“Pas gue bangun, posisi udah di rumah sakit. Kata Mama gue kritis dua minggu. Dan pas balik ke rumah, semua rasanya jadi aneh. Terutama Bang Theo, dia jadi kayak benci banget sama gue. Situasinya kayak beberapa bulan lalu sewaktu gue sama Mama baru aja pindah ke rumah itu. Padahal setelah beberapa pendekatan, bisa dibilang kita udah mulai akrab. Bahkan Bang Theo jadi lebih ceria dari sebelumnya. We’re looked like a real siblings at that time,” pungkas Rei, mengakhiri kisah panjangnya.
Melihat reaksi Calvin yang tampak begitu terkejut membuatnya terkekeh pelan. Dia sudah menduga raut seperti itulah yang akan muncul ketika bocah ini mendengar kenyataan yang selama ini Rei sembunyikan. Dia juga tidak tahu apa yang akan terjadi setelah membeberkan rahasia ini, tetapi entah kenapa Rei merasa sedikit lega usai bercerita.
“Kenapa lo nggak cerita fakta sepenting ini ke Om Sam atau Tante Celine?” tanya Calvin usai berhasil mengendalikan rasa terkejutnya.
“Itu karena gue yang egois.” Rei menyahut tanpa ragu.
“Awalnya gue nggak cerita karena belum paham sama apa yang kita alami waktu itu. Padahal kalau pelecehan terhadap anak-anak mungkin bisa nambah masa hukuman mereka. Tapi gue nggak tahu gimana cara jelasinnya.”
Cowok itu terdiam sejenak, tampak berusaha menyusun kalimat yang tepat untuk dijelaskan pada sang kawan. Sedangkan Calvin dengan setia menunggu tanpa menginterupsi.
“Seiring berjalannya waktu, gue udah paham jenis kejahatan apa itu. Tapi gue nggak mau cerita, karena gue pikir itu udah nggak ada gunanya juga. Tujuan gue cuma pengen bikin Mama bangga sama pencapaian gue. Karena terus-terusan bilang kalo gue harus bisa menyaingi Bang Theo. Meski akhirnya gue nggak bisa, karena perbedaan kita terlalu jauh.”
Semilir angin yang menerpa dedaunan di atas mereka membawa hawa sejuk di tengah teriknya matahari. Kondisi halaman belakang gedung olahraga yang sepi membuat suasana menjadi sangat lengang, dan hanya dua remaja itu yang mengisi kekosongan. Sembari mencoba menemukan kalimat yang pas, Rei menengadah dan netra kelamnya tertuju pada sang angkasa yang kini tampak bersih tak berawan. Seulas senyum tipis terukir di wajahnya.
“Sampai akhirnya keadaan jadi seburuk ini dan gue nggak bisa berbuat apa-apa,” pungkasnya kini tertunduk lesu.
Sempat terlintas di benak Calvin untuk menyalahkan Rei atas masalah yang terjadi. Namun, begitu teringat derita yang selama ini bocah itu alami, Calvin pun tersadar. Jika Rei juga anak-anak sepertinya yang terkadang tak tahu bagaimana menyikapi hal serumit itu. Kali ini, yang bisa Calvin lakukan hanyalah sebatas menjadi pendengar dan tidak menghakimi.
“Butuh bantuan?” Calvin menatap lekat sosok di sampingnya.
“Nggak perlu.” Rei menggeleng cepat. “Sebenernya dengan lo dengerin ocehan gue dari tadi aja udah bikin gue sedikit lega. Selama ini nggak ada orang bisa diem dan dengerin cerita gue sampai akhir tanpa banyak komen kayak lo. Thanks, ya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
STRUGGLE
Teen Fiction[16+] #brothership #family #bullying #angst Theo itu benci Rei, dan segala hal yang berhubungan dengannya. Pun dengan wanita munafik yang kini menyandang status sebagai seorang ibu. Mereka telah merebut satu-satunya kepingan berharga dalam hidupnya...