Bag 4

32 0 0
                                    

***Gala Benedict POV***

"Diem aja, puasa ngomong apa sariawan?"
Aku mencoba cairkan suasana didalam mobil. Saat ini aku dan Beca dalam perjalanan pulang, setelah berdebat kecil di cafe karena ia tak mau diajak pulang sedangkan ada aku yang bisa mengantar dia pulang, dari pada harus dia naik grab. Ia tak bersuara dari tadi, hanya diam dan cemberut.
"Be?", ia tetap tak menyahut. Kulihat ia terus melihat kearah jendela dan tak menggubrisku sama sekali. "Beca sayang?", aku menyentuh paha kirinya.
"Sayang?", akhirnya ia menoleh kearahku. Aku mengangkat alis, mendengar suara nya. "nggak usah panggil sayang, sayangmu kan yang tadi, yang kamu peluk-peluk,"
"Peluk? Ah.. itu,", ia menoleh kearah jendela lagi dan sudah sampai rumah. Belum selesai benar aku parkir, Beca mau segera keluar dan kularang. "eh, mau kemana?"
"Suka-suka aku,"
"Bantuin dulu tas aku dibelakang yah?", ia mengendus dan menatapku dengan jengkel. Ah lucu banget!, ia keluar dengan kasar dan beralih kebelakang. Dari kaca spion tengah aku melihat ia membuka pintu mobil bagian belakang. Hingga kutangkap ia terdiam. Ekspresi apa itu? aku tersenyum. "Ada ngga Be?",, ia diam saja. Lalu aku berjalan kebelakang mengikutinya. "Suka ngga?",  ia mengambil bunga mawar dan menciumnya. "Jadi, suka ya?" Ia mengangguk.
"Berarti udah nggak marah, kan?", ia kembali cemberut.
"Masih, enak aja," kemudian ia membawa tas ransel ku dan menarik diri dari tempat kami semula.

"Be?" Setelah berberes diri, aku menemukan Beca sedang di dapur. Dari jauh tercium bau wanginya sehabis mandi. Rindunya. Segera aku mendekat padanya. Dengan balutan bathrobe yang menutupi badannya, rambut tergelung handuk karna habis kramas, ia menggemaskan dan sungguh, wangi dari tubuhnya menyebar kemana-mana. Kami bertatap saat aku mengendus pelan dilengan kanannya. Tanganku menyentuh tangannya yang sedang mengaduk kopi yang ia buat. "Wangi banget, mau kemana?"
"Mau tidur, masa mau ke cafe terus pelukan sama pacar,", aku terkikik melihat jawaban ketusnya dan beralih mengambil air minum dari kulkas. Ia duduk di kursi meja dapur dan menikmati kopinya.
"Beca ngga kangen aku?", ia diam saja. "Padahal aku kangen banget,", kududukkan pantatku dikursi berhadapan dengan wajahnya. Ia mengenduskan napas berat. "beneran Beca ngga kangen aku?" Ia masih diam saja. "Dia itu bukan siapa-siapa, kenapa kok kamu manyun terus dari tadi,"
"Siapa-siapa juga gapapa, kan udah pelukan begitu,"
"Hahaha," gemas sekali lihat ekspresinya sekarang. "kamu kalo manyun gitu, aku jadi pengen cium tau,",
"Cium aja pacarmu yang itu,"
"Bukan pacar sayang,", ia diam. "Mau tahu nggak dia siapa?"
"Siapa? Kenapa pelukan begitu?"
Aku menyuruhnya diam dengan menyentuh bibirku dengan jari telunjukku. "Sini kalau mau tahu, deketan,", ia menatapku jengkel. "Sini," aku menepuk-nepuk meja. Ia beralih dan turun dari kursi. "Nggak,"
"Hm?", ia mengkerutkan dahi. Sambil menepuk-nepuk meja.
"Sini, lewat sini," ia menatapku beberapa detik. Ia perlahan akhirnya merangkak kearahku. Ia mengikat tatap mataku. Sungguhlah, matanya bear-benar membuat orang lupa diri. Didepanku terpampang Beca dengan seluruh tubuhnya merangkak kearahku. Menelan ludah, bahkan belahan dadanya tepat disana, nyata sepenuhnya. Terdiam kala ia sudah tak sejauh tadi.
      "Gal..", beralih menuju wajahnya.
     "Boleh kucium ya?", mataku kearah bibir dan matanya bergantian. Masih diposisi yang sama, ini cukup menegangkan. Lalu ia mengangguk.

Kukecup bibir itu dan terlepas seketika, kuperhatikan wajahnya yang matanya sudah terpejam. Tak tega menahan badannya, kembali kucium bibir Beca. Tiada suara diruangan selain yang kami berdua buat, kecup-kecup manis yang membakar hasratku.
"Gal?"
       "Hm?", kusentuh wajah lalu membelai pipinya dan aku mulai berdiri. Tanpa melepas ciuman kami berdua yang terasa makin basah, makin bersuara lebih keras. "Oh, Beca... aku merindukanmu, nghh,", desahanku mengalir sambil bicara padanya. Segera kualihkan pandangan ketubuhnya. Tanganku berpindah ke pinggang dan meraba tubuh cantik Beca. Aku berdiri, lalu diantara tubuhnya bagian lengan dan dada kupapah mengikuti tubuhku. Kududukkan Beca di meja, dan tatapan mata Beca berbinar lagi.
     "Gal...", aku menatap matanya sambil membenarkan bathrobe yang ia pakai sedikit berantakan.
     Kusentuh kedua pipinya. "Tadi itu saudara aku, Stephani," pandangannya mencari-cari kebohongan dimataku.
    "Well, i dont even know it,", tersenyum aku dibuat oleh tingkahnya lagi. Kudekap lagi tubuh kecilnya.
     "Dia anak tante aku, dont you get envy of her,"
     "No, am not," sangkalnya.
     "Ah, of course you're not,"
      Kami bertatapan. Tangan Beca memelukku. Dengan manja ia mendekap erat badanku. "I missed you,", ia menarik wajahku mendekat padanya. Detik berikutnya ia menggigit bibir bawahku dan disana ia melumatnya, bibirku.
     "Aku yang gila disini sendirian, kamu ngga pulang-pulang, hhh" ia mengendus napasnya kesal.
     "Mikirin Gala nggak?", ia mengangguk. Ngapain aja aku tinggal?", ia melihat kearahku. Menciumku lagi. Kami saling melumat bibir dengan tempo pelan tapi cukup lama, hingga ditengah-tengahnya ia bilang rindu setengah mati sampai menangis. Makin gemas aku pada Beca.
     "Gala juga kangen banget sama Beca, sampai kubawa dimimpi,"
     "Ah bohong,"
     "Beneran, rasanya pengen cepet pulang,"
     "Mesum pasti mimpinya," aku terkekeh.
Tanganku beralih menuju leher jenjang Beca dan merabanya. Ia menikmati pertunjukan. Lalu kukecup. Kukecup lagi bagian lain. Kukecup lagi bagian bawah telinganya, matanya terpejam dan kepalanya mendongkah memberikan akses untukku bereksplor. Tangan kananku menopang lehernya. Kucekup makin kebawah melaju ke dadanya. Kecup-kecup ini memabukkan, tidak bisa dihentikan sama sekali.
     Aku terkaget. Saat bibirku menempel didada, diantara buah dadanya yang masih terselimuti bathrobe, tangan Beca perlahan membuka bathrobenya. Saat akan terbuka, kuhentikan. Segera kucium bibirnya lalu jemariku meraba buah dada sebelah kanannya. Meski tertutup bathrobe, aku bisa merasakan gairah Beca sekarang. Ah aku sudah gila. Sambil kami berciuman, tanganku memilin pelan dadanya. Disela-sela menikmati permainan, kurasa Beca lebih menikmatinya... desahannya makin hebat terdengar ditelingaku.
     "Not now baby, take it slow.." ia menatapku sendu.

Life of BecaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang