01.00 Keinginan (M)

329 12 15
                                        

Air shower membasahi tubuh kami. Rasanya aku ingin memberikan kepuasan pada Hanna. Menghilangkan tekanan hidupnya melalui sentuhan-sentuhanku. Beberapa hari ini Hanna terlihat menikmati percintaan kami. Hal yang sangat kusyukuri. Untuk sesaat aku merasa secara utuh Hanna sudah menerimaku.

Tapi, sekarang Hanna di depanku adalah Hanna yang kembali banyak berpikir bahkan di tengah-tengah gerakanku yang makin tidak teratur dan juga tanganku yang meraba ke segala lekuk tubuhnya. Klimaksku sepertinya sudah dekat. Aku sudah hampir gila menahannya ketika Hanna yang berdiri di depanku, menyandar pada dinding kamar mandi, menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. Pandangannya kosong.

"Hhh ... sayang?" Panggilku, terengah. Kuraih kedua pipinya ke dalam telapak tanganku yang terlihat begitu lebar dibandingkan wajah cantik Hanna yang kecil.

Hanna, meraih pergelangan tangan kananku dengan telapak kirinya, sebelum tangan kanannya meraih leherku dan menarik wajahku hingga bibirnya menyambut bibirku. Gerakannya ini membuatku makin menggila. Tidak bisa lagi menahan hasrat yang ingin membuncah dari dalam diriku. Kutarik pinggulnya dengan tangan kiriku yang bebas hingga tubuhnya melengkung. Rasanya aku butuh pelukan yang begitu erat tatkala gelombang klimaks datang bertubi-tubi.

Tubuhnya merapat dekat pada tubuhku sendiri. Dadanya yang sintal bersentuhan dengan dadaku. Menambah gairah yang tidak ada habis-habisnya. Tubuhku beringas.

Tanpa ada keinginan menghentikan ciuman pada bibir Hanna, aku makin mengaitkan lidah kami. Ketika Hanna seakan ingin menarik diri dariku, kugigit bibir bawahnya. Ia kembali mendekat. Aku kembali menciumi bibirnya seakan-akan aku tidak pernah merasa cukup.

Kuabaikan tangannya yang memukuli pundakku karena ingin melepaskan diri dariku, karena aku sudah begitu dekat, tidak bisa lagi ditahan, aku tidak sanggup. Lalu, ketika klimaks itu datang, kucabut milikku, dan kukeluarkan di luar, sedikit mengenai perut Hanna, dan tercecer di lantai. Napasku menderu di tengah-tengah itu semua.

Dan, aku tidak menyadari Hanna telah merosot ke lantai. Entah mengapa terbayang wajah ayah Hanna. Dan, gemuruh itu tiba-tiba memenuhi dadaku. Kupandang Hanna yang bernapas tersengal, terduduk di lantai, air shower menghujani tubuhnya. Lalu, kuraih tubuhnya dan kuberdirikan. Ia menatapku dengan heran.

"Aku mau lagi." Bisikku. "Sayang, sekali lagi."

Lalu, tanpa memberikan aba-aba, kuraih tubuh Hanna dan kugendong seperti ia anak koala yang menempel pada induknya. Dengan cepat kubawa kami keluar kamar mandi dan kubanting Hanna ke ranjang.

"Yoongi?" Erangnya. "Apa yang ...,"

Kulumat bibirnya sebelum ia sempat melanjutkan perkataannya. Aku sedang tidak ingin dikomplain. Aku tidak ingin dibantah. Aku hanya ingin memiliki Hanna malam ini. Tanpa ada siapa pun di antara kami.

Aku lupa, apa yang kulakukan bisa saja kasar pada Hanna. Aku lupa, aku juga pria yang bisa bergerak karena nafsu. Aku lupa, ternyata aku juga bajingan.

"Sayang, aku mau keluar." Ucapku, terengah.

Hanna terbaring di bawahku. Rambut panjangnya beriap. Seprai dan selimut basah. Entah air. Entah keringat. Entah cairan-cairan yang lain. Aku tidak tahu. Yang kutahu tubuhku terasa begitu lengket dan Hanna terlihat begitu seksi di bawahku. Sungguh merangsang.

"Argh ...," erangku, menggerakkan pinggulku dengan semakin cepat. "Aku mau ... klimaks." Dengusku.

Sekali lagi terpampang wajah ayah Hanna.

Lihat, anakmu begitu pasrah bercinta denganku ... menurutmu, ia bisa begitu aja berhenti berhubungan denganku? Menurutmu, bisa?

"SAYAAAANG AAH ... AHH ...," teriakku tatkala aku meraih puncak itu dan tanpa sadar kukeluarkan di dalam. Tanpa pengaman. Aku lupa. Tapi, tubuhku terlalu lelah, sampai aku tidak sanggup berkata-kata. Bahkan, aku tidak bisa menahan tubuhku yang jatuh terkulai di atas Hanna. Aku mengantuk berat. Dan, kukecup pipi kiri Hanna, sebelum kubisikkan kata-kata ini di telinganya, "Aku mengantuk, sayang." Dan tanpa sadar mataku memejam begitu saja.

۝

Aku terbangun ketika mendengar suara isakan. Dengan mengerang malas kubuka mataku. Cahaya temaram dari bulan di luar menyambut penglihatanku. Kuedarkan pandanganku ke sisi kanan tubuhku dan kudapati Hanna tidur meringkuk di pelukanku. Seperti diriku, ia pun masih telanjang. Hanya selimut yang menutupi tubuh kami. Kutatap wajah polosnya yang berantakan karena kuhabisi sana-sini.

Dengan jemari kiriku, kurapikan rambutnya yang menutupi wajahnya. Air mata membasahi wajah cantiknya. Isak itu datangnya dari Hanna. Kuhembuskan napas pelan sebelum meraih tubuh mungilnya ke dalam pelukanku. Sebentar kemudian kutepuk-tepuk bahunya.

Hanna sering terlihat seperti ini ketika tidur. Mungkin dia tidak sadar. Dan, aku juga tidak berniat memberitahunya. Aku tidak ingin membuatnya merasa buruk atau tidak enak. Biar aku saja yang tahu. Menjadi satu-satunya yang selalu terbangun melihatnya terisak akan sesuatu yang aku juga tidak tahu apa. Biar aku saja yang merasakan privilese bisa menenangkannya di dalam tidurnya seperti ini. Biar aku saja yang tahu.

"Sayang ...," bisikku. Kukecup dahinya. "Semuanya akan baik-baik aja. Yang kamu lihat hanya mimpi. Hanya mimpi, sayang. Hmm." Kurengkuh tubuhnya semakin erat ke dalam dekapanku. Dan, anehnya setiap kali aku mengatakan ini, Hanna akan menjadi lebih tenang di dalam tidurnya. Isaknya perlahan mereda. Lantas, ia akan kembali terlelap, bernapas satu-dua.

۝

Entah pukul berapa, aku tidak tahu, tapi cahaya dari sinar matahari mengganggu tidurku. Mataku mengerjap dan kuulurkan tanganku ke sebelah kananku, mencari-cari tubuh Hanna. Tapi, ia sudah tidak berbaring di sampingku. Aku terduduk, mengedarkan pandangan.

"Sayang?" Panggilku.

Tidak ada yang menyahut.

"Sayang?" Panggilku, lagi.

Sekali lagi tidak ada yang menyahut.

"Sayang?" Kukeraskan suaraku.

"Hmm." Kali ini ada yang menyahut.

"Di mana?" Tanyaku, tanpa membuka selimut, kuturunkan kakiku dari ranjang, dan duduk di tepiannya.

"Toilet." Sahut Hanna. "Kenapa?"

Aku tersenyum dibuatnya.

"Ngga. Kukira kamu meninggalkanku." Kekehku.

"Ngga lucu!" Serunya.

Aku semakin terkekeh. Rasanya masih ingin menggodanya tapi aku juga harus segera bersiap-siap. Aku berharap kami bisa menikmati hari ini seperti yang kurencanakan. Jika memang ada Tuhan di atas sana, maka aku memohon agar kami bahagia hari ini.

∞∞∞∞∞∞∞

Dating SatangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang