00.75 Black Card

168 11 11
                                        

"Hyung, ada yang mencarimu."

Aku sedang mengetes suara microphone ketika Taehyung berlari ke arahku dan berseru sambil melambaikan tangannya. Kami belum naik panggung untuk sound check. Masih berada di bawah panggung.

"Siapa?" Tanyaku, sambil mematikan microphone.

"Ngga tahu. Seorang ahjussi." Ujarnya, sambil meraih microphone dari staf. "Cuma bilang mencari Suga. Gitu."

"Kamu ngga merasa aneh harus menanggapi orang asing?" Decakku. Kadang Taehyung suka kurang hati-hati. "Jangan diulang." Ucapku, tegas.

"Uhm ...," Taehyung menggumam.

Ya, bibirnya mulai dimonyong-monyongkan.

"Ngga usah sambil gitu bibirnya." Keluhku.

"Itu ...," Gumamnya.

Sekarang dahinya yang berkerut-kerut.

"Dahinya juga ngga usah gitu." Tawaku.

"Ah, ribet ah, hyung satu ini. Intinya ada yang cari kamu, hyung. Aku ngga merasa takut. Soalnya si ahjussi sepertinya kenal dengan beberapa orang dari stadium. Mungkin ada hubungannya dengan konser kita nanti." Taehyung mengoceh, panjang lebar. "Cek aja, hyung."

"Iya. Bilang ke yang lain tungguin aku."

"Oke, hyung. Tapi, telat dikit juga ngga apa-apa kok, hyung. Cuma sound check ini." Ujar Taehyung sambil berjalan meninggalkanku.

Aku pun berjalan ke arah sebaliknya, menuju sisi luar area pertunjukkan untuk nanti malam. Ya, kami sedang di Busan untuk melakukan konser Yet to Come. Sebenarnya ini seperti konser penutup dari kami bertujuh sebelum akhirnya kami benar-benar sibuk dengan kegiatan individu kami. Tentu saja aku sangat menanti konser malam ini. Walaupun, aku juga merasa sedikit sedih karena setelah ini tidak bisa melakukan promosi bersama-sama dengan member. Jika tidak ada lelang Expo ini mungkin kami juga tidak akan manggung seperti sekarang. Tidak mungkin juga aku bisa bersenang-senang dengan Hanna di sini. Kubayangkan apa yang kami lakukan kemarin membuat senyum terbersit di bibirku.

"Suga-sshi."

Aku menghentikan langkahku ketika ada yang memanggil nama panggungku. Pandanganku lurus ke depan dan kudapati sesosok pria yang tidak asing. Bahkan sangat familiar karena setiap malam kugambarkan wajahnya sebelum tidur di pelupuk mataku. Berharap suatu saat akan bisa kukalahkan egonya.

Ayah Hanna.

"Ahjussi." Kubungkukkan badanku sembilan puluh derajat dengan sangat khidmat. Tapi, di dalam hati, aku sedang menyiapkan keberanianku. Aku tidak tahu apa tujuannya kemari dengan spesifik menemuiku. Dengan pelan kutegakkan tubuhku dan mata yang begitu tegas itu membalas menatapku dengan sangat mengintimidasi.

Jika boleh kugambarkan. Hanna mempunyai aura dingin seperti ayahnya. Aku belum pernah bertemu ibunya jadi aku belum tahu seperti apa paras ibunya. Keseluruhan lekuk wajah Hanna mirip sekali dengan ayahnya. Cara Hanna memandang pun sangat mirip dengan ayahnya. Sangat mengintimidasi. Seolah tidak pernah kenal rasa takut. Atau, terlihat seperti itu karena sudah terlatih.

Yang tidak mirip hanya di bagian warna mata. Ayahnya mempunyai warna mata cokelat yang begitu terang. Sementara, warna mata Hanna hitam. Jika dilihat-lihat Hanna terlihat lebih mengintimidasi dibandingkan ayahnya. Selain itu, kecantikan Hanna sudah pasti datang dari gen superior. Karena, ayahnya pun terlihat sangat tampan di usianya yang tidak begitu muda lagi.

Seperti Hanna, wajah ayahnya pun oval yang sempurna. Kulitnya sebagus Hanna. Matanya kecil seperti Hanna. Hidungnya semancung milik Hanna. Bahkan rambutnya pun mempunyai pigmen warna yang sama. Tinggi semampainya Hanna jelas dari ayahnya. Anehnya, kakek tidak terlihat seperti Hanna dan ayahnya. Mungkin ayah dan anak itu lebih banyak mengambil gen dari nenek.

Dating SatangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang