"2023 tinggal dua bulan lagi, mbok yo kamu nikah juga kayak Juli."
Iva harus menahan gejolak fight or flight saat Bunda menyerang dengan pertanyaan itu lagi. Jemarinya yang menggenggam ponsel spontan menegang, napasnya dihela tajam, dan pandangannya kaku.
"Gimana sama anaknya Bude Hari yang kemarin fotonya Bunda tunjukkan?"
Karena Bunda sedang berselonjor di sofa membelakanginya, setidaknya beliau tak perlu melihat ekspresi sang putri bungsu yang menggeram tanpa suara. Iva bisa melihat Bunda sedang membuka ruang percakapan dengan Bude Hari di WhatsApp, menggulir layar hingga muncul foto seorang pria seusia. Jari Bunda bergeser hingga potret wajah sang pria muda terpampang besar di layarnya.
"Nggak."
"Nggak apa? Bude Hari sampai udah tanya Bunda tiga kali, lo!"
"Kan aku sudah bilang enggak, memangnya Bunda bilang gitu ke Bude Hari?" Jangan-jangan Bunda cuma menghindari pertanyaan Bude dengan teramat halus sampai-sampai maksudnya tak ditangkap. Bunda pasti sungkan menyampaikan penolakan Iva, dan salah satu alasannya—Iva yakin—karena Bunda tidak ingin Iva menolak lagi dan mengiyakan saja tawaran terakhir ini.
Namun, di sisi lain, foto Iva juga sudah dikirim ke Bude Hari.
Semestinya, jika putra Bude Hari juga minat padanya, maka ia akan berinisiatif, kan? Buktinya tidak. Tak pernah ada pesan dari nomor asing yang mampir ke WhatsApp-nya selain modus penipuan penawaran pekerjaan.
Bunda berdecak. Ditutupnya foto pria muda itu dari layar. "Kamu itu, ya! Udah mau usia dua delapan. Mau sampai kapan, Nduk? Kakak-kakakmu dulu menikah seusiamu juga. Mestinya kamu sekarang udah punya calon yang dikenalin ke Ayah Bunda!"
Iva tidak menjawab, sebab sudah terlintas duluan berbagai alasan di benaknya. Mas dan mbaknya, kan, dahulu bekerja di kantor atau di lapangan. Mudah saja bagi mereka untuk menemukan jodoh. Sementara Iva yang wisuda saat Covid, harus rela bekerja di rumah selama bertahun-tahun. Dari mana ia bisa memperluas koneksi kalau yang ditemui cuma Ayah Bunda dan Juli?
Bedanya Juli sekarang telah menikah. Menyadari ini, Iva merasakan jantungnya kehilangan detak-detak selama sesaat.
Juli sudah menikah. Rasanya aneh, mengingat ia selalu bersama Juli selama bertahun-tahun sejak bangku kuliah. Bahkan saat Juli kuliah S2 di kota orang, komunikasi mereka tetap tidak terhalang.
Namun, pernikahan Juli yang baru berumur dua minggu ini, sukses membuat Iva merasa kesepian. Mereka masih bertukar obrol, tetapi intensitasnya berkurang.
"Nduk? Nggak ada kenalan baru dari Juli? Kemarin-kemarin kamu lama di kondangan ngapain, coba?"
"Ya, kan, aku bantu-bantu, Bun." Iva menghela napas. Memangnya Bunda mengira dia berdandan ekstra sebagai bridesmaid adalah untuk mencari cowok berpotensi? Boro-boro begitu. Dia sibuk memastikan wajahnya tidak aneh saat difoto (yang gagal) dan mengejar balita-balita para kawan seangkatannya yang sibuk berfoto. Ia bukan sekadar bridesmaid yang hanya terima seragam dan foto-foto. Bah. Dia turut membantu, menghidupkan julukan bridesmaid yang semestinya memang bertugas membantu sang pengantin di hari bahagianya.
Bunda berdecak. "Udah nggak effort cari jodoh, nolakin semua cowok yang Bunda tawarin ... kalau memang belum siap nikah, cari kerja di luar, sana! Bunda jenuh lihat kamu di kamar terus. Nggak sehat. Lihat itu, badanmu makin melar karena duduk terus-terusan."
"Tapi aku kerja, Bun."
"Anak-anaknya Bude Hari dan tetangga itu udah balik kerja di kantor juga. Masa kamu tetap di rumah aja? Sana, keluar! Cari kerja yang lebih oke atau buka bisnis, yang kalau bisa bikin kamu aktif sekalian. Kerjaan lihat laptop mulu, duduk mulu, tapi gaji segitu aja dan nggak nikah-nikah!"
KAMU SEDANG MEMBACA
His Lens
RomantikIva Bellona trauma difoto, sampai-sampai dituduh merusak acara pernikahan sahabatnya! Tuduhan itu datang dari Pradipta Gardapati, fotografer sekaligus saudara ipar Juli, sang sahabat. Combo sempurna dari orang yang menyebalkan dengan profesi paling...