Prologue

12 2 0
                                    

Tertulis legenda, dari sebuah ketiadaan.


Sebuah telur misterius, mengambang tanpa tujuan, di tengah kehampaan.

Dingin, gelap dan sendirian, telur itu terus berkelana tanpa arah. Melintasi garis tipis ruang dan waktu yang menginkubasi eksistensi didalamnya.

Milyaran tahun berlalu, hingga pada akhirnya cangkang telur itu pecah, mengeluarkan makhluk hitam kecil yang saling terikat, membentuk rangkaian rantai panjang tak berujung.

Dari sana, terlihat sosok bercahaya yang perlahan ditarik keluar dari dalam telurnya. Cahayanya benderang, membuat cangkang yang rapuh itu hancur dengan daya ledak yang sangat dahsyat.

Dengan segera, para makhluk hitam menyelimuti sosok putih itu, melindunginya dari ledakan.

Tak lama kemudian, sosok putih itu mulai berubah. Tubuhnya membesar dan cahayanya mulai pudar.
Perlahan namun pasti, wujudnya terbentuk, menjadi makhluk berkaki empat dengan cincin emas yang melekat— mengelilingi pinggulnya.

Makhluk-makhluk hitam yan-

***

*klik*
"Udahan dong melamunnya! Dengerin apa sih, kamu?"

Seseorang menekan tombol spasi di laptopku.
Saat menoleh ke atas, seorang wanita dengan muka menyebalkan menatapku dengan tatapan yang sama menyebalkannya.

"Kenapa lihat-lihat begitu? Demen?"

Dia mbak Nami, seniorku disini.

"Lah, kok dipause?!" tanyaku kesal.

"Mau keluar, kan? Tolong dong, beliin mi instan." pintanya dengan nada bicara bak ratu.

"Gak." seruku sambil mengalihkan muka ke layar laptop.

"Nih, kembaliannya ambil aja." sautnya sembari menyodorkan selembar uang.

Ha! Usaha yang cukup bagus bu Saito.
Mana mungkin seorang pria dewasa sekaligus karyawan yang berpendirian sepertiku menolak uang seseran.

"Beliin dua, terserah yang mana." tegasnya kembali.

Aku mengangguk dan berdiri dari bangkuku, kemudian berjalan ke arah elevator di ujung ruangan.

"Yey! Makasih Kenny!" sorak mbak Nami dari belakang.

Namaku Kenny, lebih tepatnya, itu nickname yang kupakai di dalam game.

Nama asliku Toda Kenichi, umurku sekarang 25 tahun.

Aku adalah trainer Pokémon sejati.
Setidaknya, itu yang kupikirkan.

Aku mulai kenal dengan Pokémon saat usia 12 tahun, ketika ibu memberiku satu unit Nintendo DS dan sekeping cartridge Pokémon Black sebagai hadiah ulang tahunku.

Sekarang, aku bekerja di perusahaan media cetak sebagai ilustrator, sekaligus penulis artikel.

***

Tiba di toko swalayan, aku mulai mengambil satu-persatu barang belanjaan.

Antrean kasirnya lumayan panjang di jam makan siang seperti ini.

Bosan menunggu, mataku mulai melirik-lirik ke arah rak kasir yang penuh dengan barang promosi.

Tak ada yang menarik, hingga aku melihat sebuah rak di ujung barisan.

Mataku tak mungkin salah, disana ada banyak cartridge gim lawas yang tersusun rapi.

Pikirku, lebih baik aku menyelesaikan antrean ini lebih dulu dan melihat lebih dekat isi rak itu kemudian.

"Terimakasih, mas. Silahkan datang kembali." ramah sang kasir.

Aku mengangguk dan berjalan cepat menuju rak yang begitu menarik perhatianku.

Bersambung.

Pokémon: RÉNEGADETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang