Satu

836 88 21
                                    

Adakah yang bisa membantuku untuk memadamkan sinar matahari? Cahayanya menyorot langsung ke mataku saat aku berguling di tempat tidur sambil mengerang. Aku belum bisa bangun sekarang, rasanya masih terlalu nyaman dan hangat. Jadi aku kembali memejamkan mataku dan membungkus tubuhku dengan selimut tebal.

Namun tak berlangsung lama, suara ketukan dengan tempo—tak sabaran—cepat terdengar dari arah pintu kamarku. Tak perlu melihat siapa yang berada di balik pintu itu, aku sudah bisa menebaknya. Jadi aku buru-buru bangkit sebelum dirinya menyiramku dengan seember air dingin.

"Cuci mukamu dan temani Ibu menengok tetangga baru," ucap Ibu dengan nada penuh otoriter sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Seperti biasa. Itu artinya mau tidak mau aku harus menuruti perkataanya.

Aku memutar bola mataku kesal. Ibu memang orang yang senang bersosialisasi. Jadi setiap ada tetangga baru, dengan senang hati ia menengoknya hanya untuk sekedar menyapa dan berbasa-basi ria. Dan buruknya, ia ingin menularkan sifatnya itu kepadaku. Sehingga acap kali dirinya mengajakku untuk ikut.

Lagian, kenapa sih banyak orang yang pindah ke lingkungan rumahku.

Tak menunggu jawabanku, Ibu melenggang pergi begitu saja. Aku menutup pintuku dengan kesal, lagi-lagi Ibu tidak menghargai anaknya sendiri. Apa dia pikir semua anak harus sama dengan Ibunya? Hey! Aku juga ingin punya kehidupan sendiri.

Tak ingin menciptakan perperangan baru, bergegas aku mencuci muka—lebih tepatnya mencipratkan air—dan menggosok gigiku seadanya. Ketika aku turun tangga, Ibu sudah menungguku di depan pintu rumah sambil menjinjing paper bag berwarna abu-abu, yang aku yakin isinya makanan yang ia buat pagi-pagi sekali.

"Kamu lelet sekali," ucapnya tak sabaran.

Aku mendengus, lalu mempercepat langkahku untuk menyamai dirinya.

Posisi rumahnya tak begitu jauh. Aku dan Ibuku hanya menyebrang sekali, dan sampailah kami di depan rumah yang baru ditempati itu. Pintu rumahnya tidak tertutup begitu kami datang.

"Permisi,"ucap Ibu dengan nada penuh sopan-santun.

Aku tidak begitu kaget dengan bedanya sifat ibu di dalam rumah dan di luar rumah. Bukankah aku sudah pernah mengatakan kalau ini bukan pertama kalinya ia mengajakku untuk mengunjungi tetangga baru?

Seorang wanita setengah baya dengan dandanan sederhana tampak keluar dari dalam rumahnya. Begitu melihat kami, ia tersenyum sangat lebar. Kuakui aku sempat terkejut melihat dirinya yang begitu senang hati dengan kedatangan kami. Jujur, aku belum pernah melihat tetangga tersenyum seceria itu ketika kami mengunjungi rumah mereka.

Wanita itu menyalami kami berdua sambil memperkenalkan dirinya sebagai Anne. Lalu Anne mempersilahkan kami masuk kedalam rumahnya.

"Maaf ya rumahnya masih berantakan," ucapnya dengan nada tak enak hati.

Seharusnya aku yang meminta maaf karena memiliki Ibu yang suka merepotkan orang lain.

Aku tertegun begitu masuk ke dalam rumahnya. Walaupun masih berantakan karena banyak barang yang belum berada ditempat seharusnya, tapi aku sudah bisa merasakan hawa-hawa kemewahan. Bahkan aku yakin wallpaper berwarna merah tua yang memiliki corak timbul itu lebih mahal daripada uang jajanku selama setahun.

"Aku masak terlalu banyak hari ini, jadi aku membawanya sebagian untukmu. Ku harap keluargamu suka," ucap Ibu sembari menyerahkan paper bag yang sedari tadi ia bawa.

Tidak usah bingung, Ibu sedang berbohong sekarang. Tentu tidak mungkin 'kan dia bilang kalau masakan itu sengaja ia buat pagi-pagi sekali hanya untuk mereka? Seakan-akan Ibu memang sudah berencana untuk mengunjungi mereka bahkan sebelum mereka punya ide untuk pindah rumah.

The Idiot / h.sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang