"KOKO HAO, DEK YEGAN ILANG!!"
Setelah teriakan keras itu berhenti, kini keadaan kos yang awalnya sepi, menjadi sedikit tak beraturan. Satu-persatu dari mereka, kini akhirnya berbondong-bondong untuk keluar dari kamar masing-masing.
"Hah? Kenapa? Siapa yang ilang?" tanya Tara dengan sedikit berlari. Rambut yang mencuat kemana-mana dan wajah khas baru bangun tidurnya itu, sudah sangat menjelaskan bahwa pemuda tersebut baru saja bangun akibat teriakan barusan.
"Apaan si, masih pagi juga udah ribut aja." kini giliran Guno yang menggerutu dengan satu tangan menggaruk belakang kepala, anak itu terlihat sedang menaiki tangga bersama beberapa penghuni kos yang lainnya.
"Adek gua woi, adek gua ilang!" jawab Ginan dengan wajah paniknya. Sebelumnya anak itu sudah berkeliling kamar Yegan untuk mencari keberadaan sang adik, namun percuma saja, hasilnya nihil. Ia tak kunjung menemukan keberadaan anak itu dimana pun.
"Udah berangkat kali pin." ucap Marchel asal dengan suara lirih.
"Kayaknya ngga mungkin deh sel, soalnya gerbang depan aja masih di kunci." jawab Hao yakin. Mendengar itu, semuanya hanya bisa mengangguk-anggukan kepala, lagi pula ko Hao kan selalu menjadi orang pertama yang bangun di pagi hari, jadi ia pasti tau jika ada orang yang sudah berangkat terlebih dahulu.
Saat semuanya tengah sibuk dengan pemikiran mereka masing-masing, suara pintu kamar yang tiba-tiba terbuka mengalihkan perhatian kedelapan pemuda itu. Menampakkan sosok Jendra yang beranjak keluar, dengan wajah khas baru bangun tidurnya.
"Loh, kalian semua ngapain disini?" tanya pemuda itu sambil mengernyit bingung.
"Adek gua ilang bang." jawab Ginan kembali.
"Hah? Siapa emang adek lo?" ucap Jendra kembali bertanya, sepertinya kesadaran pemuda ini belum benar-benar terkumpul.
Sedangkan Ginan kini mulai mengusap wajahnya kasar, sebelum akhirnya, dengan sabar ia kembali menjawab pertanyaan tersebut.
"Ya Yegan lah bang, emang siapa lagi. Masih muda kok udah pikun aja jadi orang." ucap anak itu sedikit ketus."Oh, si adek." gumam Jendra pelan sambil mengangguk-anggukkan kepalanya paham, pemuda itu terlihat tidak peduli dengan olokan yang baru saja di lontarkan Ginan.
Sedangkan Ginan yang melihat itu malah memutar bola matanya malas.
"Abang tau ngga Yegan dimana?" tanya Ginan kembali, anak itu sudah kepalang kesal mengahadapi tingkah Jendra yang malah kembali berdiam diri.
"Tuh, ada di kamar abang." jawab pemuda itu kelawat santai.
Sedangkan Ginan yang mendengar itu segera menggeser tubuh sang abang yang berada tepat di depan pintu, membuat Jendra yang belum siap akan hal itu reflek terhuyung dan hampir terjatuh, untung saja tangannya lebih dulu berpegangan pada dinding, jika tidak, bisa dipastikan bahwa wajah tampannya itu akan bersentuhan keras dengan permukaan lantai yang dingin.
Setelah masuk ke dalam kamar yang lebih tua, pemandangan pertama yang Ginan lihat adalah wajah tenang sang adik yang tengah terlelap. Anak itu bahkan terlihat sama sekali tak terganggu oleh kegaduhan yang sedari tadi ia buat, entah karna tidurnya yang terlalu lelap atau karna tubuhnya yang terlalu kelelahan.
"Dek, dek. Abang cariin dari tadi ternyata malah tidur disini." gerutu Ginan tak habis pikir, ia tadi sudah bisa dibilang kepalang panik.
"Dasar, bayi." tambah anak itu dalam hati.
Baru saja ia ingin mendekap erat dan memainkan pipi lembut sang adik, remaja itu sudah terlebih dahulu merasakan cekalan pelan pada pergelangan tangannya.
"Jangan di bangunin, baru aja tidur pas tengah malem anaknya." ucap Jendra dengan suara pelan, membuat Ginan pun akhirnya mengangguk mengerti. Setelahnya, keduanya berjalan beriringan untuk keluar dari kamar tersebut.
"Pin, pin. Gua kira ada apaan pagi-pagi dah bikin ribut, taunya cuma masalah kecil kayak gini doang." ucap Tara mulai mengomel, bertepatan dengan pintu berwarna coklat itu yang kembali di tutup.
"Tau nih, bikin heboh satu kampung aja." timpal Guno yang juga merasa jengkel.
Tak ingin semakin membiarkan pertengkaran ini berlangsung lama, Harsa yang sedari tadi melamun akhirnya mengajak yang lainnya untuk segera beranjak ke ruang makan. Lagi pula ia tadi juga sudah diberi tau oleh ko Hao, bahwa sarapan mereka dibawah juga sudah siap untuk di santap.
•••
Kini ke delapan pemuda itu tengah menyantap sarapan mereka masing-masing, menyisakan suara dentingan alat makan yang sesekali saling bersentuhan.
"Oh iya, bang Jen. Gimana ceritanya kok adek bisa tidur di kamar abang ?" tanya Ginan memulai pembicaraan.
Sebenarnya Ginan sendiri masih tak habis pikir dengan tingkah aneh adik sepupunya itu, bukankah Yegan adalah orang yang cukup pemalu? Kenapa bisa-bisanya anak itu tidur dengan orang yang baru di kenalinya? Dan kenapa pula bang Jendra yang anak itu ajak tidur bersama? Kenapa bukan dirinya?
"Oh itu, sebenernya abang sendiri juga juga ngga tau kenapa. Tadi malem anaknya cuma ketuk pintu sambil bilang kalo mau numpang tidur, yaudah deh abang bolehin masuk." jawab Jendra sesingkat mungkin.
Setelahnya, tak ada lagi percakapan yang terjadi, sampai pada akhirnya satu persatu dari mereka menyelesaikan acara sarapan masing-masing.
Karna hari ini adalah hari Sabtu, jadi yang bertugas mencuci piring di pagi adalah Tara dan Marchel.
Ginan dan Jendra yang juga telah selesai sarapan, kini memutuskan untuk kembali menuju kelantai 2. Hari ini abang tertuanya itu masih harus berkerja di kantor, sedangkan Ginan memutuskan untuk membangunkan sang adik agar anak itu bisa memakan sarapannya sendiri.
Sampai pada tangga terakhir, Jendra yang berada di depan seketika terlihat sedikit berlari, membuat Ginan yang awalnya sedikit kebingungan berakhir mempercepat langkahnya mengikuti yang lebih tua.
Disana, terlihat Yegan yang tengah berdiri sambil berpegangan pada dinding, langkah anak itu juga terlihat sesekali terhuyung, sedangkan tangannya yang lain bergerak memijat keningnya.
"Loh dek, kenapa?" tanya Ginan lebih dulu, sedangkan di sampingnya, Jendra terlihat sibuk menopang tubuh yang lebih muda.
"Pusing." jawab Yegan dengan suara pelan, mendengar itu keduanya segera membantu yang lebih muda untuk beranjak menuju kamarnya.
"Duh, kok badannya panas gini si dek." ucap Ginan dengan nada khawatirnya, tangan pemuda itu kini sibuk menyentuh dahi sang adik yang ternyata mengeluarkan suhu panas yang lumayan tinggi.
"Bentar, biar abang ambilin termometer dulu." ucap Jendra kemudian sambil beranjak pergi.
Sedangkan Ginan kini sibuk mengelusi puncak kepala Yegan, berharap agar adiknya itu bisa segera kembali terlelap. Dan tak sia-sia, sepertinya usahanya itu berhasil, terbukti dari mata sang adik yang kembali terpejam juga suara dengkuran halus yang kini mulai terdengar. Membuat Ginan setidaknya bisa sedikit merasa lega.
Beberapa menit kemudian, di depan pintu kamar, kini terlihat seluruh penghuni kos yang tengah berusaha mengintip. Sedangkan Jendra dan Hao segera saja melesak masuk dan mendudukkan diri di samping ranjang tempat Yegan berbaring.
Hao dengan cekatan mulai mengecek suhu tubuh yang lebih muda, barulah setelahnya tangannya beralih menempelkan plester demam pada kening sang adik.
"Gimana bang?" tanya Ginan saat melihat kokonya itu telah selesai melakukan tugasnya.
"Kecapean kayaknya, nggapapa kok. Kalo demamnya ngga turun-turun, baru nanti kita bawa ke rumah sakit." jelas Hao kemudian, kebetulan dirinya ini adalah mahasiswa kedokteran, jadi setidaknya ia masih bisa menangani, jikalau sakitnya hanya sebatas demam ringan seperti ini.
Mendengar itu Ginan akhirnya bisa merasa lega, dan barulah setelahnya ia mulai mengusir penghuni kos yang tidak berkepentingan agar waktu istirahat adiknya itu tidak terganggu.
Sorry for typo, jangan lupa vote and komennya yaaa
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Pulang
FanfictionApa itu rumah? Beberapa orang, mungkin akan menjawab tanpa pikir panjang bahwa rumah adalah sebuah bangunan untuk beristirahat, tempat biasa mereka untuk tidur, makan, dan lain sebagainya. Namun bagi Yegan, rumah baginya lebih dari itu semua, rumah...