Kutatap rintik hujan satu per satu menetes membasahi jendela di ruang tengah rumahku. Aku tak kuasa membendung air mataku jika mengingat kejadian itu. Air mataku mengalir deras membasahi pipi dan jilbabku. Aku tertunduk penuh sesal, sedih, kecewa, dan semuanya seperti menyerang hatiku. Aku menangis tersedu-sedu sambil memejamkan mataku dengan erat. Aku mengepalkan tangan memeras bajuku dan bertanya kepada diriku sendiri “Kenapa?”. Aku mengangkat wajahku dan kembali menatap ke luar jendela. Jariku mengusap pelan pada jendela berembun dan menuliskan satu kata. HIJRAH.
***
1 tahun yang lalu…
“Arini, bisa bertemu?” Suara lelaki ini cukup membuatku tenang walau hanya mendengarnya dari telepon.
“Ah iya, di tempat biasa ya Kak.”
Aku menutup teleponku dan segera menuju taman dekat kampusku. Tempat biasa kami bertemu saat ingin bicara dan melepas rindu satu sama lain.
“Apa yang ingin Kak Bima bicarakan? Kenapa mendadak sekali?” batinku.
Aku adalah Arini, mahasiswa jurusan IPS semester 5 di salah satu universitas ternama di Semarang. Aku seorang perempuan biasa dengan jilbabku yang kusampingkan di bahu. Aku bukan perempuan alim atau ukhti yang pakai gamis dan juga bukan perempuan yang terbiasa pakai celana ketat. Penampilan sehari-hariku ke kampus hanya dengan setelan jilbab segiempat, kemeja, dan bawahan rok atau celana kulot. Sedangkan lelaki yang ada di telepon tadi, dia adalah Kak Bima. Mahasiswa Bahasa Indonesia semester 7 di universitas yang sama denganku. Kami sudah dekat sejak awal aku semester 3. Pertemuan yang tidak disengaja di suatu acara sholawat waktu itu membuat kami saling menukar nomor dan berbagi kabar satu sama lain sampai saat ini. Sampai sekarang pula kami terjebak dalam hubungan tanpa status.
Kak Bima adalah orang yang baik agamanya. Sejak dekat dengan dia, aku terbawa kebiasaan baiknya. Sholat tahajud, sholat dhuha, mengaji setiap selesai sholat, dan amalan baik lainnya. Bahkan Kak Bima adalah satu-satunya orang yang membangunkanku untuk sholat tahajud. Setelah kejadian malam itu saat pulang sholawatan yang membuat Kak Bima harus mengganti rugi karena tidak sengaja menabrak motorku, membuat kami semakin dekat dan tak jarang bertemu hanya untuk mengobrol tak penting di taman. Hanya aku yang tahu, jika saat malam itu juga aku jatuh cinta padanya.
Aku ingat sekali saat pertemuan pertama kami di taman. Kak Bima terlihat sangat canggung karena dia tidak biasa berbicara dengan perempuan. Ia hanya mengucapkan tujuannya untuk meminta maaf karena kecerobohannya menabrak motorku waktu itu. Aku hanya tersenyum dan mengangguk pelan. Duduk kami pun saling berjauhan dan dia hanya memandangku sesekali. Entah siapa yang memulai percakapan di telepon hingga membuat kami semakin dekat dan sering bertemu.
Ini adalah pertemuan kami yang kesekian kalinya. Entahlah. Sudah beberapa kali sejak semester 3. Aku sangat tidak sabar ingin bertemu dengannya. Senyumnya yang manis setiap bertemu denganku tak bisa kulupakan saat aku pulang. Aku sangat gugup karena tidak biasanya Kak Bima mendadak ingin bertemu seperti ini. Apa ini adalah hari dimana hubungan kami akan resmi? Apa dia ingin mengungkapkan perasaannya?
“Tetapi, apakah bisa seorang Kak Bima menjalin hubungan seperti ini?” pertanyaan yang mengahntuiku sejak dekat dengan seorang yang alim seperti Kak Bima. Pikiranku saat ini dipenuhi dengan Kak Bima sampai tidak sadar aku sudah berdiri di depan kursi taman yang biasa kami duduki. Kulihat Kak Bima sudah menungguku di sana sambil membaca buku.
“Kak.” Sapaku singkat dengan senyum ramahku seperti biasa.
“Eh Arini, ayo duduk.” Sapa hangat Kak Bima yang langsung menutup buku dan memasukkannya ke tas setelah melihatku.
Aku duduk dengan mencoba santai walaupun jantungku berdegup kencang. Jarak kami duduk tak sejauh seperti pada awal bertemu. Kak Bima menatapku serius tak seperti biasanya. Tatapannya sayu seperti membawa kabar buruk. Ia sesekali menatapku lalu kembali menunduk tak kuasa membicarakannya. Sampai dia memberanikan diri untuk bicara.
“Langsung saja ya Arini. Kakak mau kita sudahi hubungan kita ini.”
Aku tertegun mendengarnya. Rasanya seperti ditancapkan panah beribu-ribu kali. Ia menunduk dan memejamkan mata setelah mengatakan kalimat itu. Aku tak bicara. Hanya diam sambil menerka apa yang sebenarnya terjadi. Kak Bima kembali menatapku dan melanjutkan kalimatnya.
“Kakak tahu ini pasti sangat menyakitimu. Tapi, Kakak rasa hubungan kita ini salah Rin. Hubungan ini akan membawa kita ke maksiat. Kakak…” belum selesai melanjutkan aku memotong pembicaraannya dengan suara bergetar ingin menangis.
“Kalau tahu ini maksiat, kenapa baru sekarang Kak bicaranya? Sebenarnya ada apa?” aku menunduk sambil menggenggam erat kedua tanganku. Aku tak kuasa menahan tangisku saat bicara dengannya.
“Kakak dijodohkan.”
Genggaman erat tanganku lepas. Seketika seluruh badanku lemas mendengar pernyataan itu. Aku semakin tak kuasa menatap Kak Bima. Sama halnya dengan Kak Bima yang tak kuasa melihatku menangis. Ia hanya menunduk. Aku hanya diam dan tak menjawab apapun.
“Ini.”
Dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan memberikannya padaku. Aku menerimanya tanpa menatapnya. Sebuah undangan. Tangisku pecah. Aku sudah tak peduli dengan sekitar. Sakit rasanya.
“Sejak kapan Kak?” tanyaku mencoba tegar.
“Sejak Kakak semester 6 Rin. Maaf karena sangat terlambat memberitahumu. Kakak tidak bisa menolak orangtua Kakak. Tetapi di sisi lain Kakak juga terlalu berat untuk melepas kamu. Maaf.” Jelasnya yang membuat tangisku semakin menjadi-jadi. Aku pergi meninggalkannya dengan tetap membawa undangan yang diberikannya.
“Kenapa Kak? Kenapa baru sekarang setelah aku benar-benar jatuh dan menaruh harap padamu?” gumamku sepanjang jalan yang hanya menangisi undangan itu.
***
Beberapa hari berlalu. Ini adalah hari resepsi pernikahan Kak Bima. Aku menatap cermin memandang diriku dengan ragu. Apakah yakin aku akan mendatangi resepsinya? Setelah mengumpulkan keyakinan, akhirnya aku berangkat mendatangi pernikahan Kak Bima di salah satu gedung di Semarang. Setelah sampai di gedung, aku melangkah masuk ke dalam dengan sedikit takut. Aku takut tak kuasa menahan tangis saat di depannya. Kumantapkan langkah kakiku dan mataku menangkap pasangan pengantin di panggung. Mempelai pria memusatkan pandangannya padaku dan tersenyum canggung. Seperti ada sedikit rasa bersalah karena sudah menyakitiku. Aku melangkah ke depan menuju panggung untuk memberi selamat. Benar saja, aku tak kuasa menahan air mataku saat berhadapan dengan Kak Bima dan istrinya.
“Selamat ya Kak.” Ucapku tersenyum ke pasangan pengantin itu dan memberikan kado yang kubawa. Aku tahu ada banyak pertanyaan yang dipikirkan istrinya saat melihatku menangis.
“Terima kasih sudah datang Arini.” Balas Kak Bima tersenyum padaku dengan rasa bersalahnya.
***
Memang benar apa yang dikatakan oleh Sayyidina Ali Bin Abi Thalib “Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia”. Seharusnya dari awal aku tidak melayani percakapan dan perhatian dari Kak Bima. Dia benar, itu semua adalah maksiat. Sekarang aku sadar dan ingin mencoba hijrah ke jalan yang lebih baik. Dengan tidak melayani chatting dari sembarang lelaki, menghindari pertemuan berdua tanpa mahram, lebih mendekatkan kepada Allah dan mencoba berdamai dengan diri sendiri.
Maksiat cinta sesaat ini membuatku selalu mengingat salah satu ayat Surat Al-Insyirah yaitu ayat 8 yang artinya “dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.” Ya, Allah adalah sebaik-baiknya pengharapan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kilil's Story
Короткий рассказHai Pembaca sekalian, jadi yang akan kubuat ini adalah kumpulan cerpen. Setiap bab, ceritanya akan berbeda-beda dan langsung selesai kisahnya. Namun, untuk sampul memakai judul cerpen yang pertama. It's okay lah yaaa... Beberapa informasi yang mungk...