6. Shocked

3.4K 551 128
                                    

Jika kemarin Esa pikir dia hanya salah menyimpulkan, sekarang Esa yakin kalau apa yang dia lihat betul-betul nyata. Meski sebuah kacamata hitam menutupi netra wanita itu sepanjang berada di pemakaman hingga tiba di rumah, tapi ekspresi dan gestur Ivy terlalu sulit ditampik.

"Mau ke mana?" Esa reflek menahan tangan Ivy yang hendak beranjak dari sisinya.

"Ke kamar," sahut Ivy, singkat.

Kening Esa berkerut bingung. "Sebentar lagi doanya dimulai. Ngapain ke kamar?"

"Gue capek." Ivy melepaskan tangan Esa dengan malas lalu melanjutkan langkah meninggalkan sofa. Di rumah kedua orang tuanya, dia tidak bisa mengenakan kacamata hitam seperti di pemakaman.

"Ya, nggak bisa begitu, Vy." Esa melangkah cepat menyusul sang istri. Dia menarik tangan Ivy ke belakang tangga, menghindari perhatian dari para tamu yang sebagian besar adalah sanak keluarga istrinya. "Tahan sebentar sampai doanya selesai."

"Kita udah doa di pemakaman. Apa bedanya?" sahut Ivy, sedikit ketus.

"Di sini ada keluarga besar kamu," balas Esa.

"Terus?"

Gigi Esa beradu geram. Cara Ivy bersikap barusan benar-benar terlihat menyebalkan dan apatis. Padahal sepanjang nyekar tadi siang, simpati Esa mulai terurai karena berpikir barangkali rasa duka Ivy kembali bangkit saat mengenang 10 tahun kematian Ajeng.

"Gue lagi nggak minat buat pencitraan di depan keluarga. Kalau lo takut ada yang curiga dengan hubungan kita, bilang aja hal-hal jelek tentang gue. Mereka pasti langsung paham dan nggak akan menyalahkan lo," pungkas Ivy, lalu melanjutkan langkah meninggalkan Esa yang masih setengah jengkel.

"Ivy!" Esa menekan suaranya dan berniat untuk menyusul wanita itu. Namun, dia terkejut kala kakak iparnya menghampiri dan menahan dirinya. Esa lantas menatap pria itu, seakan mengadu. "Mas."

"Biarin aja, Sa," ujar Bisma, tenang. Dia melirik tangga yang barusan dilintasi Ivy. "Kalau dipaksa, dia pasti marah."

"Tapi, Mas—"

"Udah biasa." Bisma menepuk pelan bahu Esa, seolah memberi pengertian. "Dia paling nggak suka kumpul keluarga."

Esa menghela napas pelan. Tak habis pikir jika memang benar itu alasan Ivy. "Nggak seharusnya dia seapatis ini."

Bisma hanya tersenyum tipis. Memahami adiknya memang lebih sulit daripada mengerjakan ujian nasional. Namun, kejadian 10 tahun lalu berhasil membuat Bisma sedikit memahami Ivy. Duka yang mendalam atas kematian Ajeng membuat batin mereka terkoneksi satu sama lain.

"Biar saya bujuk Ivy sebentar," kata Esa.

"Tapi jangan dipaksa," ujar Bisma.

Esa mengangguk meski pun bingung. Sebenarnya siapa yang adik di sini? Mengapa justru Ivy yang seperti memiliki tahta tertinggi dalam keluarganya? Kontak Bisma bahkan diarsip oleh Ivy dan pria itu seakan tidak punya perlawan atas setiap sikap kurang ajar sang adik.

"Satu lagi, Sa."

Esa menoleh, dia mendapati Bisma melangkah ke arahnya menjadi lebih dekat.

"Mas tahu Ivy pasti sering berulah dan bikin kamu kesal, tapi untuk malam ini, tolong biarin dia berulah sesuka hatinya," ujar Bisma, pelan. "Ya?"

Esa tidak langsung mengerti apa maksud ucapan Bisma yang sangat terdengar ambigu itu. Namun, dia tetap mengangguk dan melanjutkan langkah ke lantai dua. Gisya, sang ibu mertua, sudah menawarkan mereka untuk menginap, tapi Ivy menolak. Padahal beberapa hari sebelumnya Ivy seakan menjatuhkan keputusan tersebut pada Esa.

How To Love You?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang