Dua

599 78 36
                                    


Baca dari chapter pertama lagi ya karena semuanya udah di ubah. Takut kalian lupa sama jalan cerita yang lama. 

Waktu menunjukan pukul enam lewat sepuluh pagi, dan ajaibnya aku sudah bangun dari tidurku.

Aku mulai mengisi bak mandi, lalu menuang sedikitnya dua takaran sabun busa.

Sementara air mengalir, aku pergi ke dapur dan menuang semangkuk sereal dan secukupnya susu cair. Aku memakannya cepat-cepat, kemudian ke lantai atas menuju kamar mandi. Aku melucuti semua pakaianku dan mulai menyembunyikan tubuhku di balik busa-busa sabun. Rasanya begitu nyaman. Jadi aku memejamkan mataku dan mengistirahatkan tubuhku sejenak.

Berbicara soal kemarin. Tak dipungkiri, aku benar-benar terkejut akan kenyataan kalau Harry idiot. Sumpah, penampilannya sama sekali tidak menunjukkan kalau dia memiliki kelainan mental.

Kemarin, Anne tak bercerita begitu banyak tentang kelainan Harry tersebut. Aku juga tidak menanyai begitu dalam, takut-takut menginggung perasaan Anne.

Toh lagipula aku juga tidak akan lagi berurusan dengannya.

Setelah merasa diriku sudah cukup beternaga untuk menjalani hari ini, aku bangkit dari bak mandi dan memakai handuk kimono berwana merah muda milik Ibu.

Aku kembali ke kamar dan berpakaian. Pilihanku jatuh kepada kaus polo berwarna biru, dipadukan dengan Jeans yang mengatung. Setelah merasa nyaman dengan pakaianku, aku memandang cermin sambil mengikat rambutku ke belakang.

Sempurna.

Aku menuruni tangga dan berpamitan kepada Ibu dengan singkat.

Langkahku terhenti di depan pintu rumah ketika melihat Harry dengan mobil-mobilannya berdiri di depan halaman rumahku. Aku sempat mengernyit bingung sebelum memutuskan untuk acuh tak acuh dengan kehadirannya.

Aku berjalan melewati Harry dan mempercepat langkahku ketika mendengar Harry memanggilku beberapa kali.

Aku sudah bertekad kalau aku tidak akan lagi berurusan dengannya.

Ketika aku merasa sudah cukup jauh, aku menengok ke belakang untuk memastikan. Betapa terkejutnya aku ketika melihat Harry—masih dengan mobil-mobilannya—berada di belakangku dengan napas yang terengah-engah.

Aku tidak pernah menyangka ia akan mengikutiku sejauh ini. Percayalah, ini sudah 1 kilometer jauhnya dari pemukimanku.

Aku menarik napas dalam-dalam, berusaaha mencari kesabaran. Namun emosi ini sudah berada diujung kepala.

Aku mendekatinya beberapa langkah, lalu membentaknya dengan penuh emosi, "Apa yang kau mau dariku sih?"

Harry menatapku ketar-ketir. Tubuhnya bergemetar, dan kedua mata hijaunya memancarkan ketakukan yang amat besar.

Tak lama, Harry menangis di tempatnya, menutupi matanya dengan lengan kanannya. Aku panik dan juga linglung. Jujur, ini pertama kalinya aku membuat orang menangis, dan aku tidak tahu harus berbuat apa.

Orang-orang yang berlalu lalang menatapku dengan tatapan menghina; seakan-akan aku lah yang paling bersalah saat ini.

Aku berjalan selangkah mendekatinya, namun Harry mundur selangkah menjauhiku.

"Harry berhentilah, semua orang melihat kearah kita," ucapku penuh hati-hati.

Namun Harry tampaknya tidak mau tahu. Ia malah menangis lebih kencang dari sebelumnya.

"Oke, baiklah aku minta maaf," ucapku sambil mengangkat kedua tanganku di udara.

Harry mengintip dari balik tangannya untuk memastikan, dan aku memasang senyuman paling tulus yang aku punya.

Nampaknya ia percaya dengan senyuman naifku, melihat ia mengelap air mataya dengan kaus bagian lengan yang ia gunakan.

Merasa Harry mulai tenang, aku mendekatinya dan ia tampak diam di tempat. Ketika sudah cukup dekat, aku menepuk pundaknya pelan; Harry tampak mereda walau masih sekali-sekali sesenggukan.

"Aku ingin pergi ke sekolah, kau pulang ya?" ucapku, berusaha selembut mungkin.

Harry tampak menggeleng, wajahnya masih cemberut. "Aku ingin main denganmu,"ucapnya merengek.

Kalau dia bukanlah laki-laki idiot, pasti sekarang dirinya sudah tersungkur karena tinjuku.

Aku memutar lenganku, melihat ke arah jam tangan hitam yang menunjukkan pukul 7 pagi. Aku masih punya waktu satu jam untuk sampai ke sekolah. Jadi aku memutar otakku, memikirkan bagaimana caranya agar Harry tidak menghalangi jalanku menuju sekolah.

"Begini saja. Kalau kau pulang sekarang, aku berjanji akan membelikanmu es krim sepulang sekolah. Setuju?"

Harry mengetuk jari telunjuknya di dagu, tampak berpikir keras. Lalu tak lama ia tersenyum lebar dan berkata, "Oke, setuju!"

Dengan begitu aku langsung memberhentikan satu taksi, dan menyebutkan alamatku dengan lengkap kepada supir. Ya setidaknya dari rumahku Harry tinggal menyebrang sekali.

"Kau punya uang kan?" tanyaku.

Harry mengangguk dengan wajah polosnya. Ia merogoh saku celananya dalam-dalam dan mengeluarkan dua koin uang yang bahkan pengemis pun tak sudi menerimanya.

Aku memutar bola mataku. Melihat waktu yang semakin berkurang, aku segera mengambil dompetku dan mengeluarkan beberapa lembar uang. Aku memberinya kepada supir dan tak lupa mengucapkan 'terimakasih' dan 'tolong jaga dia' hanya untuk sekedar berbasa-basi.

Kau tahu, aku semakin jago berbasa-basi setelah banyak 'bergaul' dengan Ibu.

Sebelum taksi Harry beranjak meninggalkan tempatnya, Harry tampak melambaikan tangannya kearahku. Aku membalas lambaian tangan Harry dengan lambaian singkat, dan taksi itu berjalan pergi meninggalku yang masih diam di tempat.

Chapter tiga udah selesai dan bakal dipost hari minggu yaa. Thanks youuuu

The Idiot / h.sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang