. Dokter senior itu kemudian berbalik.

"Apa?" tanya Jeon sambil mendongak, mata besarnya menatap seperti boneka dengan ekspresi polos.

"Ikat tali sepatu sialanmu itu, aku risih melihat talinya yang meloncat-loncat saat kau jalan" ujar Kim cepat, sementara Jeon membeku, terdiam sambil mengedip-ngedipkan mata besarnya beberapa kali.

Kim mengeraskan rahangnya, dia tidak kuat dengan anak pendiam.

"Cepat perbaiki!" ujar Kim kembali.

"Tapi aku tidak bisa mengikat tali sepatu" jawab Jeon apa adanya.

Otomatis Kim memejamkan matanya,

'Benar-benar tuan muda sialan' batin Kim penuh dengan kutukan.

"Tidak apa-apa, jangan pedulikan itu. Aku baik-baik saja. Ayo jalan" ujar Jeon.

Kim menghela nafasnya, dokter senior itu langsung berlutut di hadapan pemuda mungil itu dan meraih tali sepatunya, tentu Jeon terkejut dan mundur, tapi Kim menangkap pergelangan kakinya.

Dokter itu mendongak ke atas , hanya untuk menatap manik hijau pemuda mungil itu.

"Diam" desis Kim dengan kedua alis yang menukik tajam dan rahang yang mengeras.

Kim benci menjadi orang bertanggung jawab. Dia memang tidak suka kehadiran Jeon, tapi dia tidak bisa begitu saja mengabaikan pemuda mungil ini. Ada rasa bersalah yang becokol di hatinya tiap kali bersikap kasar pada Jeon. Tapi melihat Jeon yang tidak rewel seperti kebanyakan tuan muda, dan cukup tangguh untuk seukuran anak manja. Biasanya, sebagian besar anak-anak koas akan langsung menangis atau mengundurkan diri jika berurusan dengan Kim. Tapi Jeon hanya memasang wajah datar ketika dokter senior itu mengucapkan kata paling tidak sopan di wajahnya.

................

Jeon dan Kim  tidak pulang, mereka  berada di ruangan dokter, sedang merencanakan sesuatu.

"Ini tengah malam, polanya: mayat-mayat yang kelihangan organ itu selalu ditemukan besoknya, maksudnya ketika malam mereka masih baik-baik saja tanpa jahitan aneh. Aku sudah memasang kamera di ruang mayat, kita hanya memantaunya saja darisini" ujar Kim, sementara Jeon duduk disamping dokter bengisnya itu, ada kantong hitam tipis di bawah mata pemuda mungil itu, kepalanya teranggung-angguk menahan kantuk. Hingga Jeon tidak bisa menahan kantuknya lagi, dia bersender sejenak di senderan kursinya. Tidak bermaksud tidur, tapi tubuhnya malah tergelincir ke dalam tidur.

BLACKBERRYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang