4. Perfect Combo Red Flag

4.3K 834 81
                                    

Esa alergi madu.

Informasi itu baru dikatakan oleh Bi Ati saat mereka sudah dalam perjalanan menuju rumah sakit. Ketika tiba di UGD, Esa langsung mendapat perawatan darurat oleh tenaga medis. Pria itu tidak benar-benar pingsan, Esa hanya kehilangan tenaga untuk menopang tubuhnya karena reaksi alergi yang terus meningkat.

"Kondisi tubuh Pak Mahesa sudah cukup stabil setelah diberi obat anti alergi setengah jam lalu. Saya pikir Pak Mahesa nggak perlu dirawat inap. Nanti setelah cairan infusnya habis, bisa langsung pulang," ujar dokter yang menangani Esa.

"Makasih, Dok." Ivy mengangguk singkat lalu menghampiri Esa yang terbaring dengan infus yang terpasang di tangan kiri.

Pria itu bahkan sudah mengenakan kaos putih santai dan celana panjang untuk tidur. Ivy duduk di tepi ranjang, pegal juga berdiri hampir satu jam. Kehadiran wanita itu lantas disadari oleh Esa. Dia langsung membuka mata dan menurunkan tangan kanan dari dahi.

"Lo ... masih sesak napas?" tanya Ivy, sedikit hati-hati. "Untung aja tempat tinggal lo dekat rumah sakit."

Esa tidak menjawab, dia hanya memberikan tatapan lurus dengan wajah datar pada wanita itu. Namun, sorot matanya berbeda. Seperti menyimpan kejengkelan.

"Lo sampai nggak ada tenaga buat ngomong, ya?" Ivy jadi semakin prihatin. Sebagai manusia yang terlahir tanpa riwayat alergi apa pun, dia jadi tidak relate dengan keadaan Esa.

"Kamu emang niat bunuh saya kan?"

Raut wajah Ivy langsung mencureng. Dia sangat terkejut dengan ucapan Esa barusan. Sirna sudah keprihatinan dari wajah wanita itu.

"Maksudnya lo kira gue sengaja nambahin madu ke teh gara-gara tahu lo alergi?" balas Ivy, sengit.

"Apa lagi?" sahut Esa, tak kalah sinis. "Kamu sengaja larang Bi Ati masak dan bikin makanan sampah selama seminggu terakhir. Kami kira saya sebodoh itu sampai nggak sadar? Dari awal kamu emang udah niat bunuh saya pakai makanan."

"Enak aja lo ngomong!" Ivy jelas tersinggung, tuduhan Esa sungguh melenceng dari niatnya. "Gue bahkan nggak tahu lo punya alergi. Kalau iya niat gue sejahat itu, lo nggak akan gue bawa ke rumah sakit tadi. Gue bakal biarin lo mati di rumah."

Esa lantas terdiam. Tingkat pedas dari mulut wanita itu memang tiada banding. Itulah juga kadang yang membuat Esa mempertanyakan, dari mana ada sisi Pradaya dalam diri Ivy?

"Saya bener-bener nggak paham apa yang dilihat Papa dan Mama waktu memilih kamu untuk jadi istri saya," ujar Esa, menahan kesal. "Nggak ada bagus-bagusnya."

Ivy mendengus. "Jadi begini sifat asli lo? Kalau lo lupa, biar gue ingatkan. Lo bahkan nggak pernah berusaha menggagalkan perjodohan ini. Lo yang manut-manut aja!"

"Bukannya kamu juga begitu?" balas Esa. Meski suaranya serak, tapi tatapannya sinis. "Saking bebasnya hidup kamu sampai nggak mampu cari jodoh sendiri."

"Jodoh itu dikasih sama Tuhan, bukan dicari!" seru Ivy, jengkel bukan main. "Gue tarik omongan yang menyamakan lo sama Janu. I was totally wrong. Janu seratus kali lipat lebih baik dari lo dalam bertutur kata walaupun dia kaku!"

"Dan Lika seribu kali lipat lebih santun dari kamu," timpal Esa, tak mau kalah.

"Lo pikir Lika mau sama cowok kayak lo? Ngimpi!"

"Kamu pikir Janu juga mau sama cewek kayak kamu? Ngaca!" kata Esa. Tak pakai nada tinggi, tapi entah mengapa nyelekit di hati Ivy.

"Lo yang ngaca!" Ivy menoyor dahi Esa dengan telunjuk. "Lagi sakit aja masih bisa nyinyir."

"Daripada kamu, sakit atau sehat pun hobinya nyinyir."

"Fine!" Ivy menatap Esa yang seketika menghindari tatapannya, seolah ia ingin menerkam pria itu. "Kalau gitu ini adalah yang waktu tepat buat lo gugat cerai gue ka-"

How To Love You?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang