Bang Ginan

469 42 0
                                    

Terdengar suara tamparan keras diiringi dengan rasa panas yang menjalar di pipi, meninggalkan bekas merah yang sangat ketara pada pipi yang awalnya mulus itu.

"Sudah saya bilang berapa kali, jika nilaimu terus turun kau akan mendapatkan hukuman lebih dari ini, apakah otakmu itu benar-benar tidak ada isinya!" bentak Rian sang ayah tiri dengan amarah yang meluap-luap, sedangkan di depannya Yegan sudah tak bisa menahan air matanya, kepalanya tertunduk dengan isak tangis yang mulai terdengar.

"Apakah ini waktunya menangis? Dasar anak tidak berguna!" bentak Rian lagi, setelahnya pria paruh baya itu melangkah pergi meninggalkan ruangan. Meninggalkan Yegan yang masih menunduk lemas dengan satu tangan memegangi pipi kirinya.

***

Bel pulang sekolah baru saja berbunyi, tanpa menunggu lagi Yegan segera membawa tasnya dan berlari keluar dari kelas. Tangannya yang sedari tadi membawa topi upacara segera mengenakan topi itu di kepalanya. Langkahnya ia bawa sebentar menuju ke tempat parkir, setelah melihat keadaan yang cukup aman ia segera berjalan ke arah halte bus.

"Untung aja bang Ginan belum jemput." ucapnya dalam hati. Belum sempat Yegan sampai ke tempat tujuan, tiba-tiba ia merasakan bahwa pundaknya di tarik dari belakang, membuat tubuhnya yang oleng berakhir menabrak tubuh tegap seseorang yang berada di belakangnya.

"Mau kemana?" tanya orang tersebut. Mendengar suara yang sangat familiar itu Yegan semakin menundukkan kepalanya, tangannya reflek memegang topinya erat agar wajahnya semakin tak terlihat.

Ginan yang melihat tingkah aneh adik sepupunya itu segera tau apa yang sebenarnya terjadi, dengan sedikit paksaan ia melepas topi yang sedari tadi di tahan oleh Yegan. Memperlihatkan wajah ketakutan sang adik dengan mata berkaca-kaca, tak lupa juga satu tangannya memegangi pipi bagian kiri yang ia tau pasti ada bekas tamparan merah yang tercetak jelas di sana.

"Dia mukulin kamu lagi?!" ucap Ginan dengan sedikit emosi, matanya menatap tajam tepat kepada kedua manik mata Yegan. Membuat Yegan yang merasa akan di marahi sedikit gemetar ketakutan.

Bukannya menjawab pertanyaan itu, Yegan yang sudah tak bisa membendung tangisnya segara meneteskan air mata. Kondisi anak itu terlihat benar-benar sangat mengenaskan.

Ginan yang merasa tidak tega karna telah membuat adik sepupunya itu ketakutan segera membawa tubuh Yegan ke dalam dekapannya, membiarkan anak itu dengan leluasa menumpahkan segala rasa sakit yang sebelumnya ia tahan mati-matian.

Sebenarnya ini bukan pertama kalinya Yegan mendapat perlakuan kasar dari sang paman, sudah sering sekali Ginan melihat bekas kekerasan pada wajah atau bagian tubuh lain dari Yegan, tapi adiknya itu selalu mengatakan bahwa ia baik-baik saja dan semua yang terjadi padanya adalah murni kesalahannya.

Lupa dengan sekitar, Ginan segera bersitatap dengan beberapa anak yang bergerombol di dekatnya. Rupanya kejadian barusan membuat banyak murid-murid yang lewat melihat mereka dengan tatapan penasaran, lagi pula wajar saja saat mengingat sekarang adalah jam pulang sekolah.

Ginan menghela nafas pelan, ia memakaikan kembali topi yang sedari tadi dipegangnya ke kepala Yegan. Tangannya menggenggam lembut tangan adiknya itu, menuntunnya ke tempat mobilnya tadi terparkir. Saat di rasanya tangis Yegan sudah mulai mereda, iapun menyuruh adiknya itu untuk masuk ke dalam mobil.

"Masuk ya, kita bicarain semuanya di dalem." ucap Ginan sambil membuka pintu mobil, satu tangannya mendorong pelan punggung Yegan agar adiknya itu segera memasuki mobil, setelah melihat Yegan duduk dengan nyaman barulah ia menutup pintu dan berjalan ke kursi kemudi.

"Udah ya nangisnya." ucap Ginan lagi saat sudah duduk di samping Yegan, kedua tangannya menangkup wajah adiknya itu untuk menghapus air matanya. "Sekarang kasih tau kakak, kali ini kamu dipukul karna apa?" tanya Ginan, ia berusaha sebaik mungkin untuk meredakan emosinya saat matanya tak sengaja kembali melihat bekas kemerahan pada pipi mulus sang adik.

Yegan hanya mengangguk kecil, ia dengan perlahan mulai kembali mengatur nafasnya yang sempat tak beraturan.

"Nilai Yegan turun lagi." ucapnya dengan kepala tertunduk.

Ginan yang awalnya mencoba bersabar kini sudah terbakar emosi, bagaimana mungkin orang itu memukul adiknya hanya karna sebuah tinta di atas kertas. Tanpa berfikir panjang Ginan segera menyalakan mesin mobilnya, setelahnya ia pun mulai mengemudi meninggalkan pekarangan sekolah.

"Bang kita mau kemana?" tanya Yegan bingung, sebenarnya ia sedikit takut karna kakak sepupunya itu mengemudikan mobilnya dengan kecepatan yang lumayan tinggi.

"Pulang." ucapnya singkat. Melihat suasana hati sang kakak sepupu yang sedang buruk, Yegan tak berusaha untuk menanyakan maksud dari perkataan itu. Dalam hati ia berdoa agar sesuatu yang buruk tidak akan terjadi.

***

Sesampainya di rumah Yegan, Ginan segera turun dari mobil, melihat kakak sepupunya berjalan tergesa-gesa memasuki rumahnya, Yegan segera mengikutinya dengan sedikit berlari.

"KELUAR LO BRENGSEK!" teriak Ginan keras, ia melangkahkan kakinya menuju ruangan dimana orang yang ia cari itu berada. Setelah sampai tepat di depan ruangan yang ia cari, kakinya segera membuka pintu dengan cara mendobrak, membuat siapa saja yang mendengar suara itu langsung terlonjak kaget.

"Apa-apaan kamu Ginan, jangan kurang ajar ya!" ucap pria paruh baya itu marah, tak memberi jawaban atas perkataannya, Ginan malah melangkahkan kakinya menghampiri Rian. Tangannya segera menarik kerah baju pria paruh baya yang notabenenya adalah sang paman.

"Lo yang jangan kurang ajar ya, sekali lagi gue liat lo mukul adek gue, abis lo sama gue!" ucap Ginan marah, sebelum meninggalkan ruangan ia tak lupa memberikan satu pukulan yang tepat mengenai pipi Rian, membuat pria paruh baya itu sedikit meringis kesakitan.

"Itu balesan lo karna udah mukul adek gua." ucapnya sambil berlalu pergi, tak lupa juga tangannya menggandeng Yegan yang masih berdiri diam dengan tatapan bingung. Ia masih belum bisa mencerna apa yang sebenarnya terjadi.

"Bang kita mau kemana?" tanya Yegan saat keduanya sudah sampai di dalam mobil.

"Pulang ke rumah abang, sementara kamu nginep disana dulu aja." ucap Ginan sambil menjalankan mobilnya meninggalkan pekarangan rumah.

Sedangkan di dalam rumah, pria paruh baya itu terlihat berdecak kesal karna tak bisa membalas perilaku kurang ajar sang ponakan. Dalam hati ia bersumpah tidak akan mengampuni apa yang telah keduanya perbuat hari ini.

Rumah Pulang Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang