Sakit

371 42 1
                                    

Pukul 8.30

Yegan yang baru saja bangun kini dengan perlahan mulai membuka kedua matanya. Belum sempat netra berwarna kecoklatan itu terbuka sempurna, cahaya lampu yang seakan menusuk penglihatan, membuat anak itu justru dengan cepat kembali menutup matanya.

Satu tangannya juga reflek terangkat untuk memijat kening, membuat Guno yang kini bertugas untuk menunggui yang termuda, perlahan mulai berjalan mendekat.

"Udah bangun ya cil, pusing?" tanya Guno yang langsung dibalas Yegan dengan anggukan singkat.

"Yaudah, kalo gitu sekarang makan dulu aja, habis itu minum obat."

"Bentar ya, gue ambilin dulu buburnya." tambah anak itu tanpa menunggu balasan, sedangkan kedua kakinya dengan segera berjalan untuk menuju kearah dapur.

Untung saja tadi sebelum ko Hao berangkat ke kampus, pemuda itu sudah terlebih dahulu menyiapkan sepanci bubur ayam, agar bisa Yegan makan nanti, saat anak itu sudah bangun.

Tak membutuhkan waktu lebih dari 5 menit, pintu berwarna kecoklatan itu akhirnya kembali di buka. Menampakkan sosok tinggi Guno dengan kedua tangan yang membawa nampan berisi semangkok bubur dan segelas air putih.

"Ini buburnya cil. Mau makan sendiri atau di suapin?" tanya pemuda itu kembali sambil meletakkan nampan tersebut di atas nakas.

"Ngga usah bang, Yegan bisa makan sendiri kok." jawab anak itu pelan, sedangkan badannya kini berusaha ia dudukkan sembari bersandar pada kepala ranjang.

Belum sempat mangkok berisikan bubur itu berpindah tangan, Guno yang seketika berubah pikiran, kini malah menarik kembali mangkok yang tadinya hendak ia serahkan kearah Yegan.

"Eh, eh, eh. Ngga bisa, ngga bisa. Tadi si Ginan sendiri yang udah ngewanti-wanti gua buat jagain adeknya dengan baik dan benar. Jadi Yucil sekarang nurut aja ya. Sini biar gua suapin." tambah Guno yang langsung di balas oleh Yegan dengan helaan nafas pasrah, anak itu kini benar-benar tidak memiliki tenaga untuk membalas perkataan yang lebih tua.

Jadi untuk kali ini saja, ia akan memilih untuk menuruti semua perkataan bang Guno. Agar urusannya tidak semakin panjang. Ingat hanya untuk "kali ini".

Setelahnya, anak itu pun dengan perlahan mulai memakan makanannya.

Baru saja Guno hendak menyuapkan sendok keenam bubur tersebut, salah satu tangan Yegan yang awalnya diam kini beralih untuk menahan pergerakannya. Membuat Guno yang tidak mengerti segera menatap wajah sang adik dengan tatapan bingung.

"Udah bang, Yegan udah kenyang." ucap anak itu dengan tangan lain yang ia arahkan di depan mulut, membuat Guno yang sudah bersiap memberikan suapan selanjutnya segera melayangkan protes.

"Loh dek, ini baru berapa suap lo. Makan lagi ya, habis itu baru minum obat." ucapnya berusaha membujuk, sedangkan Yegan yang sudah bersikukuh, lagi-lagi hanya memberikannya gelengan pelan sebagai jawaban.

"Udah bang, Yegan udah kenyang."

Mendengar suara lemah bocah tersebut, membuat Guno akhirnya menghela nafas panjang. Setelahnya, tangannya kini beralih mengambil segelas air dan sebutir obat penurun panas yang langsung  di sodorkannnya kearah sang adik.

"Yaudah, minum obat aja kalo gitu. Habis itu tidur lagi."

Melihat sejenak obat yang tepat berada di depannya, membuat Yegan kembali menggelengkan kepalanya pelan. Entah mengapa sedari kecil anak itu tak pernah bisa untuk menelan yang namanya pil obat, pastinya juga hanya karna satu alasan, yaitu rasanya terlalu pahit.

Membayangkan benda itu masuk dan menyentuh lidahnya saja sudah bisa membuat Yegan sedikit bergidik ngeri, apalagi menelannya.

"Loh kenapa cil, ayo di minum obatnya. Biar cepet sembuh." tambah Guno saat melihat adiknya itu malah terdiam sambil sesekali menggelengkan kepala.

"Ngga mau bang, pait. Yegan mau tidur aja." ucap anak itu. Dengan segera Yegan pun membawa kembali badannya untuk berbaring, dan tak lupa juga selimut yang tadinya menutupi setengah badannya itu ia tarik agar bisa menutupi wajah.

Sedangkan Guno yang menyaksikannya, lagi-lagi hanya bisa di buat menghela nafas pasrah melihat kelakuan yang lebih muda. Walau tak dapat di pungkiri, pemandangan di depannya itu mau tak mau membuat sudut bibirnya sedikit terangkat. Gemas, batinnya dalam hati.

Tak ingin mengganggu waktu istirahat sang adik, pemuda itu pun akhirnya memilih untuk meninggalkan kamar Yegan sambil membawa nampan beserta barang-barangnya yang lain, tak lupa pula tangannya menekan saklar lampu sebelum menutup kembali pintu berwarna coklat itu.

•••

Jam kini menunjukkan pukul 11 lebih 30 menit, dan bertepatan dengan itu terdengar suara bantingan pintu yang di dorong keras dari arah depan kosan.

Terlihat oknum bernama Ginan itu kini dengan terburu-buru tengah mencopot kedua sepatu dan segera masuk kedalam. Sedangkan di belakangnya, Riki yang juga sudah sampai di kosan, hanya bisa menggelengkan kepala sambil mengikutinya dengan perlahan di belakang.

"Pin, pelan-pelan anjir buka pintunya. Entar kalo tu pintu rusak, elo mau tanggung jawab hah?" ucap Tara yang sedang duduk di sofa ruang tengah sambil berkacak pinggang, dirinya sendiri bahkan baru saja terbangun karna suara keras tersebut.

"Maap kak!" teriak Ginan tanpa menoleh, kini ia tengah terburu-buru menaiki anak tangga agar lekas sampai menuju kamar sang adik.

Padahal hari ini pemuda itu sudah berniat untuk membolos kuliah dengan alasan ingin menjagai sang adik. Tapi karna ko Hao sendiri yang sudah turun tangan untuk menyuruhnya agar segera berangkat kuliah, mau tak mau Ginan pun akhirnya hanya bisa menuruti perintah yang lebih tua. Untung saja tadi sebelum berangkat ia sudah terlebih dahulu menyempatkan diri memberikan banyak wejangan pada Guno agar menjaga Yegan dengan baik, setidaknya itu cukup membuatnya sedikit merasa tenang.

"Loh Pin dah pulang? Buru-buru banget keliatannya." ucap Harsa saat dirinya baru saja keluar dari kamar. Pemuda itu yang awalnya berniat ingin memasak mie dibawah, malah dikejutkan dengan eksistensi Ginan yang terlihat tengah mengatur nafas sehabis berlari di depan pintu kamarnya.

"Baru aja sampe ini, si Guno mana bang?" tanya Ginan kembali.

"Oh si Guno, kalo ngga salah tadi bilangnya mau ke luar, soalnya lupa kalo ternyata dia udah ada janji sama temennya." jawab Harsa seadanya, membuat Ginan yang mendengar itu segera memberikan sumpah serapah dalam hati pada pemuda berbadan bongsor itu.

"Yaudah bang, gua mau liatin adek dulu."

Tanpa menunggu jawaban yang lebih tua, Ginan pun akhirnya melanjutkan tujuannya untuk menuju kamar sang adik.

Pintu berwarna coklat itu perlahan di buka, menampakkan kondisi kamar Yegan yang bisa dibilang lumayan gelap. Dengan perlahan Ginan pun akhirnya mulai berjalan masuk, langkahnya yang sedikit berjinjit itu ia bawa mendekati ranjang sang adik. Dan barulah saat sudah benar-benar di sampingnya, pemuda itu pun akhirnya menyadari ada sesuatu yang salah.

Wajah Yegan yang sedang tertidur itu sama sekali tidak terlihat tenang dan nyaman, malahan di keningnya yang kini menguarkan suhu di atas normal, terlihat bulir-bulir keringat yang membuat rambut hitamnya menjadi sedikit lepek.

Panik dan khawatir, hanya dua kata itu yang dapat menjelaskan perasaan Ginan saat ini. Dengan langkah tergesa, pemuda itu pun memutuskan berjalan keluar menuju kamarnya sendiri. Setelah mengambil sebuah handuk kecil dan sebaskom kecil air, Ginan pun akhirnya kembali.

Dengan cekatan, pemuda itu mulai mengelap dan mengompres kening yang lebih muda, setidaknya ia berharap tindakannya itu mampu membuat Yegan sedikit merasa lebih baik.

Karna tak tau harus melakukan apa lagi, Ginan pun akhirnya berinisiatif untuk mengechat sang Koko.

Saat sedang sibuk berbalas pesan, tak sengaja, Ginan mendengar suara sang adik yang tengah meringis dalam tidurnya. Membuatnya seketika menoleh dan memberikan usapan halus pada puncak kepala Yegan.

"Jangan sakit-sakit gini dong dek, abang ngga tega liatnya." ucap Ginan dalam hati. Setidaknya setelah kejadian ini, ia berjanji akan menjaga sang adik dengan lebih baik lagi.

Sorry for typo dan jangan lupa vote and komennya ya..

Rumah Pulang Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang