Part 04 : Akui Kejahatanmu

2.2K 205 19
                                    

Chika menggenggam wastafel dengan kuat, bahkan urat di tangannya muncul. Sedikit demi sedikit mata cokelatnya menjadi basah.

Melihat Ara bersama orang lain dan tampak bahagia, membuat hatinya berdenyut sakit.

Air mata Chika pada akhirnya tumpah, takut mengganggu kenyaman orang lain dia mengigit bibir bawahnya.

Ceklek!

Menyadari jika ada orang lain yang masuk ke toilet Chika cepat-cepat menghapus air matanya dan pura-pura mencuci tangan. Suara air dari kran terdengar di ruangan yang sunyi.

Chika terus membasuh tangannya dan fokus kesana, dia sama sekali tidak memperhatikan tatapan tajam dari orang yang berdiri di belakangnya.

Ara menatap punggung orang di depannya dengan tangan terkepal. Bayangan Zee dan anting yang dia berikan ke Chika beberapa tahun yang lalu saling bertabrakan dan menimbulkan percikan api.

Sorot mata Ara berubah merah, semakin dekat dia dengan Chika semakin kuat tangannya terkepal.

Tubuh Ara kaku, kedua alisnya terjalin erat. Di depannya Chika akhirnya selesai mencuci tangan dan berbalik, berniat untuk memberi Flora dan Alex ucapan selamat dan segera pergi dari sini.

Akan tetapi ketika berbalik dan melihat wajah yang sangat di kenalnya dan sering datang ke mimpinya langkah Chika terhenti.

"Ara..." Suara Chika tercekat, tangan kanannya tanpa sadar terangkat. Akan tetapi ingatan tentang dia yang menyakiti Ara dengan kuat membuatnya mengurungkan niatnya. Tangannya kembali turun dan diam.

Ara di sisi lain menyadari gerakan kecil Chika, suasana hatinya berubah.

"Lama tidak bertemu" Sapa Chika, berusaha terlihat biasa saja. Dia tersenyum tipis yang membuat mata cokelatnya sedikit menyipit.

Melihat senyuman Chika, amarah di dalam diri Ara semakin bergelora. Dia segera meraih rahang Chika dan meremasnya kuat.

"Beraninya kamu memasang senyum ini di depanku..." Desis Ara.

Chika terkejut dengan perlakuan kasarnya, kedua tangannya meraih pergelangan tangan Ara. Chika sedikit memberontak, yang membuat cengkraman Ara di rahangnya semakin kuat.

Setelah beberapa saat Ara akhirnya melepaskan cengkramannya dan mundur selangkah.

"Ara!" Nafas Chika naik turun, matanya menatap Ara tidak percaya.

Hatinya yang tadi sakit melihat Ara dengan orang lain sekarang bertambah. Pandangan Chika mengabur, dia mendongak keatas dan berkedip beberapa kali agar air matanya tidak jatuh.

"Aku tahu kamu membenciku, apa yang aku lakukan di masa lalu sangat jahat. Aku minta maaf..." Chika berbicara dengan nada pelan.

Ara di depannya tersenyum miring.

"Setelah ini aku akan pergi, dan aku jamin kita tidak akan bertemu sampai kapanpun"

"Hahaha" Ara tertawa lebar mendengar kalimat terakhir Chika, dia menggelengkan kepalanya sebelum akhirnya kembali menatap nanar kearah Chika.

"Ingin pergi?" Tanya Ara, suaranya berat dan bergetar.

Melihat tampilan menakutkan Ara, Chika tanpa sadar mundur selangkah. Semakin Ara mendekat kearahnya dia semakin mundur kebelakang.

Hingga akhirnya tubuhnya menyapai wastafel dan tidak bisa kemana-mana lagi.

"Aku tidak melarangmu pergi, silahkan pergi kemanapun yang kamu mau. Tapi sebelum itu...akui kejahatanmu!"

"Kejahatan? Kejahatan apa? Aku-"

"KAMU MEMBUNUH ZEE!" Teriak Ara tiba-tiba, dia tanpa sadar mencekik Chika.

Mata Ara menajam dan merah, tangannya yang mencekik Chika semakin kuat.

"Uhuk...uhuk...Raa lepashhh" Chika berusaha melepaskan kedua tangan Ara di lehernya, nafasnya seolah berhenti dan matanya mulai berkunang-kunang.

Tapi Ara di depannya sama sekali tidak ingin berhenti apalagi melepaskannya.

"Ghhh...Raaaa" Air mata Chika luruh, dia semakin sesak nafas.

"Sialan!" Ara menjatuhkan tubuh Chika ke lantai toilet, rahangnya mengeras. Gigi-gigi putihnya berbunyi.

"Uhuk...uhuk..." Chika batuk beberapa kali, pernafasannya yang tadi tersumbat akhirnya kembali normal.

"Aku...aku tidak membunuh Zee!" Dengan suara tersengal Chika memberitahu Ara, dia tampak tidak berdaya.

Helaan nafas kasar lolos dari bibir Ara, dia dengan gusar mengusap wajahnya berkali-kali.

"Kamu...kamu..." Ara tidak dapat menyelesaikan kalimatnya. Ketika matanya menatap sosok Chika yang berantakan dia segera berbalik dan pergi meninggalkan Chika sendirian.

"Hiks...hiks..." Suara isakan Chika terdengar, dengan hati-hati dia bangkit dengan berpegangan di wastafel.

Chika meringis kecil saat melihat lehernya yang semula putih kini berubah menjadi merah cerah. Dengan tampilan ini dia tidak mungkin bertemu Flora.

Pada akhirnya dia memutuskan untuk segera pergi dari tempat ini, dari negara ini....







•••







Ara kembali masuk ke dalam aula, Indira yang tengah mencoba sepotong kue tersenyum kearahnya.

"Ayo pulang!"

"Kenapa mendadak sekali? Aku belum mencicipi semuanya" Indira menunjuk kue di piring.

Ara tidak peduli, dia tetap menarik Indira pergi meninggalkan hotel ini. Dia takut jika tetap disini, dirinya akan hilang kendali dan semakin menyakiti Chika.

"Ara pelan-pelan, kakiku sakit" Indira mengeluh beberapa kali ke Ara, akan tetapi wanita cantik di depannya tampak tidak peduli dan tetap menyeretnya berjalan keluar.

Di depan hotel, sopir yang tadi mengantar mereka segera membuka pintu belakang mempersilahkan Ara dan Indira untuk masuk.

"Kamu pulang naik taxi, aku dan Indira ingin jalan berdua" Ara segera memberi perintah, sopir yang mendengar itu mengangguk dan melangkah pergi meninggalkan keduanya.

"Kita akan kemana?" Tanya Indira bingung.

"Masuk saja, kenapa malam ini kamu banyak bertanya" Ara menatap Indira kesal, dia yang tidak ingin berlama-lama masuk ke dalam mobil dan mulai menyalakan mesin.

Indira segera mengikutinya masuk dan duduk dengan tenang di kursi penumpang tepat di sebelah Ara.

"Kita ke pantai, jangan bertanya lagi"

Indira mengangguk, dia merasa Ara lucu dan menjengkelkan disaat yang bersamaan.

Mobil yang Ara kemudikan melaju sedang di atas jalanan aspal. Mungkin karena sudah malam, jalanan tidak terlalu macet dan itu memudahkan mereka tiba di pantai dengan cepat.

Ara mematikan mesin mobil dan langsung membuka kaca jendela, dia tidak mengeluarkan suara apapun lagi.

"Aku butuh rokok" Rambut Ara bergoyang ditiup angin.

Indira yang sedang mengagumi kecantikannya jadi kelabakan dan mulai mencari-cari rokok di mobil.

Akan tetapi hasilnya nihil, tidak ada apapun kecuali sekotak tissu.

"Hanya ada ini..." Indira memperlihatkan kotak tissu ke Ara.

"Tissu? Buat apa?"

Mendengar itu sudut bibir Indira terangkat, dia memiringkan wajahnya.

"Bagaimana kalau kamu menghisap yang lain" Indira menatap Ara dengan tatapan menggoda, jari lentiknya bergerak di sekitar leher dan terus bergerak kearah dadanya.

Ara yang melihatnya seperti itu menghela nafas panjang, dia kemudian menyenderkan tubuhnya.

"Duduk di atasku!" Perintahnya dengan suara serak.

"Tentu..."

Indira bergerak pelan dan naik mengangkangi Ara.

Beberapa detik kemudian keduanya berciuman dengan panas.

My Obsession 2 (ChikaxAra)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang